EpochTimesId – Tentara Nasional Indonesia memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-72, Kamis (5/10/2017). Reformasi di tubuh TNI pun dinilai masih pincang. Pendapat tersebut disuarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (Koalisi).
Koalisi menilai terdapat tiga garis besar reformasi TNI yang diharapkan masyarakat. Namun, hingga saat ini hanya satu garis besar reformasi militer yang berhasil secara maksimal. Dua lainnya dinilai masih stagnan.
“Selama 18 tahun reformasi bergulir, sayangnya reformasi militer masih stagnan. Hanya dwi fumgi ABRI yang berhasil dicabut. Sementara dua tuntutan reformasi lainnya, yaitu restrukturisasi Komando Teritorial dan Koter dan reformasi peradilan militer. ,” ujar Wakil Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, dalam keterangan tertulis Koalisi.
Gufron melanjutkan, masih terdapat sejumlah agenda penting reformasi militer yang perlu dilakukan, karena hal tersebut merupakan amanat dari reformasi 1998. Di masa rezim Orde Baru, TNI (ABRI) digunakan sebagai tulangpunggung penopang kekuasaan yang bergelimang dengan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, untuk itu reformasi TNI menjadi sebuah keniscayaan.
“Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai, beberapa agenda penting reformasi TNI yang perlu dituntaskan adalah: pertama, reformasi peradilan militer. Reformasi peradilan militer melalui revisi UU No 31/1997 tentang peradilan militer perlu segera dilakukan mengingat hal tersebut sesungguhnya merupakan mandat TAP MPR No. VII/2000. Pasal 3 ayat 4 TAP MPR No. VII/2000 menyebutkan bahwa prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum,” beber Gufron.
Penegasan pentingnya perubahan sistem peradilan militer juga ditegaskan dalam UU TNI No. 34 tahun 2004. Pasal 65 Ayat (2) UU TNI menyebutkan bahwa, “prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”.
Upaya mewujudkan reformasi peradilan militer merupakan sebuah kewajiban konstitusional yang harus dijalankan pemerintah dan parlemen sebagai implementasi dari penerapan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana termaktub dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 Huruf d Ayat (1) UUD 1945. Selama ini anggota militer yang melakukan tindak pidana umum masih diadili di peradilan militer. Dalam praktiknya, peradilan militer tak jarang menjadi sarana impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana.
Kemudian, terkait restrukturisasi komando teritorial. Pada masa awal Reformasi, tuntutan restrukturisasi komando teritorial merupakan satu paket dengan tuntutan penghapusan peran sosial politik TNI—yang dikenal sebagai Dwifungsi ABRI. Sayangnya, meski peran politik TNI dapat dihapus, struktur komanto teritorial tak kunjung direstrukturisasi hingga kini.
“Pada masa Orde Baru, keberadaan koter memang sangat terkait dengan Dwifungsi ABRI. Jangkauan struktur koter dapat mendistribusikan peran politik ABRI hingga ke daerah, juga menjalankan kontrol terhadap masyarakat. Koter kerap kali digunakan sebagai instrumen merepresi masyarakat yang menentang rezim Orde Baru mengingat hierarki koter yang menyerupai struktur pemerintahan sipil di daerah (Kodam, Korem, Kodim, Koramil),” imbuhnya.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebenarnya mensyaratkan kepada otoritas politik untuk melakukan restrukturisasi koter. Penjelasan Pasal 11 Ayat (2) UU TNI menyatakan bahwa dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI, harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis. Penggelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan sipil.
Selain itu, Koalisi juga menyoroti landasan hukum operasi militer selain perang (OMSP). Belakangan ini MoU TNI dengan Kementerian dan instansi lainnya semakin marak. Setidaknya terdapat 31 MoU TNI dengan berbagai instansi/ lembaga. Dengan dalih melakukan operasi militer selain perang (OMSP), TNI kini mulai masuk dan terlibat dalam ranah sipil dan menjalankan fungsi keamanan dengan pijakan MoU tersebut. Sayangnya, otoritas sipil baik itu pemerintah dan parlemen tidak melakukan koreksi dan evaluasi terhadap semua MoU yang ada.
“Kami menilai pelibatan militer dalam operasi militer selain perang yang di dasarkan pada MoU TNI bertentangan dengan UU TNI no 34/2004. Pasal 7 ayat 3 UU TNI secara tegas menyebutkan bahwa pelaksanaan tugas operasi militer selain perang harus di dasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara dan bukan melalui MoU,” tutupnya.
Keputusan politik negara yang dimaksud adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama dewan perwakilan rakyat (DPR) yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dengan DPR, seperti rapat konsultasi dan rapat kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Penjelasan Pasal 5 UU TNI). Dengan demikian, beberapa MoU yang sudah dibuat jelas-jelas bertentangan dengan UU TNI no 34/2004.
Dalam kaitannya dengan tugas perbantuan militer dalam operasi militer selain perang seharunya pemerintah dan DPR perlu segera membuat undang-undang tentang tugas perbantuan militer. (waa)