EpochTimesId – Inggris mendapat analisa laporan keuangan kontroversial, awal pekan ini dari sebuah organisasi yang mewakili 35 negara terkaya di dunia. Analisa tersebut memuat kondisi lapangan kerja, kekhawatiran tentang produktivitas, dan analisis dampak devaluasi mata uang, yang penyebabnya bermuara pada dua kata, ‘Brexit’ dan ‘ketidakpastian’.
Laporan dua tahunan itu adalah sebuah catatan yang menyarankan agar pemerintah Inggris membalikkan Brexit, mengurungkan niat untuk keluar dari Uni Eropa.
Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (The Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) mengumumkan temuan survei tahunan ekonomi Inggris pada hari Selasa (17/10/2017) waktu Eropa mengatakan Inggris merana akibat rencana keluar dari Uni Eropa atau Brexit.
“Inggris menghadapi masa-masa sulit, dengan Brexit menciptakan ketidakpastian ekonomi yang serius. Ketidakpastian yang dapat menghambat pertumbuhan selama bertahun-tahun yang akan datang,” ujar Sekretaris Jenderal OECD, Ángel Gurría dalam keterangan tertulis.
Angel Gurria pun menyarankan agar Inggris berusaha mempertahankan hubungan ekonomi dengan Uni Eropa. Kebijakan itu akan benar-benar penting, untuk perdagangan barang dan jasa serta untuk transisi perekonomian.
Utusan Inggris yang menerima laporan keuangan tersebut adalah Menteri Keuangan, Philip Hammond. Hammond yang menghadiri publikasi laporan tersebut di London, mengatakan bahwa laporan tersebut menyoroti perlunya kesepakatan transisi post-Brexit dengan Uni Eropa (UE). Sebab referendum kedua agar Inggris batal meninggalkan Uni Eropa tidak mungkin dilakukan.
“Ada potensi besar untuk mengeksploitasi kekuatan ekonomi Inggris yang mendasarinya, dan meningkatkan produktivitas adalah cara untuk mengubah kekuatan tersebut. Sehingga segera menjadi pertumbuhan upah dan standar kehidupan nyata,” kata Hammond setelah acara tersebut, seperti dikutip dari Financial Times.
Laporan OECD mencatat bahwa pasar tenaga kerja Inggris cukup baik, meskipun terjadi perlambatan. Tingkat pengangguran lebih rendah dan tingkat lapangan kerja meningkat sejak finansial crash.
“Upah riil, bagaimanapun, sedang dalam tren menurun. Produktivitas Inggris juga tertinggal dari negara-negara lain di Eropa,” kata Gurria.
Laporan tersebut juga mengatakan bahwa keluarnya Inggris dari pasar tunggal Uni Eropa dan komunitas bea cukai menimbulkan kekacauan. Ini diprediksi akan menimbulkan kerugian pada tahun 2019 serta mengurangi pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
“Jika Brexit dibalik keputusan politik (perubahan mayoritas, referendum baru, atau langkah lain), dampak positif pada pertumbuhan akan signifikan,” tulis Gurria.
Laporan tersebut juga mengatakan bahwa proses perundingan UE-Inggris akan memicu reaksi buruk dari pasar keuangan. hal ini mendorong nilai tukar ke posisi terendah dan mengarah pada penurunan peringkat sovereign.
Menanggapi desakan agar membatalkan niat meninggalkan Uni Eropa tersebut, Departemen Keuangan Inggris berulangkali menegaskan, “Kami meninggalkan Uni Eropa dan tidak akan ada referendum kedua.”
“Dengan singkatnya periode transisi, menghindari perdebatan tentang Brexit dan reversal, maka kita dapat memberikan kepastian yang lebih besar untuk bisnis di Inggris dan di seluruh Uni Eropa,” tegas Hammond. (waa)