oleh Yang Yifan
Epochtimes.id- Baru-baru ini, media Hong Kong melaporkan bahwa Tiongkok saat ini sedang menghadapi gelombang lajang terbesar dalam sejarah.
Dunia luar memperhatikan alasan munculnya situasi tersebut adalah karena program keluarga berencana Tiongkok yang menjadikan rasio jenis kelamin antara pria dan wanita tidak seimbang. Selain itu pernikahan dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi.
Menurut catatan dalam Buletin Statistik tentang Perkembangan Pelayanan Sosial Tahun 2016 yang dirilis Kementerian Administrasi Kependudukan RRT bahwa, jumlah pernikah yang terdaftar secara resmi pada tahun 2016 adalah sebanyak 11.428.000 pasangan.
Jumlah ini menurun 6.7% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dan tingkat perkawinan juga turun dari 9,92% pada tahun 2013 menjadi 8,3% di tahun 2016. Namun, pada saat yang sama tingkat perceraian justru meningkat dengan cepat.
Statistik Boston Consulting menunjukkan, jumlah lajang di Tiongkok saat ini menyumbang 16,4% dari total gender.
Media Phoenix Finance pada 13 November melaporkan bahwa Tiongkok sedang menghadapi gelombang lajang terbesar dalam sejarah. Ketidakseimbangan gender saat ini dapat mengakibatkan jutaan orang pria Tiongkok membujang seumur hidup.
Menurut laporan “China Youth Daily” pada 26 Februari tahun lalu, banyak pakar masalah kependudukan mengatakan bahwa krisis 剩男 (Sheng nan. istilah populer di internet yang menunjuk kaum pria berusia lebih dari 30 tahun yang belum menikah) saat ini adalah buah dari kebijakan keluarga berencana Tiongkok selama beberapa dekade, yang menyebabkan tidak kurang dari 20 juta bayi perempuan pedesaan mengalami kematian lebih awal.
Selain ketidakseimbangan rasio jenis kelamin, nilai-nilai pernikahan tradisional Tionghoa juga mengalami pengrusakan. Orang-orang kian cenderung mengkaitkan pernikahan dengan keuntungan.
Dalam sepuluh tahun terakhir, mahar untuk pengantin wanita di pedesaan Tiongkok secara diam-diam sudah meningkat lebih dari dua kali lipat.
Mahar untuk menikahi perempuan di daerah Shandong sekarang rata-rata sudah melebihi RMB. 100.000 (Rp. 205 juta). Dibandingkan dengan pendapatan keluarga biasa pedesaan di Provinsi Shandong, pernikahan semacam itu hampir menjadi mustahil.
Di kota-kota utama dan kedua, persyaratan wanita lajang yang sudah memiliki kemandirian ekonomi dalam memilih pasanganan juga ikut membumbung tinggi.
Merujuk isi ‘Survei Status Penduduk Lajang Tahun 2016’ yang dirilis zhenai.com dapat kita ketahui bahwa lebih dari 80 % wanita lajang Tiongkok berpendapat bahwa RMB.5.000 per bulan merupakan batas pendapatan paling bawah bagi seorang pria calon pasangan.
Di antaranya, 67.06 % wanita tersebut menghendaki pria calon pasangannya memiliki pendapatan antara RMB.5.000 – 10.000 dan 25 % wanita menghendaki yang lebih dari RMB.10.000,- per bulan.
Laporan media Caixin pada 20 Juni menyebutkan, pemimpin redaksi Weixin ‘Ms-Muses’ Xie Yu mengatakan, sekarang beberapa pria memiliki status sosial rendah dan tidak memiliki dasar ekonomi, jadi kalaupun mereka ingin menikah juga tidak ada wanita yang mau menikah dengannya. Banyak yang memilih ‘kumpul kebo’ tidak resmi menikah.
Menurut Xie Yu, ‘kumpul kebo’, seks pranikah, cerai dan sebagainya adalah perilaku yang tidak sesuai dengan pandangan tradisional keluarga Tionghoa. Oleh sebab itu konsekuensi dan dampaknya patut dipelajari secara serius.
Ahli hukum perkawinan dan keluarga, Lu Mingsheng mengatakan bahwa hubungan di luar nikah atau perselingkuhan juga merupakan salah satu penyebab naiknya tingkat perceraian.
Dilaporkan bahwa dalam kasus perceraian resmi, lebih dari separuh jumlahnya itu terkait dengan urusan perselingkuhan atau hubungan di luar nikah.
Seorang penulis independen bernama Zhuge Mingyang mengatakan bahwa moralitas sosial Tiongkok di bawah pemerintahan komunis telah menurun dengan cepat. Pandangan tradisional tentang keluarga, pernikahan dan etika telah dihancurkan oleh Partai Komunis Tiongkok. (Sinatara/asr)
Sumber : Epochtimes.com