Skandal Vaksin DBD Mengguncang Filiphina, Ratusan Ribu Nyawa Anak-anak Terancam

Epochtimes.id- Ketika itu Menteri Kesehatan Filiphina Janette Garindia mengumumkan pada bulan Januari 2016 bahwa Filipina akan menggelar imunisasi massal terhadap satu juta anak-anak dengan vaksin demam berdarah jenis baru.

Saat itu dia bersesumbar bahwa program ini adalah yang pertama di dunia dan merupakan penghargaan atas “keahlian” negaranya dalam penelitian ini.

Pada saat itu, tampaknya Filipina bisa menjadi tonggak sejarah sebuah terobosan untuk memerangi virus tropis yang berpotensi mematikan dan melanda sebagian besar Asia Tenggara selama beberapa dekade.

Hampir dua tahun kemudian, program tersebut bubar dan dihentikan setelah perusahaan obat asal Prancis, Sanofi Pasteur, mengatakan pada akhir bulan lalu vaksin itu mungkin dalam beberapa kasus meningkatkan risiko demam berdarah lebih parah kepada penerima yang sebelumnya tak pernah terjangkit DBD.

Dokumen yang diperoleh oleh Reuters dan belum diungkapkan sampai sekarang, serta wawancara dengan ahli setempat, menunjukkan bahwa rekomendasi utama yang dikeluarkan oleh badan penasihat dokter dan farmasi Kementerian Kesehatan diabaikan sebelum program diluncurkan kepada 830.000 anak-anak di Filiphina.

Setelah pengumuman Garin, Dewan Penasihat Eksekutif Formulatif (FEC) memberikan peringatan terhadap vaksin tersebut karena keamanan dan efektivitas biaya belum ditetapkan.

Seorang petugas kesehatan mengumpulkan paket vaksin Dengvaxia anti-dengue yang tidak terpakai saat ia mengembalikannya ke dalam lemari es untuk disimpan di Departemen Kesehatan Manila di Sta Cruz, metro Manila, Filipina pada 5 Desember 2017. (Reuters / Romeo Ranoco)

Setelah dua pertemuan di bulan Januari, panel tersebut menyetujui pembelian vaksin oleh negara pada 1 Februari 2016 silam. Namun demikian merekomendasikan pengawasan yang lebih ketat.

“Berdasarkan bukti ilmiah yang ada ketika dipersentasikan kepada Dewan, masih ada kebutuhan untuk menetapkan keamanan jangka panjang, efektivitas dan efektivitas biaya,” kata FEC kepada Garin dalam sebuah surat hari itu. Surat tersebut dilihat oleh Reuters.

FEC mengatakan bahwa vaksin Dengvaxia harus diperkenalkan melalui uji coba dalam skala kecil dan penerapan secara bertahap di tiga wilayah di negara tersebut pada waktu yang sama.

FEC juga mengatakan vaksinasi hanya dilakukan setelah penelitian “dasar” terperinci tentang prevalensi dan tingkatan demam berdarah di wilayah sasaran.

Orang-orang menampilkan tanda-tanda dan suntikan tiruan, dengan ungkapan “3.5 miliar peso Dengvaxia fund investigation” ditampilkan di atasnya, dalam sebuah demonstrasi di depan Departemen Kesehatan Filipina (DOH) di metro Manila, Filipina pada 5 Desember 2017. (Reuters / Romeo Ranoco / Foto File)

Para ahli juga merekomendasikan agar Dengvaxia dibeli dalam jumlah kecil sehingga harga bisa dinegosiasikan lebih rendah.

Laporan evaluasi ekonomi yang ditugaskan oleh departemen Garin sendiri telah menemukan bahwa biaya yang diusulkan sebesar 1.000 peso (US $ 21,29) per dosis dinilai “tidak efektif dari biaya” dari perspektif pembayar pajak publik. Untuk alasan yang tidak bisa ditemukan oleh Reuters, rekomendasi ini diabaikan.

DOH membeli 3 juta dosis Dengvaxia, cukup untuk tiga vaksinasi yang diperlukan untuk setiap anak dalam program imunisasi yang diusulkan dan membayar 1.000 peso per dosis. Demikian berdasarkan salinan pesanan pembelian yang diperoleh oleh Reuters.

Departemen ini melakukan “studi dasar yang terbatas” pada akhir Februari dan Maret 2016. Namun survei tersebut melihat “penyakit umum” dan bukan prevalensi demam berdarah.

Garin, yang merupakan bagian dari pemerintahan mantan presiden Benigno Aquino dan diganti saat Presiden Rodrigo Duterte mengambil alih kekuasaan pada Juni 2016, tidak menanggapi permintaan untuk mengomentari mengapa dia mengabaikan rekomendasi para ahli setempat.

Seorang dokter mengatakan, Garin telah membela tindakannya dan sebuah program yang menurutnya “dilaksanakan sesuai dengan panduan dan rekomendasi WHO.”

“Saya mengerti kekhawatirannya,” katanya kepada stasiun TV Filipina ABS-CBN pada hari Jumat.

“Saya juga seorang ibu. Anak saya juga divaksinasi. Saya juga divaksinasi,” katanya.

Juru bicara DOH Lyndon Lee Suy juga tidak menanggapi pesan atau pertanyaan yang dikirim melalui email kepadanya.

Sanofi Philippines menolak berkomentar mengenai keputusan pemerintah Filipina.

Namun, Dr. Su-Peing Ng, Kepala Medis Global Sanofi Pasteur, mengatakan kepada Reuters: “Kami mengkomunikasikan semua manfaat dan risiko vaksin yang diketahui ke pemerintah Filipina.”

Rontgen Solante, mantan presiden Society for Microbiology and Infectious Diseases Filipina, mengatakan bahwa pejabat kesehatan termotivasi untuk mengakhiri dampak melemahkan demam berdarah di Filipina, di mana ada sekitar 200.000 kasus yang dilaporkan setiap tahun dan masih banyak lagi yang tidak dilaporkan.

Lebih dari 1.000 orang meninggal karena penyakit di negara itu tahun lalu.

Dua bulan setelah FEC menulis surat kepada Menteri Kesehatan, DOH mulai mengimunisasi satu juta siswa berusia usia 10 tahun di ketiga wilayah sasaran pada bulan April 2016, sesuai dengan rencana awalnya namun bertentangan dengan rekomendasi FEC untuk melakukan vaksinasi secara bertahap.

“Proses biasa untuk DOH yang telah melindungi anak-anak kita selama beberapa dekade tidak diikuti. Itu adalah fakta,” kata Susan Mercado, mantan Menteri Kesehatan Filipina dan mantan pejabat senior di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

WHO mengatakan pada April 2016 bahwa kampanye Filipina tampaknya memenuhi kriteria penggunaan Dengvaxia karena daerah sasaran memiliki tingkat keterpaparan dengue yang tinggi. Vaksin akan diberikan kepada anak-anak berusia 9 tahun ke atas; dan mereka masing-masing akan menerima tiga dosis.

Kini, setelah peringatan dari Sanofi, WHO mengatakan mereka setuju dengan keputusan pemerintah untuk menangguhkan program imunisasi.

Tidak boleh Mengabaikan Ahli

Menteri Kesehatan di pemerintahan Duterte saat ini, Francisco Duque, mengatakan bahwa dia akan melakukan “analisis menyeluruh” atas rekomendasi dan program FEC sebelum memberikan keputusan.

Dia mengatakan bahwa rekomendasi Dewan tersebut tidak dapat dilaksanakan secara sah.

“Di penghujung hari, keputusan akhir dibuat ,” katanya kepada Reuters.

“Tapi karena keahlian yang dimiliki anggota FEC, itu adalah sesuatu yang tidak ingin Anda abaikan.”

Mendasari kekhawatiran pada tahun 2016 tentang Dengvaxia, karena dikonfirmasi oleh Sanofi, khawatir bahwa vaksin tersebut akan bertindak seperti infeksi primer bagi mereka yang tak pernah menderita demam berdarah.

Jika digigit nyamuk pembawa virus setelah vaksinasi, bisa jadi sama-sama mendapatkan demam berdarah untuk kedua kalinya. Bahkan sering menyebabkan gejala jauh lebih parah dan berpotensi kematian jika kasus buruk tidak ditangani dengan cepat.

Kekhawatiran tersebut pertama kali diangkat oleh pakar penyakit tropis berbasis di Amerika Serikat, Dr. Scott Halstead, yang mendesak Sanofi dan WHO untuk terus berhati-hati.

Di Filipina, Dr. Antonio Dans, seorang ahli epidemiologi dari Universitas Filipina, memimpin sebuah delegasi dokter ke Kementerian Kesehatan pada Maret 2016 di mana, dengan mengutip penelitian Halstead, mereka mendesak agar kampanye imunisasi dibatalkan.

“Data itu tidak pasti tapi jelas ada ketidakpastian dan risikonya. Mengapa tidak menunggu studi lengkap selesai sebelum membahayakan begitu banyak anak?,” Gans mengatakan kepada Reuters.

Dalam sebuah dengar pendapat Senat akhir tahun lalu, Garin mengatakan bahwa dia mengetahui penilaian Halstead namun menolaknya. “Ini adalah teori, itu belum terbukti,” katanya saat itu.

Kekhawatiran Melonjak

Dua sumber yang terlibat dalam program tersebut mengatakan tidak ada pengujian antibodi yang dilakukan, seperti yang direkomendasikan oleh FEC.

Uji antibodi, meski tidak 100 persen akurat, mengindikasikan apakah seseorang menderita demam berdarah sebelumnya.

Duque, Menteri Kesehatan saat ini, menuntut pengembalian dana sebesar 3 miliar peso (US $ 60 juta) untuk vaksinasi dan telah mengancam tindakan hukum terhadap Sanofi jika terbukti memiliki informasi yang dipetieskan.

Sebuah penyelidikan kriminal sedang berlangsung bagaimana bahaya terhadap kesehatan masyarakat berdampak dan dua rapat Kongres telah diadakan di Filipina.

Duque mengatakan kepada Reuters bahwa dia khawatir program tersebut dibayarkan dari alokasi “off-budget”, yang berarti hal tersebut melampaui pengawasan Kongres. Reuters tidak bisa mengkonfirmasi hal ini.

Sampai saat ini, satu anak dari 830.000 orang yang divaksinasi, seorang gadis yang dirawat di rumah sakit dengan demam berdarah parah, telah dikaitkan secara pasti oleh Kemeneks ke dalam kampanye tersebut. Namun departemen kesehatan mengatakan masih belum memiliki data lengkap tentang mereka yang jatuh sakit setelah divaksin Dengvaxia. (asr)

Oleh : Reuters/Tom Allard dan Karen Lema Via The Epochtimes