Epochtimes.id- Mahkamah Agung Iran telah menjatuhkan hukuman mati terhadap seorang akademisi Iran yang berbasis di Swedia, sebelumnya dipidana sebagai mata-mata Israel seperti dilansir Reuters dari jaksa Teheran, Senin (25/12/2017).
Laporan ini kemudian dikonfirmasi dalam laporan Amnesty International dan pihak keluarga akademisi Iran ini.
Ahmadreza Djalali adalah seorang dokter medis dan peneliti dalam penanggulangan bencana. Dia dituduh oleh pemerintah Iran karena memberikan informasi kepada Israel untuk membantu pembunuhan terhadap beberapa ilmuwan nuklir senior Iran.
Djalali ditangkap saat berada di Iran dalam sebuah perjalanan bisnis pada April 2016 dan kemudian dihukum karena tuduhan melakukan spionase.
Djalali menolak tuduhan tersebut. Amnesty International menyatakan dalam pernyataan disebutnya “pengadilan yang sangat tidak adil” atau grossly unfair trial.
Setidaknya empat ilmuwan terbunuh antara 2010 dan 2012 seperti dikatakan Teheran sebagai pembunuhan yang dimaksudkan untuk menyabotase Iran mengembangkan energi nuklir.
Kekuatan Barat dan Israel mengatakan Iran bertujuan untuk membangun sebuah bom nuklir. Namun demikian, Teheran membantah tuduhan ini.
PRESS RELEASE: Iran upholding academic Ahmadreza Djalali’s death sentence in secret shows utter contempt for right to life https://t.co/2AV838dHC1 pic.twitter.com/kV6ozlvSdA
— Amnesty Iran (@AmnestyIran) 12 Desember 2017
Iran sebelumnya menggantung mati seorang pria pada tahun 2012 atas pembunuhan tersebut. Iran mengatakan bahwa dia adalah seorang mata-mata dinas intelijen Israel, Mossad.
Pada Senin lalu, jaksa Tehran Abbas Jafari Dolatabadi mengatakan Djalali mengakui bertemu dengan agen Mossad berulang kali untuk menyampaikan informasi mengenai rencana dan personil nuklir Iran. Jaksa Iran ini juga menyebutkan Djalali dituduh membantu menginfeksi sistem komputer Kementerian Pertahanan dengan virus.
Amnesty International dan istri Djalali yang berbasis di London mengatakan awal bulan ini pengacaranya diberitahu bahwa Mahkamah Agung telah mempertimbangkan kasusnya dan menjatuhkan hukuman mati terhadap Djalali.
Siaran Televisi Negara Iran pada minggu lalu menyampaikannya sebagai pengakuan Djalali. Istrinya mengatakan suaminya dipaksa untuk membaca pengakuan tersebut.
Djalali ketika itu sedang dalam perjalanan bisnis ke Iran saat dia ditangkap dan dikirim ke penjara Evin. Dia ditahan di sel isolasi selama tiga bulan dengan mengalami penyiksaan seperti dikutip Amnesty International.
Sebelumnya Djalali menulis dalam sebuah surat di dalam penjara pada Agustus lalu yang menyebutkan dirinya ditahan karena menolak memata-matai untuk Iran.
تا ساعتی دگر عفو بینالملل بلژیک تجمعی را در برابر سفارت ایران در بروکسل و در حمایت از احمدرضا جلالی برگزار میکند.
لطفا عفو بینالملل بلژیک را دنبال کرده و حمایتشان کنید اگر خارج از بلژیک هستید@amnestyvl— Amnesty Iran (@AmnestyIran) 14 Desember 2017
Swedia mengutuk hukuman tersebut pada Oktober lalu dan mengajukan masalah tersebut kepada utusan khusus Iran.
Sebanyak 75 penerima Nobel Perdamaian mengajukan petisi kepada otoritas Iran bulan lalu untuk membebaskan Djalali agar bisa “melanjutkan pekerjaan ilmiahnya demi keuntungan umat manusia.”
Menurut Ole Petter Ottersen, Wakil Rektor Institut Karolinska sebagai institusi Djalali memperoleh gelar PhD-nya, “Djalali telah bekerja dengan para periset dari seluruh dunia untuk memperbaiki kapasitas rumah sakit di negara-negara yang menderita kemiskinan ekstrim atau terkena dampak bencana dan konflik bersenjata. ”
Sumber : Reuters via The Epochtimes