ErabaruNews – Otoritas pendidikan Tiongkok beru-baru ini meluncurkan sebuah program bantuan kepada Tibet dan Xinjiang. Bantuan itu berupa meningkatkan kualitas pendidikan.
Tahun 2018 akan menjadi tahun pertama realisasi program itu, sebanyak 4.000 orang guru akan dikirim ke sana. Program tersebut dikabarkan demi mencapai pengendalian yang efektif, seperti dikutip dari NTD.TV, Rabu (27/12/2017).
Situs Kementerian Pendidikan Tiongkok pada 25 Desember 2017 menyebutkan, baru-baru ini, pihaknya bersama-sama dengan Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional, Kementerian Keuangan, Kementerian SDM dan Jaminan Sosial telah mengadakan kesepakatan dan kerjasama.
Kerjasama dilakukan dalam rangka menyukseskan ‘Program Pelaksanaan Bantuan Pendidikan untuk Tibet dan Xinjiang’ dengan mengirim ribuan guru setiap tahunnya ke wilayah-wilayah tersebut. Pengiriman guru untuk mendukung pendidikan dan pelatihan guru lokal.
Berita tersebut memicu kekhawatiran banyak pihak karena mereka percaya bahwa ini merupakan cara PKT untuk mengendalikan wilayah Tibet dan Xinjiang lebih jauh, melalui ‘pendidikan’.
“Otoritas komunis terus merasa khawatir dengan kemampuan mereka dalam mengendalikan warganya di daerah terpencil, terutama wilayah beretnis minoritas, yang memiliki kepercayaan tertentu,” ujar Li Yuanhua, mantan gurubesar Sekolah Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Capital Normal University Beijing.
“Mereka khawatir dengan dominasinya yang masih lemah atau belum menyeluruh. Sehingga berharap hal ini dapat teratasi melalui sarana pendidikan. Melalui cara penyusupan sedikit demi sedikit!” Sambung Li Yuanhua.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Uighur di Amerika Serikat, Ilshat Hassan mengatakan Pemerintahan komunis telah memerintahkan semua sekolah dasar dan menengah di Turkistan Timur untuk menghentikan pendidikan yang menggunakan bahasa Uighur. Mereka menggantikannya dengan bahasa Mandarin.
“Guru-guru yang tidak mahir berbahasa Mandarin akan dibebastugaskan dari tugas mengajar. Dengan demikian akan timbul sejumlah kekosongan, dan ini menjadi kesempatan guru-guru etnis Han kiriman otoritas itu untuk mengisinya. Komunis selalu menggunakan pendidikan sebagai sarana pencucian otak dan peluang untuk propaganda dan menanamkan budaya partai mereka,” beber Ilshat Hassan.
Hassan juga mengatakan bahwa untuk melenyapkan suatu bangsa dapat dilakukan melalui membasmi budayanya. Tentu saja, cara ampuh untuk membasmi budaya adalah dengan menghilangkan bahasanya.
“Otoritas berusaha untuk menggusur bahasa etnis lokal dari sekolah-sekolah, baik yang berada di daerah Tibet maupun Uighur. Begitu bahasanya hilang, maka budayanya akan ikut hilang atau sulit berkembang hingga suatu ketika etnis lokal tersebut akan mengalami sinisisasi. Jadi ini adalah cara untuk membuat punah suatu bangsa melalui genosida kebudayaan,” jelas Hassan.
Kabarnya, syarat untuk memenuhi kualifikasi guru di wilayah terpencil itu adalah, Memiliki reabilitas politik, etika guru, menganut dan dapat dengan tegas menerapkan kebijakan etnis dan agama yang yang telah ditentukan oleh pemerintah komunis. Syarat lainnya adalah, dapat menjaga kesatuan bangsa dan negara.
Li Yuanhua menimpali, bahwa etika guru yang mereka maksudkan itu bukan etika guru yang umumnya dikenal secara universal. Namun, itu adalah etika yang sejalan dengan spirit pemerintah komunis.
“Ini yang mereka anggap jauh lebih penting. Jika Anda tetap bertahan dengan keyakinan Anda tanpa mau diubah, maka Anda bisa saja dijuluki sebagai seorang separatis. Keyakinan Anda dianggap sebuah rongrongan buat mencapai kesatuan dan persatuan bangsa,” ujar Li Yuanhua.
Laporan tersebut mengklaim bahwa melalui pelaksanaan program ini, kualitas pendidikan dasar di Tibet dan Xinjiang akan meningkat secara komprehensif. Sehingga mereka dapat memberikan jaminan untuk pelatihan lokal mencapai apa yang disebut menciptakan para patriotik, pecinta dan pendukung partai, generasi penerus yang handal guna meneruskan pembangun sosialisme.
Ilshat Hassan melanjutkan istilah memberikan pelatihan kepada guru lokal untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas pendidikan yang disebut-sebut otoritas itu tak lain hanyalah sebuah propaganda. Kualitas akan dikembangkan sehingga bisa menciptakan anak-anak didik yang setia kepada partai, dan setia terhadap sosialisme.
“Ini yang mereka anggap penting. Jadi mereka hendak menciptakan orang-orang yang berkualitas budak demi memperkuat sistem kolonial mereka. Untuk menekan semua suara atau suasana ketidakpuasan terhadap pemerintah sekarang,” sambungnya.
Laporan tersebut juga mengatakan bahwa para pendidik yang dikirim otoritas itu hanya akan berada di Tibet atau Xinjiang selama kurang lebih satu setengah tahun. Masalah pengiriman, paket remunerasi, penilaian jabatan, evaluasi dan lain sebagainya akan ditentukan berdasarkan aturan yang berlaku.
Hasan mengatakan bahwa akibat propaganda demonisasi yang disebarkan PKT, kebanyakan warga etnis Han enggan ditempatkan di Xinjiang. Jadi, mereka terpaksa dirangsang dengan uang atau kepentingan.
“Propaganda demonisasi PKT terhadap etnis Uighur membuat masyarakat Tiongkok berasumsi bahwa kerusuhan bisa sewaktu-waktu terjadi di Xinjiang. Karena blokade informasi, percampuran rumor dan gosip membuat banyak orang mengira, etnis Uighur akan membunuh setiap etnis Han yang mereka jumpai. Sehingga mereka takut untuk mendengar atau memahami hal-hal tentang Turkistan Timur. Sedapat mungkin menolak untuk bertugas di Xinjiang. Oleh karena itu otoritas merangsang dengan gaji yang tinggi serta perumahan gratis,” ungkap Hassan.
Dia percaya bahwa pasti akan muncul sejumlah warga etnis Han pemberani yang bersedia ditugaskan di Xinjiang karena rangsangan remunerasi. Dan salah satu kebijakan Partai komunis Tiongkok terhadap wilayah etnis minoritas adalah dengan cara transmigrasi massal warga etnis Han untuk mencerai-beraikan warga etnis Uighur, sehingga mereka nantinya menjadi etnis berjumlah lebih kecil dan lebih mudah dikendalikan penguasa. (NTDTV/Sinatra/waa)