Oleh : Matthew Little
News Analysis
Korea Utara yang baru-baru ini bersedia berdialog dengan Korea Selatan adalah sebuah cara mengulur waktu atau menunda kemungkinan invasi Amerika Serikat – bisa jadi keduanya- seperti pendapat dua orang pakar ini.
Banyak faktor membuat Korea Utara akhirnya bersedia berdialog dengan Korea Selatan. Beberapa komentator menyebutnya sebagai terobosan diplomatik.
Sementara itu, partisipasi dua pemain skater Korea Utara di Olimpiade Musim Dingin yang akan datang di Pyeongchang dibingkai oleh beberapa pihak sebagai titik balik bagi rezim paling menindas rakyatnya sendiri di dunia ini.
Namun adanya harapan dari pertanda perdamaian Korea Utara saat ini, mengindikasikan munculnya perubahan, yang berarti selama ini adanya kekeliruan posisi mengenai Semenanjung Korea seperti dikatakan Rick Fisher, seorang senior International Assessment and Strategy Center.
Fisher percaya bahwa selama krisis, Korea Utara telah menyelaraskan seluruh dunia melawannya, dengan hanya memiliki dua sekutu yang dipaksakan – Tiongkok dan Rusia – yang bersedia menawarkan dukungan.
Dengan tidak ada tempat untuk mengganti haluan, apalagi sanksi-sanksi terus mengenggam ekonomi Korea Utara, rezim komunis Kim Jong Un juga menghadapi ancaman kekuatan militer dari pemerintah Amerika Serikat yang baru. Korea Utara tidak dapat mengatasi ancaman itu melalui perlawanan. Jadi rezim Kim mencoba melakukan pendekatan yang berbeda.
“Mereka pikir bisa menurunkan beberapa kesepakatan yang dipimpin Amerika untuk melakukan tindakan melawan mereka dengan berbaik hati kepada Korea Selatan,” kata Fisher.
Bagi Korea Selatan, kenangan akan kehancuran akibat perang dan kemungkinan yang lain cukup untuk mempertahankan harapan agar Korea Utara bisa tulus.
Namun Kim secara khusus mengatakan bahwa rudal balistik nuklirnya ditujukan untuk Amerika Serikat, membuat optimisme semacam itu sebagai aksi sembrono yang berbahaya.
Fisher mengatakan Korea Utara akan terus membentuk ancaman rudal nuklir ke seluruh dunia, terutama Amerika Serikat.
Membuka pintu diplomatik seperti saat ini dinilai hanyalah sebuah tactical retreat (Mengakui kekalahan kecil jangka pendek untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang) belaka, sebuah cara meredakan tekanan kemungkinan bahaya yang tak diinginkan dihadapi oleh Korea Utara.
“Korea Utara ingin menusuk gelembung kesepakatan internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat, jika diperlukan tindakan militer harus dilakukan terhadap Korea Utara,” katanya.
Fisher mengatakan Korea Utara berharap untuk mencairkan konsensus tersebut dengan membuka sebuah dialog. Itu memberi waktu kepada rezim, yaitu satu-satunya hal yang dibutuhkan Kim yakni sebanyak-banyaknya uang.
Fisher berpendapat berdasarkan taksiran intelijen tentang Korea Utara, akan setahun lagi Korut dapat sepenuhnya memanfaatkan program nuklir dan rudal mereka saat ini. Bahkan Korut dapat menggabungkannya untuk memproduksi ICBM nuklir yang mampu mengantarkan hulu ledak ke sasaran target.
Apalagi Rezim Kim membutuhkan waktu untuk menyelesaikan pembangunan kapal selam lebih besar dan peluncur rudal dari kapal selam yang bisa menjadi ancaman bagi Jepang.
Steven Mosher, Presiden Lembaga Penelitian Kependudukan dan penulis buku terbaru “Bully of Asia: Why China’s Dream is the New Threat to World Order,” mengatakan Korea Utara hanya berpikir menunda, lebih suka menyogok dan kesempatan.
“Dari sudut pandang Amerika, negosiasi masa lalu dengan Korea Utara tidak mencapai apapun. Dari sudut pandang Korea Utara, bagaimanapun, mereka telah menyelesaikan dengan tepat tujuan mereka,” kata Mosher.
“Mereka telah membeli kesempatan Korea Utara dan lebih dari satu miliar dolar bantuan Amerika dari pemerintahan Clinton dan Bush.”
Saat ini rezim Kim sedang memasuki tahapan di mana ia dapat memasang program rudal dan senjata nuklirnya bersama-sama seperti dikatakan Mosher. Langkah Korut hanya membutuhkan lebih banyak waktu dan mungkin sejumlah uang, yang keduanya tidak mungkin diperoleh melalui kekuatan atau provokasi lebih lanjut. Tanpa pilihan lain, Korea Utara harus mengeluarkan kartu dialog.
Dan tidak ada negara yang siap dan mau berbicara dengan Korea Utara seperti Korea Selatan. Sementara Jepang dan Amerika Serikat keduanya sama-sama meneriakkan garis keras sikap rezim Kim, Korea Selatan tetap lebih terbuka dan optimis.
“Sanksi mulai menggigit, dan Kim Jong Un menjangkau hubungan terlemah aliansi Amerika Serikat-Jepang dan AS-Korea Selatan, yang ternyata merupakan Korea Selatan,” katanya.
Mosher sepakat dengan Fisher bahwa Korea Selatan tergerak oleh simpati alami bagi rata-rata orang Korea Utara. Orang-orang mengalami trauma dengan rezim saat ini. Ada juga kemungkinan artileri Korea Utara bisa memakan korban jutaan nyawa di Korea Selatan.
Namun sementara sentimen itu dapat mendesak Korea Selatan agar melakukan segala upaya yang mungkin dilakukan dengan solusi diplomatik, Mosher mengatakan ketika sementara itu, Korea Utara akan terus melanjutkan secepat mungkin pembangunan rudal dan senjata nuklir.
“Kunci untuk memecahkan dilema Korea Utara tidak akan ditemukan dalam negosiasi antara Korea Utara dan Selatan, namun mendapatkan tekanan dari AS tentang ‘sponsor’ Korea Utara, Tiongkok,” kata Mosher.
“Selama Kim Jong Un yakin bahwa dia menikmati dengan tenang dukungan dari Tiongkok, dia sama sekali tidak memiliki alasan untuk mengubah perilakunya.” tambahnya.
Itu dua kali lipat sehingga Korea Utara mengembangkan ICBM yang mampu membawa hulu ledak nuklir mini diyakini oleh rezim Kim.
Mosher percaya ketegasan pendekatan Presiden Donald Trump telah memberi Kim jeda dan memperlambat uji coba rudal Korea Utara.
Tapi untuk perubahan secara permanen, Amerika Serikat perlu mematahkan aliansi Tiongkok-Korea Utara. Bagi Tiongkok, Korea Utara adalah boogeyman (Mitos hantu istilah barat hanya untuk menakut-nakuti) yang dirancang dengan sempurna untuk mengalihkan perhatian dan membuang sumber daya militer Amerika Serikat.
“Dan jika perang meletus, Amerika Serikat akan menggunakan kekuatan militer dan keuangan secara signifikan, membiarkannya melemah dan tak bertenaga membela sekutunya, Taiwan, dari serangan Tiongkok. Oleh karena itu, perang Korea lainnya berpotensi mempercepat timeline Tiongkok untuk menaklukkan Taiwan,” kata Fisher.
Menurut sudut pandang Fisher, solusi terbaik mengatasi semua masalah ini adalah menghidupkan kembali tactical nuclear weapon (TNW) atau senjata nuklir non strategis di Asia, yang mana pemerintahan Bush telah menarik diri dalam upaya sebelumnya untuk merundingkan Korea Utara dari pengembangan senjata nuklir.
Dengan pendekatan penarikan diri Bush dengan jelas merupakan kegagalan, TNW di ambang pintu Kim akan banyak meyakinkan Kim, dan Tiongkok, bahwa perang bukanlah kepentingan terbaik bagi seseorang. (asr)
Sumber : The Epochtimes