Ekonomi Tak Bermoral Sulit Berkembang Lebih Lanjut

Kehilangan Fundamental Kepribadian, Negara Mudah Goyah

Seiring dengan berpindahnya mahkota sebagai pabrik dunia, RRT telah digantikan oleh India, banyak perusahaan di dalam negeri hengkang ke luar negeri, seperti Taipan Hongkong Li Ka-sing, CEO Honghai Group Guo Taiming, mengambil langkah besar mengalihkan investasinya ke Amerika, mengapa para konglomerat itu meninggalkan Tiongkok?

Anggota Dewan Kota Taipei Hong Jianyi mengatakan, di tengah situasi ekonomi global yang tidak bergairah ini, banyak negara membuat kebijakan yang menguntungkan asing untuk menarik minat mereka berinvestasi, RRT sudah bukan lagi satu-satunya pilihan.

Apalagi AS sangat demokratis dan terbuka, juga memberikan fasilitas yang memudahkan perusahaan berinvestasi, ini sama saja dengan menyerukan pada rezim Beijing, “Penguasaan oleh manusia (sistem otoriter) sudah bukan lagi tren dunia, dan seharusnya menuju demokrasi yang sesungguhnya”.

penjualan properti tiongkok dibatasi
Proyek properti di pusat kota Chongqing, Tiongkok, pada 9 Juli 2007. (Foto oleh Tiongkok Photos / Getty Images)

Jika sebuah negara ingin maju, selain ekonomi harus berkembang pesat, kualitas SDM juga harus meningkat, Taiwan menyebutnya “warga dan moralitas”. Ia menegaskan, dalam hal ini mencakup penjelasan yang sangat luas, termasuk sopan santun, etika, rendah hati dan rasa malu, setia, berbakti, belas kasih, damai dan kepercayaan, setiap kata memiliki makna yang mendalam, adalah hal yang harus dipelajari, dihayati, diterima oleh setiap orang.

Sebuah negara besar dengan pertumbuhan ekonomi, jika tidak memiliki landasan etika dan moral, “Maka bangkitnya negara tersebut hanya akan bersifat sementara”, kata Hong Jianyi.

Ketika ekonomi berkembang pesat namun tidak belajar menjadi orang yang mengerti aturan dan mentaatinya, maka perekonomian seperti itu pada akhirnya hanya berupa gelembung, dan negara seperti itu akan mudah runtuh.

Andalkan Ekspor dan Properti, Pertumbuhan Ekonomi Tak Bertahan Lama

Sejumlah orang Tiongkok berpendapat, walaupun masyarakat telah rusak, selama ekonomi terus bertumbuh, mereka tetap berkecukupan sandang dan pangan, setidaknya masih bisa terus bertahan hidup.

Terkait hal ini, menurut Cheng Xiaonung, dua alasan kemakmuran ekonomi Tiongkok selama 20 tahun terakhir ini, adalah “demam ekspor” dan “demam properti”, inilah yang membuat kalangan kelas menengah meningkat taraf hidupnya, namun banyak yang tidak menyadari kedua hal ini tidak bisa dipertahankan, bahkan bila kesempatan itu datang tetap tidak bisa dipertahankan selamanya.

Tidak ada satu pun negara besar yang bisa mempertahankan pertumbuhan ekonominya hanya dengan mengandalkan ekspor ke seluruh dunia.  Jika menggunakan metode ini, maka aturan perdagangan ekonomi dunia akan rusak, termasuk hanya menjual tapi tidak membeli, banyak menjual sedikit membeli, membangun banyak properti dari tahun ke tahun.

kebijakan amerika menjadi ancaman ekonomi tiongkok
Pelabuhan Yangshan, sebuah dermaga kargo otomatis di selatan Shanghai, pada 6 Desember 2017. (AFP / Getty Images)

Ketika 1 milyar jiwa penduduk memiliki 1,5 milyar rumah tinggal, menurut Cheng Xiaonung, untuk selanjutnya perekonomian RRT harus mengandalkan apa? Semua gelembung sudah pecah.

Ia berkata, sekarang RRT sudah tidak memiliki dua daya dorong itu lagi, yakni telah memasuki “kondisi ekonomi baru” seperti yang dikatakan pemerintah Beijing, dengan kata lain, kemakmuran itu tidak akan ada lagi.

Merosotnya moralitas masyarakat, sebenarnya pertanda apakah hal ini bagi Tiongkok? Cheng Xiaonung mengatakan, setelah reformasi keterbukaan yang telah menyebabkan semua lapisan rakyat Tiongkok hanya percaya pada satu hal yakni uang.

Kepercayaan sebagai dasar menjadi seorang manusia atau mengejar idealisme dengan cara yang benar pun boleh dicampakkan, “sehingga terjadilah situasi, aku merugikan orang lain, orang lain berbalik merugikan aku.”

Konsep seperti inilah yang membuat bahan pangan beracun merajalela, salah satu contoh klasiknya adalah minyak goreng bekas. Selama bisa meraup untung, segala cara dihalalkan, inilah kondisi dimana nilai moral telah hancur.

Dalam kebudayaan tradisional Tiongkok sebelum rezim komunis berkuasa, karena adanya batasan “moral”, masyarakat sangat menjaga sikap, namun dalam 40 tahun terakhir ini, semua orang tidak peduli lagi pada moralitas.

Sama sekali tidak membedakan mana yang baik dan buruk, benar dan salah, hanya tahu merugikan orang lain, hanya agar aku mendapat keuntungan, tanpa peduli betapa rusaknya moralitas.

Moral dan konsepsi nilai adalah salah satu pondasi masyarakat, begitu hal ini dirusak, maka akan sulit dipulihkan dan dibangkitkan kembali, bahkan beberapa generasi berikutnya masih akan melanjutkan kesalahan tersebut.

“Peradaban Tiongkok selama ribuan tahun, moralitas dan konsepsi nilainya telah musnah hanya dalam 40 tahun ini saja,” pungkas Xiaonung. (SUD/WHS/asr)

Sumber : Epochtimes.com