oleh Yī Luoxun
Ini adalah kisah seorang ayah dari Tiongkok yang pada awalnya tak percaya dengan hal-hal berbau spiritual. Kisah jalan hidupnya semua berakhir ketika terbaring di rumah sakit. Hingga dia mengalami sebuah mimpi seperti dituturkan oleh anaknya kepada ntdtv.com.
Berikut kisahnya :
Kedua orangtua saya berasal dari keluarga militer dan termasuk orang keras kepala akibat selama setengah abad hidup dalam lingkungan komunisme di Tiongkok. Apalagi ayah saya itu, sering menuduh kami yang putra putrinya berpikiran feodal, percaya terhadap hal-hal takhayul ketika kami sedang bercerita tentang hantu.
Ketika ayah merasa kondisi kesehatan sedang fit, tiba-tiba terdiagnosa mengidap penyakit kanker stadium lanjut. Hal tersebut membuat dirinya terpukul, tidak mengerti dan semangat hidupnya pun langsung ambruk.
Selama 3 bulan terakhir masa hidupnya, ia terbaring di rumah sakit dan sering mengenang kembali masa-masa lalunya.
Hal yang membuatnya tidak mengerti adalah, mengapa ia yang tidak pernah melakukan hal buruk, bahkan sepanjang hidupnya telah banyak ‘Mengabdi kepada rakyat’ tetapi harus jatuh ke dalam lembah kelam menunggu datangnya hari kematian.
Pada saat itu, baru untuk pertama kalinya muncul dalam benak saya tentang hal yang berkaitan dengan kematian juga soal apa arti sesungguhnya dari kehidupan seseorang.
Saking seriusnya ingin menguak masalah tersebut, sampai hampir setiap hari saya ‘membahas’ hal itu dengan ayah.
Ayah bercerita tentang kehidupannya, orang-orang yang pernah berhubungan dengan dirinya dan pengalaman dalam hidupnya baik yang manis maupun yang pahit.
Saya tidak mengerti mengapa di masa akhir hidup seseorang ingatannya tiba-tiba berubah begitu luar biasa. Sebenarnya ia sangat takut. Dan saya tanyakan kepadanya apa yang menjadi kekhawatirannya ? Apakah takut kehilangan segalanya yang sudah ayah miliki ? Jawaban ayah membuat saya terkejut, ia mengatakan : “Tidak, Apa yang saya takuti adalah akan ke mana saya pergi setelah ajal menjemput ?”
Mungkin sekali sifat dasar manusia baru tidak bisa dihalangi oleh gagasan yang datang dari luar pada saat manusia tersebut sudah mendekati waktu ajal.
Pokoknya dalam seharian ia sering membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan keberadaan jiwa di alam semesta ini, walaupun penyampaiannya tidak secara to the point.
Saat itu, dengan modal mengetahui sedikit tentang konsep reinkarnasi, saya mencoba untuk menggali lebih dalam masalah tersebut dengan bertukar pikiran dengan ayah dan sekaligus mencapai tujuan untuk menghibur rasa takutnya.
Tetapi hal ini justru memancing ayah mengungkapkan sejumlah mimpi-mimpi jelas yang datang dalam tidurnya setiap malam :
Ia menceritakan : “Di tepi sebuah kolam yang berbunga teratai, ada makluk yang tampaknya seperti peri cantik muda berusia sekitar 16 tahun sedang duduk di atas setiap tangkai lotus. Salah seorang peri sedikit mengangkat kepalanya untuk menatap saya, jadi saya pun bisa menatap wajahnya yang memang sangat cantik, setelah peri itu diangkat dengan kedua lengan, kemudian yang terlihat adalah saya telah dilahirkan di dunia ini, dan nenekmu adalah jelmaan dari peri cantik itu”.
Pada saat itu, saya pikir ayah sedang bercerita tentang hal yang berbau takhayul. Tetapi sekarang saya baru sadar bahwa gara-gara melanggar larangan Pencipta Alam itulah nenek dan ayah harus menjalani kehidupan di dunia ini dengan penuh kesengsaraan. Dilahirkan kembali ke dunia ini untuk membayar ‘utang’.
Ayah kembali menceritakan mimpi yang ia alami waktu tidur : “Ada 2 orang usia tua dengan rambut dan janggut panjang berwarna putih tetapi dari wajahnya tampak seperti anak-anak usia remaja. Salah satu orang tua itu bertubuh tinggi kurus dan satunya lagi pendek gemuk. Mereka membawa saya pergi ke suatu tempat yang sangat luas. sesampai di sana saya diajak untuk menaiki trap tangga terbuat dari susunan batu yang lebar, panjang menuju suatu ketinggian di mana terlihat ada sebuah bangunan kuil megah berdiri di sana.
Pada trap tangga batu pertama, terdapat sebuah lubang slot batu berbentuk tubuh manusia, setelah orang tua yang bertubuh pendek gemuk itu berbaring di dalamnya. trap tangga pertama itu baru rata bisa dilalui orang. Sedangkan orang tua yang tinggi kurus itu berdiri di samping trap dengan tangan jari menunjuk ke arah atas memberikan isyarat agar saya naik.
Saat itu muncul dalam benak saya bukankah saya akan menjadi orang yang kurang ajar jika harus naik ke atas dengan menginjak lebih dulu tubuh orang yang usianya jauh lebih tua daripada saya?
Tidak ! Tidak boleh begitu ! Pikir saya. Lalu orang tua kurus itu mendorong tubuh saya dengan lembut sehingga saya menjadi ‘jatuh’ dan kembali ke alam ini”.
Usai mendengar cerita ayah saya mencoba untuk memberikan komentar meskipun ragu dengan benar-salahnya : “Ayah, tempat yang sudah ayah kunjungi itu bukannya lebih baik daripada di sini, dari sana mungkin ayah dulu didatangkan ?”
Ayah akan merasa senang jika saya yang menemaninya di rumah sakit, dan ia selalu mengatakan bahwa di sebelah kanan saya ada seseorang dengan membawa tasbih panjang yang selalu mengikuti saya ke mana pergi. Begitu saya datang ke rumah sakit, ia merasakan ada sebuah zat berwarna hitam yang keluar dari tubuh sehingga kondisi badannya lebih enak.
Saya tidak mengerti apa maksudnya tetapi percaya bahwa jangan-jangan ada pelindung yang mendamping saya.
Pada saat ayah menghadapi akhir ayatnya, ia masih memiliki kesadaran yang baik, ia berkata kepada saya : “Ada seorang berjubah putih panjang masuk ke dalam ruang tidur lalu meletakkan selembar saputangan berwarna putih di depan dada saya. Setelah itu ia menaburkan sejumlah bunga putih sepanjang jalan menuju langit dengan diiringi alunan musik yang indah”.
Jelas, ayah bercerita tentang apa yang ia alami terlepas apakah saya mau percaya atau tidak. Namun secara tegas saya memilih untuk percaya terhadap apa yang ia beritakan itu.
Dan sejak saat itu, pertanyaan “Setelah meninggal dunia nanti kita akan ke mana ?” menjadi pemicu munculnya rasa ‘sakit’ dalam hati saya serta serangkaian pertanyaan tentang nilai kehidupan manusia di dunia ini yang belum terjawab. (Sinatra/asr)