EpochTimesId – Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengumumkan pada 26 Februari 2018 bahwa Liu He, anggota Biro Politik dan Direktur Financial Leading Group Office akan berkunjung ke Amerika Serikat pada hari Selasa hingga Sabtu (27 Februari-3 Maret). Namun, Kementerian Luar Negeri belum mengumumkan siapa saja pejabat AS yang akan ditemui Liu He.
Padahal selama 3 hari mendatang, Sidang Paripurna Ketiga dari Kongres Nasional ke-19 sudah akan digelar. Selanjutnya menyusul digelar Dwi Konferensi selama 2 hari, mulai 3 Maret 2018. Biasanya, menjelang event besar seperti ini pejabat tinggi Tiongkok tidak akan berkunjung ke negara lain, jika tidak ada pertemuan penting atau kepentingan mendesak.
Liu He dipastikan tidak akan dapat menghadiri Sidang Paripurna Ketiga, karena baru akan kembali ke Beijing pada hari pertama Dwi Konferensi. Kejadian seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Hal yang menjadi perhatian adalah waktu kunjungan Liu He di AS yang cukup lama, yakni 5 hari. Masyarakat tentu bertanya-tanya.
Liu memimpin delegasi untuk mengunjungi Amerika Serikat, bisa dikatakan demi menonjolkan pengaruhnya di arena politik Tiongkok yang sedang berangsur-angsur mengalami peningkatan.
Dunia luar melihat Liu He sebagai seorang pemikir ekonomi utama. Dia juga dipandang sebagai tangan kanan Xi Jinping. Dalam posisi seperti itu, ia semestinya tidak akan meninggalkan rapat-rapat penting di Sidang Paripurna Ketiga. Apalagi isu ekonomi telah dimasukkan sebagai salah satu topik penting dalam rapat.
Jika demikian, urusan apa yang begitu mendesak untuk mendorong Liu He berkunjung ke AS pada saat-saat penting seperti sekarang ini? Apakah Liu mendapat tugas untuk menemui pejabat AS memiliki bobot lebih penting, lebih mendesak daripada Sidang Paripurna Ketiga?
Analis berpendapat bahwa perselisihan perdagangan antara Amerika Serikat dengan Tiongkok telah mencapai titik yang, ‘nyaris sulit untuk didamaikan’. Masalah-masalah utama dalam perdagangan antara kedua negara tersebut sudah mendesak untuk segera diatasi.
Mungkin bagi pihak Beijing, isu tersebut bagai api yang sudah menyambar bilik sehingga penyemprotan air tidak dapat ditunda lagi.
Seperti yang kita semua tahu, sejak kunjungan Presiden AS Trump ke Beijing pada bulan November tahun lalu, hubungan antara kedua negara tersebut semakin tidak akrab. Pemerintahan Trump juga bersikap semakin ketat terhadap Tiongkok.
New York Times melaporkan bahwa pejabat pemerintah Trump telah mengkritik kebijakan perdagangan Tiongkok dengan nada yang lebih keras. ‘Kelompok Elang’ dalam pemerintahan Trump belakangan ini makin berada di atas angin.
Robert Lighthizer yang bersikap keras dalam menghadapi perdagangan dengan Tiongkok sekarang sedang memimpin pemerintah AS melaksanakan sanksi perdagangan untuk melawan Tiongkok. Lighthizer adalah penggagas keras kebijakan perdagangan yang adil, dan ini kebetulan sama dengan filosofi Trump yang ‘America First’.
Seminggu yang lalu, Departemen Perdagangan AS mengumumkan bahwa impor baja dan aluminium dari Tiongkok dan negara-negara lain merupakan ancaman bagi keamanan nasional. Karena itu Lighthizer menyarankan Presiden Trump agar mengenakan pajak melalui berbagai cara atau membatasi komoditas tersebut.
New York Times dalam laporannya menyebutkan bahwa Trump juga pernah mempertimbangkan untuk memberlakukan tarif pajak yang sama kepada Tiongkok. Karena Tiongkok juga menerapkan tarif impor produk AS yang lebih tinggi dari tarif yang diberlakukan AS untuk komoditas mereka.
Isu perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok selalu ada karena Amerika ingin menggunakan ekonomi untuk mendorong Tiongkok bergerak menuju demokrasi. Namun faktanya yang ada, justru menunjukkan hasil yang sebaliknya.
Setelah Trump menjabat sebagai presiden, dia ingin menggunakan ‘tangan’ Tiongkok untuk menyelesaikan ancaman nuklir Korut. Namun, seperti di masa lalu, pemerintah Tiongkok memperlakukan Amerika Serikat dan masyarakat internasional lainnya dengan cara bermuka dua.
Rezim komunis menciptakan kesan ramah yang memikat AS dan PBB. Namun mereka diam-diam melakukan aktivitas yang bertentangan, membantu Korea Utara keluar dari kesulitan akibat sanksi ekonomi internasional.
Praktik premanisme Tiongkok itu tidak hanya membuat frustrasi, bahkan membuat marah pemerintah Trump. Pidato Trump saat menyampaikan laporan strategi keamanan nasional tahunan di Gedung Putih menyindir Tiongkok sebagai lawan strategis nomor satu.
Oleh karena itu, AS mengeluarkan jurus-jurus tangkis demi menyelamatkan masalah perdagangan dan keamanan mereka, meskipun jurus-jurus itu telah membuat sulit Tiongkok.
Dilihat dari situasi saat ini, penyesuaian kebijakan dalam bidang ekonomi dan perdagangan AS terhadap Tiongkok pada dasarnya dapat dikatakan telah rampung. Komentator dari kedua pihak berpendapat bahwa hubungan ekonomi dan perdagangan antara kedua negara tersebut akan menghadapi situasi yang lebih sulit pada tahun ini.
Beberapa riset menunjukkan bahwa sinyal AS untuk meluncurkan perang dagang dengan Tiongkok sangat jelas. Perselisihan dalam bidang perdagangan kedua negara juga tampaknya sedang beralih dari tahap gesekan menuju konflik.
Dan saat ini merupakan kesempatan yang tidak boleh dilewatkan, jika tidak diatasi secara sungguh-sungguh. Gesekan di bidang ekonomi ini mungkin saja berkembang menjadi gesekan politik, dan kerjasama mendalam yang sudah dibangun kedua negara di berbagai hal mungkin saja dapat rusak karenanya.
Yang Zhongmei, pakar riset perbandingan kebijakan negara antara AS-Tiongkok-Jepang, mengatakan kepada Voice of America bahwa Tiongkok menghindari perang dagang dengan AS. Oleh karena itu, Yang Zhong-mei percaya bahwa Tiongkok pasti akan melakukan segala upaya untuk berkompromi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa kunjungan Liu He ke Amerika Serikat selain akan membahas isu-isu perdagangan, juga akan berfokus pada isu-isu seperti nilai tukar mata uang Renminbi dan liberalisasi pasar.
Meskipun Liu He mengemban tugas pokok yang diserahkan oleh Xi Jinping untuk menghindari terjadinya perang perdagangan dengan AS. Tetapi sejauh mana upaya dan kemampuannya, masih sedang diuji.
Namun, New York Times juga melakukan analisis dari sisi lain. Tulisnya bahwa rencana penghapusan batas waktu jabatan seorang kepala negara Tiongkok tersebut akan memberikan dampak pada dunia.
Liu He yang diutus Xi Jinping, mungkin akan menggunakan kesempatan kunjungan untuk menjelaskan kepada Trump rencana-rencana Xi Jinping dan meminta Trump untuk mendukungnya. (ET/Sinatra/waa)