Epochtimes.id- Chusnul Hotimah adalah salah seorang korban dari serangkaian pengeboman yang terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002 silam. Cacat permanen menimpa dirinya kala malam laknat ketika itu banyak memakan korban yang membakar dirinya.
Dia berbicara tegar dan sesekali suaranya meredup. Dia berbicara lantang seterang-terangnya bak mentari menyinari bumi ketika mengungkap identitas dirinya.
“Saya korban bom Bali 1,” katanya ketika ditanya oleh moderator perihal dirinya dalam Silaturrahmi Kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diprakarsai oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) di sebuah hotel di Jakarta Pusat, Rabu (28/02/2018).
Chusnul menceritakan hari demi hari yang dia lalui. Kejadian ketika itu bersamaan luka-luka yang membakar tubuhnya.
Pahit getir merupakan bagian terpisahkan dalam perjalanan menapaki perihnya kehidupan menafkahi anak-anak sebagai ibu tunggal di tengah kehidupannya yang terpuruk.
Namun, Chusnul masih berharap adanya karunia yang melimpahi dirinya dengan dianugerahi pengobatan secara permanen tanpa dirinya bersusah mengongkosi upah perawatan yang harus dia penuhi.
“Yang cacat permanen seperti saya itu minta kepada Kemenkes agar tanggungan kesehatan kepada korban tanpa ada batasan waktu,” katanya.
Pengobatan dilakoni dengan jerih payah terhadap dirinya sendiri selama 15 tahun tanpa ada bantuan. Walaupun sejatinya dirinya adalah korban akibat ulah teroris, secara mandiri dia bergelut mengobati dirinya.
Chusnul pun turut memohon anak-anaknya kemudian diberikan kartu layanan kesehatan. Maksudnya, kartu kesehatan yang berfungsi tak hanya sepotong untuk dirinya semata wayang tapi dapat dinikmati oleh anak-anaknya.
“Untuk memberikan semacam kartu atau asuransi bukan sepotong, bukan hanya untuk saya, saya punya anak juga punya hak untuk mendapatkannya,” tuturnya.
Selama 15 tahun berlangsung mengobati dirinya, suatu ketika Chusnul berkirim surat selama dua bertahun-tahun untuk memohon kepada Presiden Jokowi agar dibantu dalam membiayai pengobatannya. Hingga akhirnya harapan yang dinanti-nanti menjadi kenyataan.
“Selama 15 tahun saya pengobatan dengan biaya sendiri, alhamdulilah dengan ketekunan saya berkirim surat selamat dua bertahun, saya diberi Jokowi kartu KIS, saya terima bulan Juli tahun 2017,” ujarnya.
Namun tak dinyana, Kartu Indonesia Sehat (KIS) tak bisa dia gunakan untuk pengobatan terhadap dirinya. Hal yang menjadi alasan adalah bahwa dirinya mengalami sakit kulit. Pihak rumah sakit menyarankan agar dirinya berobat ke layanan rumah kecantikan.
Oleh karena itu, tak pernah dia gunakan KIS semenjak dirinya dihadapkan dengan pembatasan tanggungan yang disampaikan oleh pihak rumah sakit dengan dalih bertujuan kosmetika, estetika.
Walau demikian, tetap masih ada harapan dalam hidupnya. Chusnul menerima buku hijau pengobatan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Namun demikian, ternyata tak sepenuhnya membantu keluarganya. Maksud hatinya baik, Chusnul tak menginginkan hanya dirinya semata wayang yang mendapatkan pengobatan. Dia bertanya-tanya tentang nasib anak-anaknya apalagi keluarganya kini sedang terpuruk.
“Saya single parent tiga anak dan pengobatan dan saya kontinyu pengobatan, kalau anak sakit lalu bagaimana, makanya semenjak kejadian bom, ekonomi saya terpuruk,” katanya.
Chusnul hanyalah salah satu dari 51 orang korban terorisme yang berbicara pada forum Silaturrahmi Kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan agenda pertemuan mantan narapidana teroris dengan korban.
Selain Kepala BNPT Suhardi Alius, turut hadir dalam acara puncak Menkopolhukam Wiranto. Sejumlah pejabat di Kabinet Kerja Jokowi yang hadir antara lain Menteri Sosial Idrus Marham, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dakhiri dan Menteri Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi M.Nasir. (asr)