Sebuah laporan mengatakan bahwa orang Uighur, etnis Muslim di wilayah Xinjiang Tiongkok yang berada di antara kelompok minoritas Tiongkok yang paling banyak dianiaya, sedang berada dalam pengawasan oleh dinas intelijen rezim Tiongkok bahkan setelah mereka melarikan diri dari Tiongkok dan mencari suaka di luar negeri. Laporan tersebut muncul pada saat Amerika Serikat dan negara-negara lain semakin waspada terhadap upaya rezim Tiongkok yang ingin memperluas pengaruh dan kendali otoriternya di seluruh dunia.
Rezim Tiongkok telah dengan cepat meningkatkan penganiayaan terhadap orang-orang Uighur di Xinjiang dalam beberapa tahun terakhir, menurut para pengamat berbagai hak asasi manusia dan laporan-laporan, seperti Laporan Kebebasan Beragama Internasional Departemen Luar Negeri AS yang diterbitkan tahun lalu.
Apa yang belum sering dibahas, bagaimanapun, adalah kenyataan bahwa rezim Tiongkok juga telah menggunakan jaringan-jaringan intelijennya yang luas yang dikerahkan ke seluruh dunia untuk memata-matai dan menganiaya Uighur lebih jauh yang telah melarikan diri ke luar negeri.
“Spionase terhadap komunitas Uighur di luar negeri merupakan prioritas bagi layanan keamanan Tiongkok,” menurut sebuah laporan yang diterbitkan oleh organisasi Uyghur Human Rights Project (UHRP) yang berbasis di AS. “Ada beberapa kasus spionase yang signifikan terhadap komunitas Uighur tersebut di Eropa, namun komunitas-komunitas di Amerika Utara dan Australia juga menjadi sasaran upaya Tiongkok untuk merekrutnya sebagai informan.”
Laporan tersebut, yang berjudul “The Fifth Poison: the Harassment of Uyghurs Overseas” (Racun Kelima: Pelecehan Uighur Luar Negeri) telah diterbitkan pada bulan November 2017 dan dipresentasikan pada 26 Februari dalam sebuah acara yang membahas masalah hak asasi manusia Uighur yang diadakan di gedung Cannon House Office Building pada Kongres AS tersebut.
Nicole Morgret, koordinator proyek UHRP yang memperkenalkan laporan tersebut pada hari Senin, mengatakan bahwa Kementerian Keamanan Negara (MSS), agen-agen mata-mata rezim Tiongkok, dan dalam beberapa kasus Kementerian Luar Negeri (MFA), telah didokumentasikan sebagai penyelenggara kegiatan-kegiatan melawan orang Uighur yang diasingkan di berbagai belahan dunia mulai dari Mesir dan Turki sampai negara-negara Barat seperti Jerman, Swedia, Kanada, dan Australia.
“Upaya pemerintah Tiongkok untuk memata-matai para pembangkang seharusnya tidak diizinkan karena tidak relevan dengan keamanan nasional,” kata laporan tersebut. “Pemantauan semacam ini dimaksudkan tidak hanya untuk mengumpulkan informasi tentang orang Uighur dan kelompok pembangkang lainnya, tetapi juga untuk mengintimidasi mereka agar tidak menggunakan hak mereka untuk berkumpul dan berbicara bahkan di negara-negara Barat.”
Menurut Morgret, mata-mata rezim Tiongkok terhadap orang Uighur di Amerika Serikat lebih banyak berada di bawah meja dibandingkan dengan upayanya di negara lain. Namun, masih ada kasus terdokumentasi tentang pejabat intelijen Tiongkok yang melakukan ancaman jauh terhadap warga Uighur di tanah AS, terutama pada bulan Mei 2017 ketika siswa Uighur di berbagai negara termasuk Amerika Serikat menerima “perintah” untuk kembali ke Tiongkok di bawah ancaman bahwa orang tua mereka dan saudara kandung akan dianiaya jika mereka menolak untuk mematuhi.
“Pelecehan terhadap warga Uighur di luar negeri merupakan taktik lama pemerintah Tiongkok untuk mencegah aktivitas politik di antara mereka dan untuk memantau siapa saja yang mungkin cenderung aktif secara politik,” kata laporan tersebut.
Selama sidang kongres di awal Februari, Direktur FBI Christopher Wray mengatakan bahwa rezim Tiongkok memanipulasi mata-mata nontradisional (baru dan berbeda dari kebiasaan) di bidang akademis, seperti para profesor, ilmuwan, dan mahasiswa, untuk menghimpun intelijen. Sementara Wray tidak memerinci apakah intelijen semacam itu termasuk mata-mata untuk para pembangkang Tiongkok seperti orang-orang Uighur, dia menekankan bahwa usaha-usaha rezim tersebut merentang “pada dasarnya setiap disiplin.”
Radio Free Asia baru-baru ini melaporkan bahwa seorang siswa Uighur yang belajar di Virginia ditantang oleh teman sekelas Han Tiongkok yang mengancam untuk melapor ke kedutaan besar Tiongkok karena menyuarakan pandangan “separatis”. Dosen dalam kasus ini mendukung siswa Uighur dan mendorongnya untuk melaporkan pelecehan tersebut ke pihak berwenang AS, seperti FBI, dan pada saat mana siswa Tiongkok tersebut dengan cepat mundur. (ran)
Rekomendasi video:
https://www.youtube.com/watch?v=0x2fRjqhmTA&t=27s
ErabaruNews