Wu Huilin
Pada pertengahan Januari lalu, dua berita terkait perekonomian RRT patut untuk dicermati, yang pertama adalah berdasarkan hasil riset oleh IMF dan Bank Dunia menunjukkan bahwa di tahun 2016 RRT telah menggeser Amerika Serikat dan menjadi badan ekonomi terbesar dunia.
Yang kedua adalah berita di surat kabar “Nikkei News” yang mengutip riset oleh Kepala Pusat Riset Ekonomi Jepang yakni Tarahara Kengo, bahwa di tahun 2030, kebutuhan di RRT setiap tumbuh 1%, lima negara ASEAN (Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand) akan mendapat keuntungan ekonomi senilai USD 3,3 milyar (45,4 triliun rupiah), lebih tinggi daripada Amerika yakni USD 1,9 milyar, dan Jepang sendiri akan mendapat keuntungan USD 4,6 milyar, yang juga lebih tinggi daripada Amerika yakni USD 3,8 milyar.
Sedang bagi seluruh dunia di tahun 2030, kebutuhan AS setiap tumbuh 1%, akan mendatangkan keuntungan ekonomi bagi dunia sebesar USD 52,9 milyar (728 triliun rupiah), 20% lebih tinggi daripada RRT.
Tapi pengaruh ekonomi RRT terhadap negara Asia akan melampaui AS, dan dengan kekuatan ekonomi yang besar itu sebagai senjata diplomatik, PKT (Partai Komunis Tiongkok) akan menekan negara-negara Asia, memaksa mereka agar condong pada Beijing, kekuatan AS untuk mendorong demokrasi di Asia akan melemah, dan ekonomi Asia akan jatuh ke dalam krisis “RRT-isasi”.
Walaupun ada pendapat beranggapan bahwa IMF dan Bank Dunia menggunakan “indeks kesamaan harga daya beli” yang telah membesarkan PDB Tiongkok, cara perhitungan ini dinilai kurang tepat, tapi meski angka ekonomi RRT yang dicurigai telah dimanipulasi, tapi perkembangan selama 30 tahun lebih ini, betapapun telah menunjukkan PDB yang luar biasa besar, hanya saja kuatnya RRT selain tidak mendatangkan kebaikan bagi masyarakat dunia (termasuk Tiongkok sendiri), sebaliknya justru adalah keburukan besar. Karena demi mendorong pertumbuhan PDB, PKT menggunakan cara “pemborosan” dan bahkan cenderung dengan cara “pengurasan habis-habisan” terhadap sumber daya alam.
Peraih hadiah Nobel Ekonomi tahun 2008, Paul Robin Krugman pada tahun 1994 telah mengemukakan dengan gambling : “Pertumbuhan negara komunis yang cepat dicapai dengan perluasan elemen investasi yang besar bukan karena pertambahan kapaistas tiap investasi yang besar pada akhirnya akan menyebabkan imbal hasil menurun, pertumbuhan melambat dan fluktuasi yang sangat besar.”
Dan Beijing semakin dengan sengaja menekan biaya produksi untuk menghasilkan produk yang murah tapi berkualtias rendah untuk diekspor;
pertama akan menyebabkan pabrik RRT tumbuh menjamur, kedua produk murah yang diekspor mendorong deflasi dunia, Ketiga menghamburkan sumber daya alam, menguras sumber daya seluruh dunia, menyebabkan harga sumber daya melonjak tinggi, yang akan memicu inflasi impor.
keempat akan menekan ekspor barang murah meraup devisa asing, tidak hanya mengakibatkan inflasi di RRT dan memanasnya permainan uang bersifat busa serta akan meicu badai krisis moneter dunia; kelima pemborosan sumber daya alam mengakibatkan krisis lingkungan hidup, pencemaran udara dank abut asap sangat parah; keenam produk murah beracun mencelakakan manusia;
ketujuh uang digunakan untuk menyuap politisi dunia sehingga HAM dan kebebasan semakin tertindas; kedelapan merebuat kuasa dan keuntungan, ketamakan dan penipuan/pemalsuan merajalela, etika dan moral merosot tajam.
Direktur Komisi Perdagangan Nasional Gedung Putih Peter Navarro dan Greg Aury sejak tahun 2011 telah menerbitkan buku yang berjudul Death by China, menjabarkan bencana ini secara paling jelas.
Setelah menghamburkan sumber daya alam Tiongkok, PKT akan memanjangkan tangan hitamnya ke seluruh dunia untuk meraup sumber daya alam seluruh dunia, terutama di negara Dunia Ketiga.
Dua orang resporter Spanyol pada Oktober 2010, telah menulis buku China’s Silent Army, secara lugas memaparkan penyusupan ekonomi Beijing di seluruh dunia dan mengutip pernyataan pemimpin Den Xiaoping kala itu dalam pidatonya di PBB pada 10 April 1974 : “……Jika suatu hari RRT berubah penampilan dan berubah menjadi negara adi daya, yang juga akan mendominasi dan menguasai dunia, menindas dan menganiaya orang lain, maka warga dunia seharusnya mencap RRT sebagai negara sosialis imprealisme yang seharusnya diungkap dan ditentang serta bahu membahu dengan rakyat Tiongkok, untuk menggulingkannya….”
Suksesor Den Xiaoping kini dituding telah melanggar janji tersebut dan masyarakat dunia seharusnya merespon Xiaoping dan bangkit menentang invasi PKT.
Eskpansi ekonomi Beijing adalah ekonomi bersifat merampas ala mafia dan preman, adalah model pertumbuhan yang secara tuntas menggulingkan model pertumbuhan tradisional yang saling menguntungkan.
Kini pemerintahan Trump telah melihat fakta ini dan menyebutnya sebagai perdagangan yang bersifat merampok dan paham proteksionisme. Serta telah mengembangkan cara penanggulangan yang mengatasi kekerasan dengan kekerasan dan melawan racun dengan racun dan lebih lanjut memimpin ekonomi dunia kembali ke model saling menguntungkan pada era Adam Smith yang “Bekerja sama berbagi tugas” agar etika dan moral kembali ke tengah manusia, memaksa Tiongkok yang komunis agar membuang komunisme dan efek gelembung “Momentum Minsky” meletus, umat manusia dapat diselamatkan dari ambang kehancuran ini. (SUD/WHS/asr)