Oleh : DR. Xie Tian
Sidang Ganda PKT (Partai Komunis Tiongkok) yang membosankan dan penuh sandiwara pada awal Maret lalu saat ditutup ternyata muncul klimaks yang mengejutkan, sekelompok tentara dengan wajah tanpa ekspresi, secara menyeramkan memasuki ruang sidang dengan derap langkah tegap, sampai membuat para perwakilan rakyat yang hadir ketakutan.
Saat ini masyarakat tengah mencerna kejadian seorang reporter wanita lokal dengan sorot mata melecehkannya terhadap reporter “asing” yang mengajukan pertanyaan (menjadi viral di dalam dan luar negeri) yang secara tak sengaja mengungkap perwakilan media asing palsu dan propaganda luar negeri PKT, sembari memperhatikan dan merenungkan susunan “kabinet” baru yang masih segar baru saja keluar dari oven.
Melihat apakah pejabat yang baru dilantik ini mampu menyelamatkan RRT dari kesulitan setelah Trump mengayunkan kapak perang diplomatik, ekonomi dan perdagangan.
“Kabinet Ekonomi” Xi Jinping yang baru ini termasuk Wakil Kepala Negara Wang Qishan, Wakil Perdana Menteri Liu He, dan Gubernur Bank Sentral Yi Wang.
Menurut informasi Wang Qishan diyakini membina lagi hubungan diplomatik dengan AS, untuk meredakan hubungan dagang RRT-AS yang kian menegang.
Liu He telah dua kali diutus, yang pertama ke Forum Ekonomi Davos, lalu ke Amerika untuk meredam kelompok garis keras Kabinet Trump, namun keduanya pulang dengan tangan hampa.
Yi Wang yang berlatar belakang ekonom menguasai Bank Sentral, dipastikan PKT ingin memanfaatkan kemampuan teknisnya di bidang kebijakan moneter dan pasar terbuka untuk menstabilkan kondisi keuangan dalam negeri.
Liu He dan Yi Wang yang dijagokan dipandang sebagai “pejabat akademisi”, pengangkatan keduanya dianggap sebagai kemajuan PKT dalam hal merekrut, keduanya studi dan berpengalaman di AS, juga akan menyuntikkan elemen pasar bebas ke dalam ekonomi RRT. Benarkah akan demikian?
Menurut pakar ilmu sosial Profesor Cheng Xiaonong yang kerap berinteraksi dengan Liu dan Yi, baik Liu He maupun Yi Wang merupakan pejabat akademisi yang ada di dalam sistem. Keunikan yang dimiliki keduanya adalah sama-sama low profile dan cermat, memanjat naik secara diam-diam di dalam sistem, masyarakat sangat jarang melihat keduanya berpidato secara terbuka dan independen mengenai ekonomi dan keuangan Tiongkok.
Selaku akademisi namun tidak memiliki sikap dan kebijakan ekonomi yang jelas. Jadi diperkirakan yang ditempuh keduanya adalah jalur teknokrat.
Walaupun berlatar belakang pendidikan Amerika, bahkan pernah mengajar di Amerika, mengharapkan keduanya mampu menyuntikkan konsep dan elemen pasar di Barat ke dalam perekonomian RRT, dikhawatirkan hanyalah sebatas angan-angan belaka.
Dilihat dari data yang dipublikasi, Liu He hanya bisa dikategorikan setengah pejabat setengah akademisi, karena latar belakang pendidikannya menunjukkan Renmin University of China, yang berlandaskan konsep ekonomi politik Marxisme. Setelah terjun ke politik ia melanjutkan studi di West East University dan Harvard University, tidak bisa dikategorikan mempelajari teori ekonomi Barat, melainkan hanya mendapat pelatihan jangka pendek mengenai kebijakan umum dan manajemen administratif.
Setelah lulus dari Beijing University Profesor Yi Wang melanjutkan pendidikan yang menyeluruh dan sistematis di Amerika, dan di IUPUI Indiana memperoleh jabatan pengajar abadi, semestinya ia adalah akademisi yang sangat memahami pemikiran ekonomi RRT-AS, yang memiliki pandangan reformis yang mendalam dan independen terhadap sistem perekonomian RRT dan AS.
Pada dasarnya apakah ia mampu melakukan hal itu, atau hanya memberikan bantuan teknis bagi tingkatan inti PKT dalam hal kebijakan moneter saja, ini tidak diketahui.
Surat kabar ‘New York Times’ menyebutkan, “Walaupun Yi Wang memiliki latar belakang akademis yang luas dalam bidang kebijakan moneter, baru-baru ini juga terlibat dalam pengawasan banyak transaksi, namun dalam hal menangani Bank Sentral ia akan mengalami tantangan sangat besar.”
Sebagai direktur baru Bank Sentral, sebelumnya ia pernah memiliki pengalaman pengawasan makro bank komersil saat di bawah kepemimpinan mantan direktur Bank Sentra Zhou Xiaochuan, juga pengalaman manajemen devisa. Tapi mungkin tidak pernah menangani operasional perbankan dan operasional komersil, sekarang PKT mengangkat pakar ekonom ini sebagai direktur Bank Sentral, bisa dilihat pertimbangan utama PKT. Bukan mengoperasikan perbankan secara lebih efektif, melainkan menstabilkan moneter RRT yang rapuh.
Pihak luar umumnya beranggapan perekonomian RRT tengah menghadapi krisis hutang dan risiko moneter, dengan terpilihnya Liu He dan Yi Wang duduk di dalam kabinet, utamanya adalah untuk mengatasi krisis moneter yang sudah di depan mata.
Setelah menjabat Yi Wang menyatakan akan menempuh serangkaian kebijakan reformasi moneter pada bulan April ini. Sampai sejauh mana kebijakan tersebut akan meresap, akankah terjadi reformasi secara struktural pada tubuh moneter RRT, masih harus diamati lebih lanjut.
Prinsip “akademisi yang unggul menjadi pejabat” sepertinya diterapkan lebih baik di Taiwan, dan menampilkan atmosfir masyarakat yang baik. Musim panas tahun lalu di Taiwan, penulis banyak berinteraksi dengan pejabat pemerintahan di Taiwan, mulai dari presiden sampai menteri kabinet, pejabat tipe akademisi dan pengajar sangat banyak; dan banyak dosen di Taiwan University juga memiliki pengalaman seperti ini.
Walaupun “pelajar yang unggul menjadi pejabat” juga ada di Amerika, tapi sepertinya tidak begitu banyak. Penasehat ekonomi Trump Profesor Navarro, adalah suatu pengecualian.
Di bawah sistem presidential ataupun kabinet (parlementer), saat presiden atau perdana menteri merekrut pakar akademis untuk duduk di dalam kabinet atau sebagai staf, mereka selalu memilih orang yang memiliki pandangan politik sama atau setidaknya sejalan, dan hal ini tidak bisa dipungkiri karena si pemimpin harus menerapkan, mewujudkan misi dan pemikiran politiknya.
Kunci permasalahannya adalah, bagaimana dengan status para dosen, akademisi atau kaum intelek yang tidak masuk kabinet? Bisakah mereka secara terbuka memprotes atau menentang presiden atau perdana menteri atau para akademisi yang masuk kabinet? Inilah masalah krusialnya. Karena bukan berarti setelah para akademisi itu menjadi menteri, menjadi direktur bank sentral, atau perdana menteri, lantas berarti mereka selalu benar, bijaksana dan masuk akal. Pejabat kaum akademisi tentu juga bisa melakukan kesalahan, salah langkah, atau keliru.
Yang tidak bisa diselesaikan oleh tatanan politik RRT adalah masalah seperti ini. Kaum akademisi dan dosen di Amerika ada yang bersedia duduk di dalam kabinet, namun mayoritas mungkin tidak ingin terjun ke politik dan terkungkung di dalamnya, karena pada posisi akademisi mereka pun tetap bisa bebas menulis, mengkritik situasi dan pemerintahan, juga bisa menimbulkan pengaruh bagi pemerintah maupun masyarakat.
Sebagian akademisi AS yang berpolitik, banyak politisi AS memilih terjun ke bidang akademis setelah masa jabatannya usai, karena masa jabatan politisi terbatas, sementara di dunia akademis justru terdapat jaminan seumur hidup.
Pejabat tipe akademisi di RRT, walaupun lulusan Amerika atau jebolan Eropa, mampukah mereka mempertahankan hati nurani dan nilai kebajikan dirinya?
Apakah mereka akan memikirkan seluruh lapisan masyarakat, demi keadilan dan kebenaran? Atau mereka akan berubah wujud seketika, menjadi boneka bagi penguasa, dan kehilangan pemikiran yang independen dan mempertahankan kebenaran?
Akankah mereka menjadikan pemikiran maju, konsep dan keahlian kenegaraan yang dipelajarinya dari luar negeri sebagai kosmetik untuk mendandani para penguasa PKT dan menutupi kejahatan mereka?
Akankah mereka mengkhianati hati nuraninya setelah duduk manis di posisinya dan mendapat kenikmatan serta kemudahan? Akankah mereka berbalik mendiskriminasi, membatasi, bahkan menekan sesama kaum akademisi, intelek ataupun kolega dan rekan kerjanya, atau kaum intelek yang dimusuhi pemerintah, hanya untuk mempertahankan posisi mereka sendiri?
Inilah yang patut disoroti oleh masyarakat Tiongkok. Karena bagaimana pun juga, permasalahan di Tiongkok, telah membusuk akibat kebobrokan PKT dalam jangka waktu lama, sudah tidak bisa diselamatkan hanya dengan kekuatan manusia, bahkan para lulusan AS pun tidak akan sanggup, dan hanya bisa memohon Tuhan untuk melindungi Tiongkok. (SUD/WHS/asr)
Xie Tan adalah John M. Olin Palmetto Chair Professor at University of S. Carolina Aiken, Amerika Serikat
Opini ini sudah diterbitkan di Epoch Weekly klik di sini