Zhou Xiaohui
Belum lama ini, ketika Perdana Menteri Inggris Theresa May berkunjung ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT) ditangannya membawa panji kecil bertuliskan huruf ”福 (dibaca: Fu, bermakna rezeki/hoki)” yang dipasang terbalik, hal itu telah memicu perdebatan sengit di antara warganet, sebagian berpendapat bahwa huruf “福” tidak boleh dibalik, jika tidak, akan mengalami ketidakmujuran; sebagian lagi bersikeras bahwa huruf “福” yang dibalik bermakna: “福到了 (Fu Dao Le) hoki telah tiba”. Mana yang betul?
Dalam video Wang Zuoji, seorang pakar budaya rakyat, ia menunjukkan bahwa huruf “福” yang ditempel terbalik sebenarnya adalah satu kesalahpahaman terhadap adat istiadat, adalah ‘kesalahan prinsip mutlak’.
Alasannya ada tiga: Pertama, “福” adalah simbol budaya orang Tiongkok, huruf mandarin yang berbentuk kotak adalah akumulasi sejarah budaya Tiongkok selama 5000 tahun, itu sebabnya apabila huruf “福” ditempel terbalik sama dengan menggunakan simbol budaya tradisional Tiongkok secara tidak pantas.
Kedua, dilihat dari stuktur huruf “福”, kecuali “bagian paruh kiri yakni huruf 示”, maka pada paruh sebelah kanan, jika dipreteli, ia terdiri dari tiga huruf “一、口、田”.
Huruf “一” mewakili balok penyangga sebuah rumah, huruf “口” adalah personil yang tinggal didalam rumah itu. Jika huruf “福” itu dibalik, maka rumah dan personil dalam rumah berarti pada rontok atau berhamburan ke sawah (田).
Ketiga, huruf “福” ditempel terbalik artinya bukan “福 / hoki telah tiba”, huruf ”倒 (Dao)” artinya adalah “tertumpah keluar”. maka Huruf “福” yang tumpah keluar, tentu tidak be-rezeki.
Penjelasan dari Wang Zuoji mendapatkan dukungan dari banyak orang, bersamaan juga ada yang berpendapat pakar itu terlalu usil, karena budaya rakyat juga harus “maju seiring perkembangan zaman”. Karena semua orang sudah terbiasa menempel terbalik huruf “福” yang diartikan Hoki Telah Tiba selama bertahun-tahun (termasuk di sebagian kalangan komunitas Tionghoa di Indonesia) maka mana bisa dikatakan sebagai ‘kesalahan prinsipiel’.
“Maju seiring perkembangan zaman” adalah kosakata politik buatan Zhōngguó Gòngchǎndǎng atau Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang diperluas ke bidang sosial, budaya dan lain-lain, sedangkan niat jahat yang berada dibelakangnya adalah mencampakkan tradisi, membiarkan orang-orang secara tidak sadar mengikuti konsep perubahan dan perilaku untuk bertindak serta dalam menanggapi sesuatu sesuai doktrin PKT.
Huruf “福” ditempel secara terbalik adalah salah satu dari sekian banyak contoh dan penjelasan dari pakar (binaan PKT) yang juga berniat menyesatkan sehingga manusia hanya mengetahui makna permukaan dan tidak tahu makna esensi/didalamnya.
”福” dalam bentuk huruf Aksara Tulang Ramalan (Oracle Bone Script / jiǎ gǔ wén), pada sudut kiri atas adalah “酉” yakni botol arak, dibawahnya ada sepasang tangan, sudut kanan atas adalah “示” yakni altar batu zaman dahulu untuk meletakkan sesajen, artinya mempersembahkan seguci arak didepan sang Pencipta untuk memohon perlindungan, ini adalah makna harfiah huruf ”福”.
Dalam perkembangannya huruf “福” dalam Inskripsi Pada Alat Perunggu (Chinese Bronze Inscription / jin wen) telah menghilangkan sepasang tangan yang menopang arak, dan huruf ”示” posisinya digeser ke paruh kiri, paruh sebelah kanan adalah huruf “畐” yang arti sesungguhnya adalah ‘penuh’, yakni arak penuh/melimpah; dan oleh karena huruf “畐” terlihat seperti kendi arak perut besar, jika dituangkan, arak penuh itu terlihat seperti orang yang tambun, atau orang yang berwajah penuh keberuntungan, maka dari itu arti dari huruf “福” lantas dikembangkan lebih lanjut menjadi bermakna: kaya dan mulia, orang yang berwajah penuh keberuntungan.
Selanjutnya bentuk hurufnya tidak ada perubahan besar namun kandungan maknanya selain berarti rezeki, berkat atau Hoki, ia berevolusi menjadi bermakna pula: kelancaran dan segala sesuatunya sesuai dengan kehendak.
Karena huruf “福” adalah sepasang tangan menopang sesajen untuk berdoa memohon kepada Tuhan maka berkat yang sesungguhnya berasal dari perlindungan Tuhan, kalau begitu huruf “福” tentunya tidak boleh ditempel terbalik, jika ditempel terbalik bukankah arak yang dipersembahkan untuk Tuhan tertumpah keluar?
Sedangkan “maju seiring dengan perkembangan zaman” dalam aspek budaya PKT yang ateis, yang dikehendaki PKT ialah agar umat manusia meninggalkan Tuhan dan tidak percaya lagi dengan Nya.
Masalahnya, bagaimana umat manusia yang sudah tidak percaya lagi pada Tuhan bisa mendapatkan perlindungan Nya? Manusia yang tidak ada perlindungan dari Tuhan bagaimana bisa mendapatkan rezeki/berkat?
Yang lebih penting adalah, orang zaman dulu yang menghormati Langit percaya bahwa umur panjang, kaya, kesehatan dan di masa tua mati tanpa penyakit, berhubungan erat dengan perilaku moral seseorang, karena Tuhan menilai dari semua perbuatan yang dilakukan manusia.
Ketika seseorang berbuat buruk, maka ia akan kehilangan berkat, kekayaan dikurangi dan usiapun dikurangi, maka rezekinya semakin berkurang. Jika terlalu banyak kehilangan rezeki dan berkah bawaan (sejak lahir) tidak mencukupi, maka harus memakai pahala bawaan yang terkumpul untuk ditukar, disebut kehilangan berkat/pahala.
Berapa besar kesengsaraan manusia dikehidupannya silam, berapa besar pula kesejahteraan yang bisa ia nikmati di kehidupan sekarang; berapa besar kebaikan yang dilakukan dikehidupan sebelumnya, berapa besar pula rezeki yang dia nikmati di kehidupan sekarang. Sebaliknya jika berkatnya memang sedikit maka kesejahteraannya berkurang.
Oleh karena itu moralitas manusia sangatlah penting, disebutkan bahwa “ketulusan mempersatukan Langit, rezeki akan datang”.
Sedangkan “Berbakti, Kebajikan, Setia, Integritas, Tatakrama, Keadilan, Murah hati, Budaya Malu” dari Konfusianisme sebagai landasan budaya tradisional Tiongkok dan “kebajikan dan kejahatan adalah berbalasan (hukum Sebab Akibat)” dari Buddhisme serta “mengikuti jalan Langit” dari Taoisme, dengan sangat jelas sekali memberitahukan kepada kita bagaimana cara mendapatkan jalan menuju ke kebahagiaan.
Namun, seiring dengan kemerosotan moralitas umat manusia “lima 福” tradisional juga berubah menjadi sekuler, orang-orang hanya mengunakan “Keberuntungan, Kedudukan, Umur panjang, Kekayaan dan Kebahagiaan” sebagai standar ukuran dari berkat seseorang, memandang ringan kesehatan dan ketentraman, kebajikan dan meninggal tanpa sakit berkepanjangan, dengan demikian menyebabkan orang semakin sulit menghayati makna yang hakiki dari kebahagiaan dan mengikuti kehendak Ilahi agar mendapatkan perlindungan Tuhan.
Khususnya setelah PKT berkuasa, mereka secara masif merusak budaya tradisional dan mempromosikan ateisme, membuat sejumlah besar orang Tiongkok semakin jauh dari Tao (Jalan ketuhanan), semakin tidak tahu bahwa mendapatkan kebahagiaan dan hoki itu sangat erat kaitannya dengan percaya pada Tuhan, mengikuti Hukum Langit serta perilaku yang bermoralitas. (LIN/WHS/asr)