oleh Chen Han
Perang dagang Tiongkok – Amerika Serikat belum resmi dimulai, harga barang kebutuhan sehari-hari sudah mulai membumbung tinggi. Selain harga pakan ternak yang naik, harga daging, unggas dan telur semua ikut mengekor.
Ada warganet mengungkapkan bahwa beberapa warga lokal mulai melakukan penimbunan. Dan masyarakat khawatir terhadap ucapan pihak berwenang Beijing yang mengklaim akan “Mengabaikan Nilai demi Kemenangan dalam Perang Dagang.”
Jika demikian, maka masyarakat golongan bawah yang akan paling menderita.
Situasi sedang tegang, perang dagang kian rawan meletus. Beberapa netizen menemukan, sejumlah warga masyarakat mulai melakukan kegiatan anti-Amerika di jalanan, mereka mengumpulkan tanda tangan para pejalan kaki, menghimbau masyarakat untuk tidak membeli barang-barang buatan Amerika tetapi mendukung barang buatan dalam negeri.
Namun, ada juga banyak warga daratan yang mendukung Amerika Serikat berperang dagang dengan Tiongkok.
Gu He, seorang pengamat kebebasan internet mengatakan bahwa masyarakat Tiongkok pada kenyataannya memiliki banyak pandangan tentang perang dagang, beberapa orang berpendapat bahwa perang dagang antara Tiongkok dengan Amerika Serikat pada kenyataannya adalah pemerintah Tiongkok menjadikan rakyatnya sebagai sandera yang disuruh melawan Amerika Serikat.
Pakar pengamat Gu He mengatakan : “Niscaya ia (Partai Komunis) tidak akan mampu menanggung konsekuensi dari perang dagang, jika pemerintah Tiongkok kalah dalam perang dagang, komunis pasti akan melimpakan konsekuensi itu kepada rakyatnya. Rakyat Tiongkok jugalah yang menanggung celaka. Meskipun saat ini perang dagang belum benar-benar terjadi, Sebut saja contoh seperti kedelai, harganya sudah melonjak, harga barang lainnya juga ikut naik.”
Warganet mengatakan bahwa pemerintah Tiongkok hanya mengumumkan akan menaikkan tarif impor kedelai AS sebesar 25 %, belum pelaksanaannya saja harga pakan produksi dalam negeri sudah menaikkan harga.
Sedangkan untuk bungkil kedelai, yang merupakan bahan baku utama untuk pakan ternak, kenaikan harga pada minggu sudah mencapai 8%.
Selanjutnya, daging, unggas dan telur juga berangsur-angsur ikut naik. Di beberapa tempat, sejumlah warga mulai membeli dalam jumlah besar minyak untuk makanan.
Perang dagang belum sepenuhnya dimulai, angka inflasi Tiongkok telah meningkat dengan cepat. Bukankah angka tersebut akan semakin memburuk jika perang benar-benar terjadi.
Gu He : “Jadi rakyat Tiongkok sudah membayar cukup banyak harga seperti itu, sehingga mereka kebal dan tidak lagi merasakannya, mereka sudah mati rasa. Partai Komunis Tiongkok menggunakan perang dagang ini untuk melempar konsekuensinya kepada semua orang, mengatakan betapa menyengsarakan dan lainnya untuk meciptakan konsep kebencian, membangkitkan kebencian rakyat terhadap Barat.”
Media resmi Tiongkok dengan nada tinggi mengklaim bahwa kita akan memberikan perlawanan terhadap serangan AS dengan mengabaikan nilai. Beberapa orang ‘patriot’ bahkan meneriakkan slogan : Kita akan bertarung melawan Amerika Serikat sampai titik darah penghabisan.
Hua Po, pengamat politik Beijing berpendapat bahwa 7 bahan kebutuhan sehari-hari seperti beras, minyak, garam, kecap, cuka, teh, api hanya masyarakat bawah saja yang dapat merasakan gejolak harganya.
Bagi mereka yang berduit dan berpangkat, hal itu tidak akan dirasakan. Jika saja perang dagang terjadi, apakah pemerintah Tiongkok sudah memiliki langkah-langkah untuk mengatasinya?
Jika tidak bagaimana mereka bisa berperang sampai titik darah penghabisan ? Siapa yang harus menanggung kerugian ?
Hua Po : “Jika perang dagang terjadi, jumlah pengangguran pasti akan bertambah, Coba Anda lihat AS harus membayar jaminan sosial yang sangat tinggi bila jumlah pengangguran mereka bertambah.”
“Ini berbeda dengan di Tiongkok, pemerintah Tiongkok tak ambil terlalu pusing karena jaminan sosial mereka terhadap pengangguran memang sangat rendah. Oleh sebab itu Tiongkok tidak terlalu mempedulikan masalah ini. Paling-paling dana untuk menjamin stabilitas politik, untuk menindas kekerasan masyarakat itu saja yang akan naik.”
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu sumber perang dagang itu karena pemerintah PKT mencadangkan dana sebesar 300 miliar Dollar AS untuk mendukung program ‘Made in China 2025’, di samping untuk bank-bank BUMN memberikan pinjaman bunga rendah.
Anggaran itu juga digunakan untuk subsidi dan penyediaan fasilitas penelitian yang luas, tujuan akhir dari program ini tak lain adalah untuk membantu perusahaan-perusahaan Tiongkok mengakuisisi perusahaan Barat yang menjadi pesaing dan mengembangkan teknologi maju untuk membangun industri berskala besar.
Awan peperangan sepertinya sangat gelap menyelimuti udara Tiongkok, padahal di mata Presiden Donald Trump, ia tidak bermaksud untuk berperang dagang dengan Tiongkok. Ia hanya ingin menyelesaikan isu defisit perdagangan yang tidak seimbang dan pengambilan paksa hak kekayaan intelektual.
Media resmi pemerintah Tiongkok ‘Renmin Rebao’ pada 9 April menyajikan artikel yang isinya antara lain : Tahun 2018 Tiongkok akan berani membuka lebih lebar pintu liberalisasi yang selama ini sudah terbuka.
Warganet menduga, jangan-jangan batal perang kecuali sebuah lelucon, tetapi hal ini cukup membuat pemerintah Tiongkok akhirnya mau mengikuti aturan main WTO sebagaimana yang ia sepakati sebelum masuk organisasi perdagangan internasional itu. (Sinatra/asr)