Penantian Ilahi di Kota Suci — Kisah 4000 Tahun Yerusalem (1)

Cai Daya

Meneliti peradaban manusia kali ini, mungkin tidak ada satu kota pun yang bisa disamakan dengan Yerusalem, sepanjang tiga ribu tahun sejarah pembangunan kota ini, telah berkali-kali dihancurkan dan mengalami perang, namun tetap bisa berdiri lagi di lokasi semula. Yerusalem terletak di perbukitan dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut, bersebelahan dengan tiga lembah dan dikitari oleh gunung yang lebih tinggi, menjadikan Yerusalem sebagai lokasi strategis yang mudah dipertahankan namun sulit diserang. Namun bukan karena letak geografisnya yang strategis, melainkan kekuatan spiritual yang membuat kota ini abadi, karena kota ini merupakan kota suci bagi tiga agama besar.

Agama Yahudi menganggap Yerusalem sebagai “Tahta Tuhan”, atau “Sang Pencipta Berada”; agama Nasrani menganggap Yerusalem sebagai tanah penebusan karena disini terjadi mukjizat Yesus berkhotbah, menderita, dan bangkit kembali; agama Islam menjadikan Yerusalem sebagai salah satu dari tiga kota suci Islam, karena Nabi Muhammad SAW pernah “melakukan perjalanan malam Isra Mi’raj (tahun ini jatuh pada 14 April 2018)” dan menerima sabda Allah.

Ini adalah kota yang penuh dengan legenda dan mukjizat, berbagai peristiwa yang tak bisa dijelaskan telah terjadi baik bagi yang percaya pada Tuhan maupun bagi kaum atheis: Mukjizat, kerap terjadi di kota ini.

Lukisan abad ke-15 – Kota suci Yerusalem. (public domain)

Selama ribuan tahun, berbagai kekuatan yang memiliki kepercayaan yang berbeda ingin menguasai Yerusalem, konflik dan pergolakan pun terjadi dan belum berhenti hingga saat ini; berbagai dendam kesumat yang tercipta akibat memperebutkan kota suci ini sepertinya tidak akan sirna dalam sehari.

Pergolakan di Kota Suci menggoyahkan syaraf dunia, namun semua itu, apakah semacam situasi yang telah diatur sejak dulu kala, sambil menantikan mukjizat terakhir yang akan terjadi?

I. Leluhur Orang Yahudi dan Arab: Abraham (3900 Tahun Silam). Percaya Tuhan Maka Diberkati

1. Menghormati Tuhan

Tokoh yang pertama mengembangkan layar sejarah Yerusalem adalah nabi yang dihormati oleh tiga agama yakni Abraham (dalam Bahasa Arab: Ibrahim, mengandung makna Bapak semua bangsa yang agung)

.Nabi Ibrahim adalah keturunan ke-10 dari Nabi Nuh, leluhurnya awalnya menetap di kota Ur (kota yang dibangun oleh bangsa Sumeria) di daerah hilir sungai, ayahnya membawa seluruh keluarga mereka hijrah ke utara ke hulu Sungai Efrat dan menetap disana.

Setelah ayahnya wafat, Ibrahim menggantikannya sebagai kepala suku, itu terjadi sekitar tahun 1900 SM.

Ibrahim adalah seorang hamba Tuhan yang sangat taat, menuruti perintah Tuhan dan membawa bangsanya hijrah ke barat ke pesisir timur Laut Tengah yakni Tanah Kanaan (Kanaan, awalnya adalah nama cucu Nabi Nuh, kemudian di zaman kuno menjadi nama tempat, meliputi Palestina, Suriah, Libanon dan tempat lainnya di pesisir Laut Tengah). Dari kitab kuno dapat disimpulkan bangsa Ibrahim sepertinya menjalani kehidupan pengembara/nomaden.

Lukisan Dimana nabi Ibrahim memberi makan ternaknya (1878)。 (Fæ / Wikimedia Commons)

Meniru tradisi bangsa lain yang berada di sekitarnya waktu itu, setiap kali Ibrahim hijrah ke satu tempat, Ibrahim akan membuat altar persembahan; dan Jehovah yang dipujanya akan memberikan tanah itu bagi keturunannya.

Setelah PD-II, bangsa Yahudi yang hampir 2000 tahun negerinya punah, mengumumkan tanah di Palestina sebagai negaranya hal ini memicu kemarahan bangsa Arab dan bentrokan bersenjata, karena bangsa Yahudi sampai saat ini masih meyakini bahwa tanah di sekitar Laut Mati dan Laut Tengah, adalah tanah yang dijanjikan Tuhan bagi mereka 3800 tahun silam.

  1. Salem

Ibrahim pernah membawa para pembantunya untuk menyelamatkan keponakannya berikut harta bendanya yang ditawan pada saat terjadi perang. Saat kembali melintasi Salem, Raja Salem Malchisedek (bermakna: Keadilan) yang juga seorang Pendeta Besar membawa roti dan anggur datang menyambutnya dan memberi selamat.

Kisah ini ditulis pada bab “Kejadian” Alkitab, munculnya tempat yang disebut Salem ini berada di lokasi Yerusalem saat ini. Selain itu, istilah “Salut” yang kerap diucapkan bangsa Barat saat berjumpa, berasal dari kata “Salem” ini.

Raja Melkisedek dari Saloon Bertemu Nabi Abraham , Dierick Bouts, Abad ke-15. (domain publik)

Setelah mempersembahkan sepersepuluh dari hasil perampasan perang, Ibrahim langsung pergi dan tidak menduduki Salem. Dan saat kembali ia menyerahkan kembali seluruh harta benda yang dirampas pada pemiliknya, dan tidak menerima sedikit pun pemberian mereka. Kepribadian Ibrahim yang jujur dan tulus membuatnya dicintai Tuhan, usaha keluarganya maju pesat, kedua putranya menjadi leluhur bangsa Arab dan bangsa Yahudi.

  1. Putra Sebagai Kurban

Putra Ibrahim bernama Ishak baru lahir saat Ibrahim telah berusia 100 tahun dan istrinya 90 tahun. Ketika Tuhan memberi mereka wahyu bahwa akan mendapatkan anak, keduanya masih tertawa karena tidak percaya akan memiliki anak di usia tua, namun karena perintah Tuhan, mukjizat pun terjadi. Ibrahim sangat sayang pada putranya, dan mewariskan semua usahanya padanya.

Sebelum Ishak lahir, Ibrahim telah memiliki seorang putra bernama Ismail. Walaupun anak sulung, tapi karena ibunya adalah budak pembantu etnis Mesir, dan bukan orang Yahudi, status sosialnya tidak tinggi, maka Ismail selain tidak mendapatkan warisan apa pun, juga dikirim ke Kanaan bersama ibunya.

Lukisan “Pengusiran Ismail bersama sang ibunda” karya Gustave Dore, abad ke 19. (public domain)

Kemudian Ismail wafat di  Mekah, kemudian menjadi leluhur bagi bangsa Arab, dan juga berstatus seorang Nabi.

Sama-sama putra kandung namun Ibrahim memperlakukan keduanya sangat berbeda, apakah hal ini yang kemudian menimbulkan ganjalan di hati orang Arab dan Yahudi? apakah dari situ dimulai suatu simpul kusut di hati? penyebab yang memicu konflik di masa mendatang, sudah tidak bisa ditelaah lagi di zaman ini.

Setelah Ishak beranjak dewasa (25 tahun, ada yang mengatakan 37 tahun), Jehovah meminta agar Ibrahim pergi ke sebuah gunung di Moria untuk memberikan kurban, dan kurban itu adalah Ishak. (Umat Nasrani dan Yahudi yang menyakini sosok dikurbankan adalah Ishaq.red)

Dengan kata lain Ibrahim harus membunuh putra tercintanya sendiri untuk dipersembahkan pada Tuhan?

Apakah Ia harus menaati perintah Tuhan, ataukah melindungi nyawa anak tersayangnya dan ikatan batin manusia ini? Ibrahim memilih yang pertama, Ishak pun dibawa ke gunung, ke sebuah batu yang dijadikan altar.

Ishak tidak tahu akan takdirnya, malah masih bertanya pada sang ayah mengapa tidak membawa sapi atau kambing untuk kurban, karena sesuai tradisi di masa itu, saat persembahan harus menyembelih sapi atau kambing lalu dibakar sebagai kurban.

Mengorbankan Ishak” karya Rembrant, tahun 1635. (public domain)

Waktu itu Ishak sangat muda dan kuat, sangat mampu melawan ayah yang sudah tua untuk melindungi dirinya, namun ia tidak melawan, dan menerima pengaturan Tuhan.

Di saat Ibrahim mengayunkan pisaunya ke arah leher Isak, Tuhan memerintahkan malaikat menghentikannya, dan memberitahunya bahwa ini hanyalah ujian Tuhan bagi dirinya, dan bukan benar-benar ingin sang ayah membunuh sang anak.

Kemudian Tuhan memperlihatkan pada Ibrahim seekor kambing jantan yang terperangkap di tengah semak, Ibrahim pun tahu kambing itulah kurban yang sesungguhnya, maka disembelihnya dan dijadikan kurban di meja altar.

Ayah dan anak mentaati perintah Tuhan dan dicintai Tuhan tidak hanya berusia panjang, anak cucunya juga senantiasa dilindungi. Usia Ibraham minimal telah mencapai 125 tahun, dan Isak baru wafat di usia 180 tahun, putra Ishak yang bernama Jacob hidup hingga usia 147 tahun, ia memiliki 12 putra, yang menjadi leluhur bagi 12 suku bangsa Yahudi.

Yesus yang lahir ribuan tahun kemudian adalah keturunan Ishak dan Ibrahim yang ke 36 atau ke 42 (angka generasi ini berbeda antara Alkitab Perjanjian Baru dengan Wahyu); dan Nabi Muhamad pendiri agama Islam yang lahir setelahnya berpendapat bahwa termasuk bangsa Arab seperti diriNya adalah keturunan dari Ismail putra sulung Ibrahim.

Gunung di mana Ibrahim melakukan kurban yakni: Temple Mount di Yerusalem; dan batu yang dijadikan altar itu oleh bangsa Yahudi dianggap sebagai tempat Tuhan, yang kemudian juga diagungkan oleh bangsa Arab. Oleh karena itu kuil bangsa Yahudi, dan Masjid al-Aqsha, dibangun mengitari batu ini. (SUD/WHS/asr)

Sumber : Epochtimes.com

Bersambung