EpochTimesId – pabrik Samsung Electronics Korea Selatan di Shenzhen akan membongkar seluruh peralatan produksinya, untuk dipindahkan ke Vietnam. Samsung hanya akan menyisakan 6 orang eksekutifnya untuk ‘menjaga kandang’, sedangkan tenaga kerja lainnya akan di-PHK.
Penutupan pabrik Samsung di Tiongkok tersebut menyusul semakin banyaknya perusahaan asal Jepang, Amerika Serikat dan negara lainnya menarik penanaman modalnya dari daratan Tiongkok. Alasan kepindahan adalah kenaikan biaya produksi.
Pada 27 April 2018, karyawan tingkat menengah Samsung Electronics Co., Ltd. di Shenzhen mengatakan kepada wartawan LanjingTMT bahwa mereka akhirnya menandatangani pengakhiran kontrak kerja dengan perusahaan. Sebab, seluruh perusahaan akan dicabut.
Selain keenam orang eksekutif asal Korea yang masih bertahan di kota Shenzhen, seluruh karyawan yang berjumlah sekitar 320 orang akan di-PHK pada akhir bulan April dengan total pesangon yang sudah dibayarkan berjumlah lebih dari 20 juta Renminbi.
Sebelumnya, pada 16 April media daratan Tiongkok mengutip sumber-sumber industri, memberitakan bahwa Samsung Electronics dan LG Electronics terpaksa menutup pabrik TV LCD mereka di Tiongkok. Penutupan dilakukan akibat terpengaruh putusan Amerika Serikat untuk mengenakan tarif impor tambahan 25 persen bagi 1.300 jenis komoditas ekspor asal Tiongkok.
Seorang CEO Samsung menyatakan, “Ini hampir tidak mungkin dihindari karena kami tidak dapat mencapai titik impas modal dengan kenaikan tarif yang 25 persen.”
Dilaporkan bahwa raksasa Korea Selatan yang masuk peringkat ke-15 dalam 500 perusahaan top dunia, beberapa tahun terakhir terus menarik investasi mereka dari Tiongkok.
Khususnya, setelah gelombang anti-Korea yang dipicu oleh peristiwa penempatan THAAD, penarikan diri Samsung makin gencar. Pada tahun-tahun belakangan ini, PHK karyawan mereka di pusat-pusat manufaktur di Tianjin, Suzhou, dan Shenzhen terus terjadi.
Analis percaya bahwa penutupan pabrik Samsung Electronics di Shenzhen memiliki sejumlah faktor, antara lain meningkatnya biaya tenaga kerja di Tiongkok; intensifnya persaingan dagang dengan merek Huawei, Xiaomi dan lainnya; penurunan tajam dalam keuntungan manufaktur dan pangsa pasar yang mengalami kompresi, memaksa perusahaan melakukan penyesuaian bisnis, termasuk mengalihkan pabrik.
Kepada LanjingTMT, pejabat menengah Samsung itu mengatakan, setidaknya dalam 2 tahun terakhir Samsung memperketat pengontrolan jumlah karyawan, diantaranya perusahaan di Tianjin, Suzhou SSL sudah lama tidak merekrut karyawan baru, walau ada yang keluar. Tentu karyawan sudah dapat merasakan situasi yang dihadapi perusahaan.
Sumber asal industri mengungkapkan, dalam tahun-tahun terakhir ini, khususnya 2017 setelah perusahaan mengadakan penyesuaian kebijakan bisnis yang antara lain akan menutup ketujuh cabang Samsung di negeri Tiongkok dan melakukan penggabungan tugas, sehingga ada pemutusan hubungan dengan sejumlah tenaga kerja.
Video Rekomendasi :
Satu demi satu perusahaan raksasa asing kabur dari Tiongkok
Dilaporkan bahwa selain mengambil langkah mundur dari Tiongkok, perusahaan Samsung sejak tahun 2012 sudah mengarahkan konsentrasinya menuju negara Asia Tenggara, Vietnam. Jumlah investasi Samsung di negara itu telah mencapai 17,3 miliar dolar AS, dan menciptakan 140.000 peluang kerja. Sebanyak 51 persen smartphone Samsung diproduksi di Vietnam.
Diperkirakan oleh dunia luar bahwa dengan kepergian Samsung, Tiongkok telah kehilangan 100.000 atau lebih pos kerja yang ikut dibawa serta ke Vietnam. Menurut media Tiongkok, pada tahun 2013 Samsung memiliki total 35.600 orang karyawan di Tiongkok, tetapi pada tahun 2015 jumlahnya hanya tinggal 8.580 orang.
Tidak hanya itu, rantai suplai Samsung di Tiongkok juga mengalami guncangan yang parah. Yang pertama adalah bahwa pemasok lapis pertama seperti Suzhou Puguang, Dongguan Puguang, Dongguan Wuquan dan lainnya yang mempekerjakan puluhan ribu karyawan di Tiongkok berangsur-angsur menutup usaha.
Kedua, entitas yang memasok komponen elektronik, bahan pengemas, plastik, dan material lainnya untuk Samsung juga sangat terpukul. Contohnya adalah perusahaan Yuto Group, karena penarikan investasi Samsung, order yang diberikan Samsung kepada mereka anjlok dari tahun 2013 yang 340 juta menjadi kurang dari satu juta pada tahun 2015. Tahun 2016, dan 2017 masih terus menurun.
Kaburnya Sambung tidak sendirian, Awal tahun ini 2 perusahaan raksasa Jepang yang masuk 500 perusahaan top dunia, Nitto Denko dan Nikon juga hengkang dari Suzhou, meninggalkan bangunan pabrik yang sudah tak terpakai.
Sebelumnya, Panasonic, Sharp, Toshiba, Philips, Sony, Honeywell Security, Seagate, dan Apple telah meningkatkan upaya untuk mundur. Ketika Cook, CEO Apple mengunjungi India pada tahun 2016, dia mengatakan bahwa lini produksi Apple akan dialihkan ke India, padahal Apple telah menempatkan hampir semua rantai industrinya di Tiongkok.
Selanjutnya, Foxconn mengumumkan bahwa mereka telah membangun pabrik berkapasitas jutaan pekerja di India.
Awal tahun ini, perusahaan Apple telah mengumumkan rencananya untuk menanamkan total 30 miliar Dolars AS yang dapat menciptakan 20.000 kesempatan kerja di AS dalam waktu 5 tahun mendatang untuk menyambut kebijakan pemotongan pajak pemerintahan Trump.
Pada saat yang sama, Foxconn sebagai perusahaan Taiwan yang menangani produksi iPhone juga mengumumkan rencananya untuk mendirikan pabrik di Wisconsin dengan investasi yang berjumlah 10 miliar Dolar AS.
15.000 perusahaan keluar dari kota Shenzhen
WeChat akun ‘Huanqiu llngyan’ baru-baru ini memposting tulisan yang antara lain berbunyi, “Mengambil kota Shenzhen sebagai contoh, dalam beberapa tahun terakhir, ada banyak alasan yang menunjang mundurnya modal asing dari industri di bawah bendera peningkatan produktivitas kota tersebut”.
Yang pertama adalah karena pembaruan industri dan reformasi struktural di sisi pasokan, mengakibatkan 15.000 perusahaan harus pindah dari Shenzhen.
Pengalihan hak tanah pemerintah membuat pejabat setempat ‘kenyang’. sedangkan pertumbuhan ekonomi yang cepat membuat warga tidak lagi ‘merasa lapar’. Mereka sekarang justru menganggap bahwa bertumbuhnya industri di kota itu telah membuat wajah kota rusak, kotor dan pencemaran parah terhadap lingkungan.
Nasib pabrik sudah tidak penting bagi mereka. Mereka sekarang beralih ke bursa saham dan spekulasi real estate, serta melupakan bagaimana asal muasal kota tersebut berkembang, yaitu melalui pembangunan industri. Mereka seolah lupa dari mana mereka datang.
Dikatakan bahwa, dalam laporan berjudul ‘Memperdalam Reformasi Struktural di Sisi Pasokan dan Memperkuat Laporan Penelitian Utama tentang Ekonomi Riil Shenzhen’, yang dirilis oleh CPPCC Kota Shenzhen baru-baru ini disebutkan, akhir-akhir ini sudah ada lebih dari 15.000 perusahaan pindah keluar kota Shenzhen. Perpindahan semacam ini masih terus berlangsung.
Beberapa perusahaan bintang, seperti Philips, Samsung, Honeywell dan perusahaan raksasa internasional lainnya juga berangsur-angsur hengkang dari kota tersebut. Begitu pula perusahaan raksasa dalam negeri seperti ZTE, BYD, Dajiang Innovations (DJI) juga memindahkan basis produksi mereka ke luar kota Shenzhen.
Menurut artikel itu, pada awal tahun 2008, nilai output manufaktur kota Shenzhen mulai menurun setiap tahunnya rata-rata 3%, bahkan berada di sekitar 0% pada tahun 2014. Jadi sampai taraf tertentu dapat dikatakan bahwa, hal ini merupakan tanda-tanda penghampaan industri manufakturing.
Sedangkan di balik ‘kejadian’ itu, penurunan secara nasional bonus tahunan yang diterima para pekerja Tiongkok, naiknya biaya tenaga kerja, biaya lahan, pajak perusahaan secara beruntun ini juga merupakan ‘pukulan’ bagi produsen.
Inilah alasan yang memaksa banyak perusahaan pindah keluar dari Shenzhen, bahkan Tiongkok, tulis artikel itu.
Krisis microchip ZTE yang menjadi penguap ‘selubung’
Selain itu, tingginya harga lahan menyebabkan biaya penggunaan lahan dan tenaga kerja meningkat dengan cepat. Shenzhen sudah berubah menjadi kota dengan peruhaman yang ‘tidak terbeli’, membuat daya beli konsumen melorot tajam. Kini kota tersebut sudah tidak layak dihuni oleh industri manufakturing.
Selain itu, melambungnya harga juga menjadi faktor penyebab kalah bersaing. Seorang netizens mencoba memberikan kalkulasinya, “Seorang pekerja kawasan industri Shenzhen yang menerima gaji bulanan (Take home pay) misalkan 5.000 Renminbi. Jika ditambahkan dengan beban-beban yang harus dilunasi seperti asuransi dan jaminan (wajib) lainnya, maka gaji seorang yang 5.000 itu menjadi 12.000 Renminbi perbulan bagi perusahaan.”
“Bagaimana bersaing dengan gaji seorang tenaga kerja di Vietnam yang setara dengan 1.000 Renminbi sebulan?”
Belum lagi, dengan produk yang sama, biaya produksi di Tiongkok untuk bahan mentah ditambah biaya tenaga kerja ditambah pajak totalnya adalah 100 Renminbi. Sedangkan di Vietnam angka itu hanya berjumlah 70 Renminbi. Bagaimana ingin menang bersaing?
“Ini juga alasan mengapa kian banyak Tionghoa perantauan di AS berkata bahwa produk berlabel ‘Made in China’ sekarang makin jarang kelihatan. Jangan-jangan gelar Pabrik Dunia yang disandang Tiongkok bakal pindah tangan ke Asia Tenggara atau Meksiko atau India,” Tulis artikel tersebut.
Faktor lain adalah tingginya tarif pajak. Amerika Serikat, Eropa, Jepang menerapkan kebijakan penurunan pajak untuk menarik investasi global dalam konteks arus modal.
Tetapi Tiongkok sudah tidak memiliki ruang untuk pemotongan pajak, alasannya antara lain tak jarang pajak dinaikkan secara samar, dan itu sudah sulit dihentikan. Namun, banyak pemerintah daerah, termasuk Shenzhen, tidak menyadari bahwa Grey Rhino (metafora untuk besarnya krisis) sedang mendekati mereka.
“Sepuluh tahun dana hasil pengoperan lahan telah membuat pejabat pemerintah daerah tidak lagi termotivasi untuk menarik masuk investor asing sebagaimana tahun-tahun 90-an. Dari hasil mengoper lahan saja sudah bisa membuat kantung penuh, cadangan kas pemda cukup untuk membiayai operasi,” sambung artikel tersebut.
Bagi pejabatnya, ‘kenyang’ membuat mereka malas repot-repot melayani investor asing yang kalaupun memberikan tip juga tidak seberapa. Sehingga alasan-alasan seperti hujan tampaknya sudah mau turun. Mendamping ibu pergi ke pesta pernikahan. Mungkin datang dan mungkin juga tidak. Hati-hati dalam perjalanan ya, saya tidak sempat menghantarkan, menjadi kalimat yang kerap muncul dari bibir pejabat ketika berhadapan dengan investor yang datang meminta bantuan.
Pada saat yang sama, harga perumahan di Shenzhen masih terus meningkat, industri keuangan masih gencar, impian industri komunikasi yang diciptakan oleh Huawei dan ZTE terus berlanjut, industri jasa juga masih terus bertambah.
Artikel menyebutkan, “Sayangnya, mereka belum juga sadar bahwa dengan hengkangnya investor asing, tidak saja pekerjanya akan jadi pengangguran, yang lebih penting adalah rantai industri yang terkait akan terputus juga, sehingga pengangguran semakin banyak, semakin banyak ‘mangkuk nasi’ yang pecah.”
Mereka juga tidak sadar bahwa banyak high-end teknologi manufaktur inti pada kenyataannya sudah berada di tangan dan dimonopoli oleh perusahaan Barat dan Jepang. Setelah 40 tahun berjalan, Tiongkok hanya mendapatkan ilmu bagian ‘kulit’nya, yang dijual cuma tenaga kerja, paling tinggi setingkat Produsen peralatan asli (OEM).
Menurut artikel itu, ZTE telah mengalami krisis microchip akibat sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat. Sampai batas tertentu, krisis ZTE tersebut telah menguak ‘selubung’ Shenzhen adalah kota industri yang maju. Padahal program untuk mencapai peningkatan industri belum selesai dikerjakan pemda bersama jajarannya.
Tetapi hal yang mengerikan adalah bahwa pikiran para pejabat terbawa oleh deru mesin cetak uang yang sedang berjalan. Mereka tenggelam dalam impian bagaimana mengatur kekayaan, dan terus menerus terlena oleh kemakmuran palsu dari real estate, serta gedung pencakar langit. (Ling Yun/ET/Sinatra/waa)
Video Pilihan :
https://youtu.be/fTKcu82AtsA