Sebuah klip video baru-baru ini telah beredar di Tiongkok: dalam pidato yang disampaikan oleh Lin Jianhua, presiden Universitas Peking, pada perayaan ulang tahun ke 120 sekolah bergengsi tersebut, Lin tampak berjuang untuk membaca beberapa ungkapan-ungkapan umum dalam bahasa Mandarin. Ironisnya, presiden tersebut kemudian menjelaskan bahwa dia tidak menerima pendidikan dasar karena Revolusi Kebudayaan.
Peringatan ke-120 Universitas Peking terjadi pada 4 Mei. Lebih dari 10 pejabat Partai Komunis tingkat tinggi, selain presiden dari 116 universitas terkenal di 44 negara dan 130 universitas di Tiongkok telah menghadiri perayaan yang diadakan di gedung olahraga universitas tersebut.
Ketika Lin Jianhua membaca pidato yang telah disiapkannya, dia membuat beberapa kesalahan pengucapan untuk karakter-karakter Mandarin lazimnya.
Ketika dia mendorong siswa untuk bercita-cita tinggi, dia salah mengucapkan salah satu karakter dalam ungkapan tersebut. Untuk frasa umum yang berarti “banyak sekali,” ia mengucapkannya sebagai “jingjing” daripada “shenshen.”
Sensor internet segera menghapus klip video pidato Lin tersebut, sementara media yang dikelola pemerintah menyiarkan versi yang diedit tanpa kesalahan, surat kabar Taiwan, Liberty Times telah melaporkan pada 5 Mei.
Karena Lin adalah presiden dari tiga universitas ternama di Tiongkok, Universitas Chongqing (2010), Universitas Zhejiang (2013), dan Universitas Peking (2015), kesalahan-kesalahan pengucapannya tersebut telah mengundang kekagetan, dan banyak komentar sarkastik dari para netizen.
Seorang netizen berkomentar: “Kata-kata itu berasal dari buku teks sekolah menengah. Sangat lucu bahwa presiden Universitas Peking yang bergengsi tidak mengenalinya.”
Yang lain berkata, “Ketika tingkat presiden Universitas Peking seperti ini, seseorang dapat membayangkan telah menjadi seperti apa Universitas Peking yang sekarang ini.”
Hari berikutnya, presiden tersebut mempublikasikan sebuah surat terbuka kepada mahasiswa Universitas Peking pada sistem pesan internal sekolah. Dia meminta maaf atas insiden tersebut dan menjelaskan mengapa dia tidak tahu bagaimana cara membaca karakter-karakter tersebut: Lin mengatakan dia telah menerima pendidikan yang terbatas setelah kelas lima karena Revolusi Kebudayaan.
Gerakan politik yang diprakarsai oleh pemimpin Partai saat itu, Mao Zedong, berusaha untuk menghilangkan “unsur-unsur borjuis” dari masyarakat. Sekolah dan universitas dianggap sebagai surga bagi para intelektual, dan kemudian ditutup selama beberapa tahun selama tahun 1960-an.
Lin menggambarkan pendidikannya yang terbatas selama tahun-tahun itu. “Saya berada di kelas lima ketika Revolusi Kebudayaan dimulai. Kami tidak memiliki buku teks selama bertahun-tahun. Guru kami hanya meminta kami untuk mengingat ‘Kutipan-kutipan dari Ketua Mao Zedong’ dan ‘Lao San Pian’ [esai singkat yang ditulis oleh Mao sebelum Partai Komunis mengambil alih Tiongkok].”
“Saya hanya bisa belajar sejarah Tiongkok modern melalui membaca karya-karya pilihan Mao dan penjelasannya,” kata presiden tersebut menambahkan.
Seiring waktu, kepercayaan publik di sekolah-sekolah elit Tiongkok telah jatuh. Menurut survei yang dilakukan oleh BlogChina.com pada tahun 2005 tentang persepsi publik terhadap presiden-presiden universitas di Tiongkok, 69,87 persen responden percaya bahwa gambaran keseluruhan dari presiden-prseiden universitas saat ini lebih dekat dengan para pejabat Komunis Tiongkok. Hanya 6,54 persen merasa mereka memainkan peran pendidik, sementara 9,98 persen menganggap mereka sebagai sarjana terpelajar. (ran)
Rekomendasi video :
https://www.youtube.com/watch?v=0x2fRjqhmTA&t=27s
ErabaruNews