Forum Toronto mengeksplorasi kejahatan komunisme
Menjelang akhir abad ke-19, filsuf Jerman yang terkenal, Friedrich Nietzsche, menggambarkan sosialisme sebagai “perkara yang tanpa harapan dan menyedihkan” dan mencatat bahwa dalam masyarakat sosialis, “kehidupan meniadakan dirinya sendiri.”
Terlepas dari kekurangannya, bagaimanapun, Nietzche memprediksi bahwa sosialisme akan menyebar.
“Paris Commune, yang memiliki para pembela dan pendukungnya di Jerman, juga, mungkin tidak lebih dari gangguan pencernaan kecil dibandingkan dengan apa yang akan terjadi,” tulisnya dalam “The Will to Power.”
“Dia memperkirakan [sosialisme] akan menjadi sumber konflik besar sepanjang abad ke-20,” kata penulis dan sejarawan Dr. Michael Bonner. “Upaya pertama untuk membangun utopia Marxis-komunis terjadi hanya 16 tahun kemudian, dan ramalan suram dari Nietzsche mulai terpenuhi.”
Bonner berbicara di sebuah forum berjudul “Komunisme, Tiongkok, Masa Depan Politik dan Ekonominya” yang diadakan di Universitas Toronto pada 5 Mei. Dia dan pembicara lainnya membuat kejelasan tentang kejahatan ideologi komunis dan kerusakan yang telah dilakukan. Acara ini juga termasuk peluncuran “The Ultimate Goal of Communism” versi Tiongkok, sebuah buku baru oleh The Epoch Times. Versi bahasa Inggris akan segera diterbitkan.
Dalam memberi audiensi apa yang disebutnya “segelintir kecil sejarah komunisme,” Bonner mengatakan bahwa pada November 1917, gerilyawan-gerilyawan Bolshevik telah menyerbu istana musim dingin Tsar di Saint Petersburg dan menggulingkan pemerintahan demokratis pertama dalam sejarah Rusia. Maka dimulailah rezim sosialis utama pertama di dunia.
“Ideologi komunisme mulai menyebar ke seluruh dunia dan, seperti diprediksi Nietzche, itu adalah doktrin dan sistem politik yang paling merusak dalam sejarah manusia,” katanya.
“Komunisme memaksa orang untuk hidup tanpa kegembiraan, dalam masyarakat yang bersifat menindas tanpa kebebasan apapun.
“Kebijakan-kebijakan komunis yang dihasilkan di antara bencana-bencana lingkungan terburuk dalam sejarah manusia, seperti penghancuran Laut Aral. Dan kelaparan terbesar abad ke-20 terjadi di negara-negara komunis.”
Di bawah Soviet, contoh-contoh paling brutal yang paling menonjol termasuk kelaparan yang dirancang secara sengaja di Ukraina, diperkirakan telah menewaskan hingga 10 juta orang antara tahun 1932 dan 1933; kampanye penindasan politik oleh Stalin, yang menewaskan sekitar 600.000 jiwa; dan pelaksanaan hukuman mati terhadap 100.000 tawanan perang Polandia.
Pada awalnya, Revolusi Rusia gagal menghasilkan gelombang sosialisme di seluruh Eropa, kata Bonner, tetapi setelah jatuhnya pasar saham pada tahun 1929 dan kebangkitan fasisme pada 1930-an, perencanaan pokok komunis “muncul sebagai alternatif-alternatif atas kegagalan kapitalisme yang diharapkan dan kemajuan politik sayap kanan ekstrim.”
Pada saat itu juga, “banyak intelektual bersiap untuk mengabaikan kekejaman-kekejaman menghebohkan yang dilakukan oleh satu-satunya negara komunis di dunia tersebut,” katanya.
“Bertrand Russell telah mengkritik dengan baik sekali tentang agresi dan utopianisme Bolshevisme pada tahun 1920, tetapi banyak simpatisan yang mendukung dan para pembela yang bersedia menyembunyikan atau memaafkan bencana dan kegagalan komunisme tersebut. Pertunjukan percobaan-percobaan dan pembunuhan terhadap jutaan orang dari Stalin telah dibela dengan penuh semangat oleh George Bernard Shaw, dan Walter Duranty dari The New York Times telah dengan sengaja mengecilkan skala kelaparan rekayasa Soviet di Ukraina tersebut.”
Selain itu, kekuatan Barat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengabaikan invasi Soviet ke Hongaria pada tahun 1956, dan beberapa intelektual sayap kiri “menolak untuk mengecam invasi tersebut dengan dalih menggelikan bahwa melakukan hal itu akan memberikan landasan moral yang tinggi.”
Pemberian maaf semacam itu berfungsi untuk memungkinkan penerimaan komunisme, dan meskipun sebagian besar gagal di Barat, doktrinnya telah menyebar ke seluruh Asia Timur, Afrika, dan Amerika Selatan.
Keberhasilan Ekonomi Tiongkok Hasil Reformasi Kapitalis
Setelah ia mendirikan Republik Rakyat Tiongkok, Mao Zedong segera mengadopsi kolektivisasi gaya Soviet yang, seperti Uni Soviet, akan membawa kelaparan dan kematian yang meluas.
“Di Tiongkok, model komunisme Soviet mengarah pada kampanye modernisasi yang menewaskan jutaan orang,” kata Bonner.
“Pol Pot meniru contoh yang sama di Kamboja dan membunuh hampir seperempat warga negaranya. Di Korea Utara, doktrin swasembada didirikan atas dasar prinsip yang sama dan menghasilkan kelaparan yang telah menewaskan sebanyak 3,5 juta orang,” katanya.
“Pada 1960-an, generasi baru revolusioner Marxis muncul, dan pada tahun 1980, komunisme telah menembus Korea Utara, Kuba, Vietnam Utara dan Selatan, Kamboja, Laos, Yaman, Somalia, Afghanistan, dan Angola.”
Lompatan Jauh ke Depan Mao menyebabkan kematian 17 juta orang, dan kengerian Revolusi Kebudayaan tidak berakhir sampai Mao sendiri meninggal pada tahun 1976.
Mengenai perkembangan mengejutkan Tiongkok selama 30 tahun terakhir, Bonner mengatakan seorang pengunjung Barat ke Tiongkok mungkin menyimpulkan bahwa, sementara Uni Soviet gagal, rezim Mao berhasil, mengingat bahwa negara tersebut masih di bawah kekuasaan komunis.
Tetapi pada kenyataannya, keberhasilan ekonomi Tiongkok adalah hasil langsung dari reformasi kapitalis yang dimulai oleh Deng Xiaoping pada tahun 1978. Deng menjadi kepala Partai Komunis setelah kematian Mao.
“Kita dapat memberi Deng Xiaoping penghargaan karena mengubah ekonomi kolektivis Tiongkok menjadi kekuatan kapitalis,” katanya.
“Apa yang dihasilkan, karenanya, bukan visi Mao tentang kontrol negara yang kaku terhadap ekonomi, sentralisasi, pembatasan tertutup, dan egalitarianisme radikal, tetapi lebih kepada kapitalisme korporat dan para wirausahawan yang tidak memiliki hambatan.”
Bonner mencatat, bagaimanapun, bahwa “supremasi Partai Komunis tetap,” dengan indoktrinasi dimulai pada usia muda dan Pionir Muda dan Liga Pemuda Komunis mempersiapkan anak-anak, remaja, dan mahasiswa untuk bergabung dengan Partai tersebut, keanggotaan yang penting untuk mencari pekerjaan dan memperoleh promosi.
“Tetapi semakin sedikit orang yang bersedia bergabung dengan Partai tersebut,” tambahnya, mencatat keberhasilan Tuidang, gerakan akar rumput yang mendukung orang-orang melepaskan kesetiaan mereka kepada Partai Komunis tersebut.
“Pada tahun 2004, publikasi dari apa yang disebut ‘Sembilan Komentar Mengenai Partai Komunis’, karena banyak di Tiongkok, pengungkapan pertama mereka terhadap kejahatan komunisme. Fenomena Tuidang mempercepat itu, dan hari ini 300 juta orang telah mundur dari Partai Komunis tersebut,” katanya.
“Mantan presiden Polandia, Lech Walesa, telah menyebut gerakan Tuidang ‘tsunami sejarah’ dan ‘semangat kebebasan dan kebenaran’. Sangat menggoda untuk berpikir kita akan menyaksikan pergolakan akhir dari komunisme Tiongkok.”
Titik nyala lain adalah “ketegangan yang diciptakan oleh ketidakpuasan” yang mendidih tepat di bawah permukaan di Tiongkok, Bonner mengatakan, dengan sekitar 500 wabah kerusuhan yang serius hampir setiap hari di seluruh negeri beberapa tahun yang lalu.
Ini, bersama dengan apa yang dikatakan sebagian orang sebagai ekonomi yang terhenti, bisa berarti awal dari akhir komunisme di Tiongkok.
“Tidak peduli seberapa kuat dan rumit rezim manapun yang mungkin muncul, itu sebenarnya cukup rapuh. Ketika kepercayaan publik telah habis, mungkin dibutuhkan sedikit untuk menggulingkannya. Saya akan meninggalkan Anda dengan pemikiran itu.” (ran)
Rekomendasi video :
https://www.youtube.com/watch?v=0x2fRjqhmTA&t=27s
ErabaruNews