EpochTimesId – Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un tiba di Dalian, Tiongkok dengan naik pesawat kepresidenan, Korut Ilyushin-62, pada 7 Mei 2018. Kim datang untuk bertemu kembali dengan Presiden Xi Jinping.
Padahal kedua pemimpin sudah bertemu pada 40 hari yang lalu. Kini mereka memilih bertemu di kota Dalian, sebuah langkah yang dianggap tidak biasa.
Dalam pertemuan itu Kim menyampaikan bahwa sejak pertemuan di bulan Maret itu, hubungan Tiongkok dengan Korea Utara telah mengalami perkembangan yang sangat menggembirakan.
Kedatangannya kali ini adalah berharap untuk memperkuat komunikasi dan kerjasama dengan pemerintah Tiongkok. Dia menyatakan konsisten pada keinginan untuk membebaskan semenanjung Korea dari ancaman nuklir.
Xi menegaskan bahwa Beijing akan mendukung Pyongyang mempertahankan denuklirisasi semenanjung. Dia juga bersedia mendukung dialog AS-DPRK untuk menyelesaikan masalah Semenanjung Korea.
Lalu, mengapa mereka memilih kota Dalian sebagai tempat pertemuan? Laporan Media Tiongkok menyebutkan bahwa kedua pemimpin bahkan berjalan kaki santai di pantai Pulau Bangchui sambil ngobrol, sebelum menghadiri jamuan makan.
Di lokasi wisata Bangchui ini terdapat sebuah wisma tamu yang lumayan besar. Itu merupakan salah satu dari sejumlah wisma untuk menampung tamu negara yang dibangun setelah tahun 1949.
Kakek dan ayah Kim Jong-un, pernah bertemu dengan Teng Xiaoping di Pulau Bangchai.
Tetapi, sejarah itu bukan menjadi penentu pertemuan kali ini. Seorang sumber memberitakan kepada media ‘South China Morning Post’, bahwa Xi Jinping sedang menghadiri peresmian kapal induk Tiongkok yang baru selesai dibangun.
Dia menggunakan kesempatan tersebut untuk memanggil Kim datang bertemu. Pertama untuk berbincang-bincang sambil berjalan keliling pantai seperti yang pernah terjadi pada jaman kakek dan ayahnya. Kedua, kemungkinan menggunakan kesempatan itu untuk memberikan isyarat kepada Kim agar tidak gentar dengan gertakan AS.
Presiden Trump pada 8 Mei 2018 pagi mengatakan akan berbicara dengan Xi Jinping lewat sambungan telepon. Kemudian dalam pembicaraan itu Trump menyampaikan bahwa Amerika Serikat menaruh perhatian tinggi terhadap sikap pemerintah Tiongkok dalam masalah Semenanjung Korea.
Trump menyampaikan bersedia untuk memperkuat komunikasi dan koordinasi untuk bersama-sama mempromosikan penyelesaian Semenanjung Korea melalui negosiasi dan konsultasi.
Xi Jinping menegaskan kembali sikap Tiongkok dalam masalah Semenanjung Korea. Dia menekankan bahwa Beijing mendukung Washington untuk bertemu dengan pemimpin Korea Utara, dan Tiongkok juga bersedia untuk terus berperan aktif demi tercapainya denuklirisasi semenanjung dan stabilitas jangka panjang regional.
Pada 7 Mei, Menlu Tiongkok Wang Yi baru menyelesaikan kunjungan kenegaraan ke Pyongyang. Kunjungan itu langsung membuat pihak Pyongyang begitu cepat berubah sikap.
Meminjam istilah netizen, “Kim Jong-un mengubah sikap lebih cepat daripada membalik halaman buku.”
Media baik Tiongkok dan Korut dalam laporan peliputan kunjungan Wang Yi di Korea Utara sama-sama menyebutkan bahwa Wang memuji Kim Jong-un. Media corong kompak memberitakan bahwa Kim Jong-un memberikan kesempatan untuk penyelesaian masalah semenanjung secara politis. Kim Jong-un telah menjadi pendorong bagi perkembangan situasi.
Sebagai menlu Tiongkok, Wang Yi tidak mungkin asal berbicara, jadi apa yang dia ucapkan dipastikan mewakili Tiongkok. Pertemuan itu diduga ditujukan untuk mendinginkan efek sanksi internasional yang disponsori AS terhadap Korut.
Dia sengaja menonjolkan Kim Jong-un. Sehingga, mungkin saja Wang Yi ditugasi untuk mengundang Kim Jong-un datang ke Dalian untuk bertemu dengan Xi Jinping.
Simak juga, Pengakuan Dokter yang Dipaksa Panen Organ Hidup :
https://youtu.be/0x2fRjqhmTA
Saat ini Tiongkok sedang menghadapi situasi ‘ditendang keluar’ dari penyelesaian masalah semenanjung. Deklarasi Panmunjong terakhir, Tiongkok sudah tidak berperan apa-apa lagi.
Menghadapi situasi tersebut, Tiongkok bisa jadi ‘makan tidak enak, tidur tidak nyenyak’. Tiongkok tidak terima dengan kehilangan kekuatan tawar-menawar dengan masyarakat Barat.
Apalagi perang dagang dengan AS kian mendekati saat-saat meletus. Negosiasi menghadapi jalan sempit yang nyaris buntu. Sedangkan pemerintahan Trump bertekad besar untuk mengatasi ketidakadilan transaksi perdagangan.
Situasi ini memberikan tekanan besar kepada otoritas Beijing. Mereka maju atau mundur serba salah, semuanya cenderung membahayakan stabilitas rezim pemerintah dan PKT.
Jadi, pemerintah Tiongkok berusaha untuk bisa masuk kembali ke dalam lingkaran masalah semenanjung. Dengan harapan, mereka memperoleh pengakuan untuk ikut berpartisipasi dalam penyelesaian masalah semenanjung. Bagaimana cara masuknya?
Keluarga besar Kim yang sudah dibesarkan selama beberapa dekade, sekarang sudah dapat dimanfaatkan. Datang memanggil Kim Jong-un datang ke Dalian menunjukkan betapa dekatnya hubungan Tiongkok-Korea Utara.
Implikasinya adalah bahwa pengaruh Beijing di Semenanjung Korea masih cukup besar, ini jadi kekuatan untuk tawar-menawar dengan AS.
Bagi Kim Jong-un, Tiongkok adalah ‘kartu As’ yang perlu dipegang dalam menghadapi pertemuan puncak dengan Trump. Oleh karena itu kedua negara tersebut langsung ‘seia sekata’. Menurut praktek diplomatik, pemimpin nasional dua kali berkunjung ke negara yang sama dalam waktu sangat dekat memang jarang terjadi.
Wen Rexuan, seorang profesor tamu dari ‘China University of Politic’ dalam wawancaranya dengan ‘Hongkong Economic Times’ mengatakan bahwa Kim Jong-un saat ini kembali mengunjungi Tiongkok tentu berkaitan erat dengan KTT Korea-Amerika mendatang.
Dia menambahkan bahwa Beijing dan Pyongyang kini berada dalam barisan yang sama. Mereka menggunakan langkah tersebut, dalam rangka untuk menemukan keseimbangan antara negosiasi dengan Amerika Serikat.
Kim berharap mendapatkan posisi yang sama dalam bernegosiasi dengan Amerika Serikat. Dengan kata lain, Kim Jong-un sekarang ingin memanfaatkan kedekatan hubungannya dengan Beijing sebagai ‘kartu As’ untuk dimainkan dalam negosiasi dengan Trump.
Bahkan, seperti analisis dunia luar sebelumnya, bahwa Tiongkok dan Korea Utara sekarang sedang ‘berpelukan demi kehangatan’. Karena tirani komunis mereka sekarang sedang menderita akibat sanksi internasional, menemui krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Frank Tian Xi, profesor University of South Carolina Aiken School of Business menunjukkan bahwa AS menggunakan sanksi perdagangan terhadap Tiongkok komunis dan menggunakan tekanan militer terhadap Korea Utara. Pemerintahan Trump mengerahkan kekuatan untuk menggencet dua negara komunis brandal pada saat yang sama, membuat kedua rezim tersebut mulai goyah.
Kita telah melihat, sifat dasar komunisme yang jahat telah jelas terlihat oleh dunia. Semua negara di dunia sudah membenci komunisme dan sedang demam dekomunisasi.
Tiongkok dan Korea Utara, dua negara komunis di dunia ini tampaknya akan sulit terhindar dari kehancuran. Khususnya jika mereka masih ingin tetap mempertahankan ideologi komunisme. (Li Muyang/ET/Sinatra/waa)
Video Rekomendasi :