Beijing timbul 2 suara tentang ‘Tekanan AS bukan hal yang buruk’
Banyak orang berpendapat bahwa tekanan AS bukan hal yang buruk, bahkan dapat membantu mempercepat langkah reformasi di Tiongkok.
Pada 28 April, forum diskusi dengan tema ‘Dialog Ideologi Tiongkok dengan Dunia 2018’ yang diadakan bersama oleh Institut Pemikiran dan Praktik Ekonomi Tiongkok dengan Forum 50 Ekonom Tiongkok. Wakil Direktur Kantor Keuangan Pusat, Yang Weimin dan Wakil Ketua Komisi Regulasi Sekuritas Tiongkok, Fang Xinghai yang hadir ikut mendiskusikan secara mendalam isu-isu seperti situasi ekonomi saat ini, perkembangan di masa depan, liberalisasi pasar keuangan dan isu terkait perdagangan Tiongkok – AS.
Laporan media ‘Tencent’ menyebutkan bahwa, sebagai mediator forum diskusi, David Daokui Li (Direktur Pusat Penelitian Ekonomi Dunia Universitas Tsinghua Akademi Ekonomi dan Manajemen), ketika membahas tentang hal apa yang paling diprihatinkan oleh Politbiro Tiongkok saat ini, ia mengatakan bahwa masalah perdagangan Tiongkok – AS.
Ketika Li mempertanyakan mengenai tanggapan Tiongkok dalam menghadapi friksi perdagangan yang terjadi sekarang dan inti pidato Xi Jinping yang disampaikan melalui Forum Boao, Fang Xinghai menanggapi dengan mengatakan : “Liberalisasi pasar industri keuangan telah memiliki jadwal dan waktu yang lebih komprehensif untuk dicapai, pembukaan pasar untuk industri mobil tahun ini akan sepenuhnya terlaksana. Ini adalah sikap yang baik”
Dalam bidang teknologi tinggi komputasi, Fang Xinghai berpendapat bahwa masih ada ruang untuk negosiasi, “Kedua belah pihak perlu memahami niat masing-masing, harus duduk dan berbicara, kita dapat mengimpor lebih banyak dari Amerika Serikat untuk mengurangi masalah defisit perdagangan” kata Fang.
Ketika membahas soal langkah-langkah konkrit yang diambil pemerintah Tiongkok dalam membukaan pasar pada sektor keuangan, Fang Xinghai mengatakan bahwa yang pertama dibuka adalah pasar layanan keuangan bukan pasar modal. “Ketika kami belajar dari pengalaman penyedia layanan keuangan asing, perlahan-lahan kita akan menjadi kuat dan setelah itu baru perlahan-lahan membuka pasar keuangan sepenuhnya”
Ketika ditanya soal hubungan antara tekanan Trump dengan pembukaan pasar keuangan Tiongkok, Fang menjelaskan : “Dapat dikatakan bahwa pihak Tiongkok terus saja meneliti dan meneliti atau juga mempersiapkan pembukaan pasar, tanda dorongan Trump itu, pelaksanaannya dapat lebih lama. Tekanan Trump lebih mendorong, cukup positif”
Hua Po, seorang pengamat di Beijing mengatakan : “Mengenai bagaimana mengatasi perang dagang dengan Amerika Serikat, terdapat 2 suara yang berbeda satu sama lainnya. yang satu menyebutkan bahwa Tiongkok telah memiliki kekuatan untuk berperang, jadi tidak perlu takut dialog gagal. Jika perang terjadi, AS juga akan terluka cukup serius. Hal terburuk yang mungkin dialami Tiongkok yakni isolasionisme, kembali kepada kebijakan negara tertutup seperti pada masa lampau”.
“Suara lainnya berpendapat bahwa perlu beradaptasi dengan situasi untuk menghindari benturan dengan Amerika Serikat. Jarak perbedaan antar Tiongkok dengan AS cukup jauh sehingga reformasi dibutuhkan. Liberalisasi pasar secara bertahap harus terwujud, kita butuh internasionalisasi. Tiongkok telah banyak mencapai kemajuan ekonomi. Bersatu kita untung, bercerai kita buntung”
Hua Po sendiri berpendapat, seiring delegasi AS datang ke Beijing untuk berunding, perdebatan semacam ini juga semakin meningkat. “Dialog ini juga menciptakan ruang yaitu suara yang mewakili sikap moderat masih menempati mainstream di kalangan pemimpin tertinggi, mungkin saja negosiasi dapat mendorong Tiongkok mempercepat langkah pembukaan pasar dan penyelesaian masalah tarif”
Dalam menyikapi perselisihan perdagangan warganet Tiongkok menulis : Terima kasih kepada Trump, itu sebenarnya menguntungkan masyarakat (Tiongkok), memungkinkan barang-barang buatan AS yang bagus dan murah masuk ke Tiongkok, mendorong progres reformasi”
Xie Zuoshi, Dekan Sekolah Ekonomi dan Perdagangan Internasional di Universitas Keuangan dan Ekonomi Zhejiang kepada The Epoch Times mengatakan bahwa permintaan yang dibuat oleh Amerika Serikat sebenarnya baik bagi Tiongkok. Tiongkok akan bertambah maju jika mau mengalah dalam negosiasi perdagangan ini.
“Amerika Serikat meminta Tiongkok membuka pasar, mengurangi proporsi ekonomi milik negara. Tiongkok punya keinginan reformasi, memang mau melakukan pembukaan pasar, tetapi mengapa harus menunggu ditekan oleh pihak lain ? Mengalah agar pasar makin terbuka, tarif pajak diturunkan, apakah ini bukan suatu kemajuan ? Tarif pajak yang paling bagus itu 0 %. Semakin mengalah di negosiasi akan semakin maju (buat Tiongkok). Tarif sedapat mungkin rendah, itu akan baik buat negara dan rakyat,” katanya.
Xie Zuoshi mengatakan bahwa alasan mengapa Partai Komunis Tiongkok enggan membuat konsesi adalah karena ingin melindungi kelompok-kelompok kepentingan.
“Ambil contoh perminyakan, di masa lalu, minyak kita (Tiongkok) dimononopoli oleh beberapa perusahaan, jika administrasi monopoli tersebut berhasil dihapus melalui perang dagang, banyak pihak bisa menjual minyak, harga minyak akan turun, masyarakat memperoleh keuntungan, kesejahteraan nasional meningkat, Apakah ini tidak baik? Tentu saja ini adalah kemajuan. Tapi bagi kelompok kepentingan tentu saja ini merugikan.”
Wall Street Journal melaporkan bahwa sebelum berangkat ke Tiongkok, delegasi AS berencana untuk mengambil sikap keras terhadap Tiongkok. Amerika Serikat mengharapkan dengan cara ini dapat memaksa Tiongkok untuk melakukan perubahan struktural yang lebih dalam dan bertindak lebih cepat. Laporan itu mengatakan bahwa ini adalah strategi berisiko tinggi, jika berhasil, langkah tersebut dapat membantu pertumbuhan ekonomi Tiongkok, tetapi jika tidak berhasil, itu mungkin akan memperdalam permusuhan.
Perselisihan dagang bisa didiskusikan tetapi konflik di bidang teknologi kecerdasan buatan sulit untuk dilerai
Konflik perdagangan antara Tiongkok dan Amerika Serikat lebih seperti perang dingin teknologi daripada perang dagang. Karena ujung tombak Amerika Serikat tidak hanya diarahkan pada defisit perdagangan, tetapi juga menarah pada rencana Tiongkok tahun 2025.
Perwakilan Perdagangan AS Robert Lighthizer saat menyinggung soal ‘Made in China 2025’ mengatakan bahwa jangan meremehkan rencana tersebut. Di tingkat antar negara, ia memang bersaing dengan industri terkait dari negara-negara lain. Jika Tiongkok hendak berkompetisi secara sah di industri ini dengan negara lain, itu tidak ada masalah, tetapi Tiongkok (merealisasikan program 2025) melalui 300 miliar Dolar AS dana subsidi, pembatasan akses pasar, serta pengalihan teknologi paksa dan cara-cara lain, dengan mengorbankan kepentingan negara lain sebagai imbalan, maka itu adalah masalah lain.
Beberapa ahli menunjukkan bahwa tanggapan Amerika Serikat untuk “Made in China 2025” bukan bertujuan untuk mencegah Tiongkok mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi mengharapkan Tiongkok dapat membangun sistem persaingan adil yang berbasiskan pasar dalam mengembangkan industri-industri yang berpandangan ke depan. juga bukan membuat distorsi rantai pasokan global dengan investasi besar kapitalisme negara dan pemerintah.
Beberapa analis menyebut konflik perdagangan ini relatif lebih mirip pengujian ilmu pengetahuan dan teknologi yang dirahasiakan, perang demi memperjuangkan pilar pertumbuhan ekonomi masa depan, atau dapat juga dilukiskan sebagai disebut juga sengketa perdagangan dapat didiskusikan tetapi konflik teknologi kecerdasan buatan sulit untuk dilerai.
Sejak Dewan Negara Tiongkok merilis perencanana dalam mengembangkan kecerdasan buatan pada tahun 2017, mengusulkan Tiongkok di tahun 2030 menjadi pusat inovasi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, IA)terkemuka di dunia. Hal ini menimbulkan perhatian dunia terhadap ambisi teknologi tinggi Tiongkok, karena banyak orang berpikir bahwa kecerdasan buatan akan menjadi pondasi teknologi komputer di masa mendatang.
Kecerdasan buatan sebagai teknologi baru di masa depan telah menarik para perusahaan raksasa dunia di bidang teknologi untuk berinvestasi dalam penelitian dan pengembangannya.
Namun, tidak mudah untuk membentuk teknologi kecerdasan buatan berdasarkan penelitian dan pengembangan independen, dan ada tantangan besar terhadap kekuatan teknis pabrikan.
Dalam hal perangkat keras, kecerdasan buatan perlu bergantung pada chip AI, tetapi tidak banyak produsen yang saat ini memiliki kemampuan untuk mengembangkan chip AI sendiri. perusahaan-perusahaan AS peringkat pertama produsen chip Nvidia, sedangkan 7 dari 10 perusahaan pembuat chip juga berada di AS. Huawei berada di peringkat No 12.
Jika Tiongkok ingin memimpin dalam teknologi AI, hal pertama dan terpenting adalah memiliki teknologi R & D independen untuk chip. Namun, selain produk chip ‘Hanxin 1’ yang telah menipu dunia dengan mengaku chip hasil pengembangan sendiri, kualitas chip buatan dalam negeri Tiongkok tidak sebanding dengan produk impor.
Dunia luar percaya bahwa orang Tionghoa sangat pintar, tetapi sistem yang berlaku di Tiongkok menghalangi penelitian dan pengembangan termasuk inovasi, dengan demikian efek mempromosikan penelitian dan pengembangan kecerdasan buatan akan sangat berkurang.
Bagaimana tidak, karena pemerintah tidak dapat memperoleh inovasi dengan membayarnya, itu hanya akan menyebabkan lebih banyak korupsi dan birokrasi. Ada banyak hambatan bagi pemerintah Tiongkok untuk mencapai tujuan ambisius kecerdasan buatan, karena sumber inovasi adalah memiliki orang-orang yang memiliki ide berbeda, berani mengambil risiko, dan menantang otoritas. Orang dengan tipe begini bisa ditekan pemerintah.
Gedung Putih pada 7 Mei menyatakan bahwa Liu He akan berkunjung ke Washington untuk melanjutkan negosiasi. Tampaknya, permainan masih harus dilanjutkan dalam situasi yang tidak mudah. (Sinatra/asr)