Epochtimes.id- Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) lahir dari semangat perjuangan keluarga korban penghilangan paksa. Bagi KontraS, Kejahatan penghilangan paksa adalah sebuah praktik sahih sebuah rezim otoritarianisme untuk melanggengkan hegemoni kekuasaan dengan jalan membungkam suara-suara sumbang di luar kekuasaan yang mengancam dengan jalan melakukan penculikan, penahanan, penyiksaan bahkan pembunuhan.
Koordinator KontraS, Yati Andriyani mengatakan pada pekan terakhir bulan Mei, dunia internasional memperingati Pekan Penghilangan Paksa Internasional (International Week of The Disappeared).
Menurut Yati, pekan penghilangan paksa ini dimulai karena protes secara lokal yang terjadi di Argentina dan diinisiasi oleh Latin American Federation of Associations of Relatives of Disappeared-Detainees (FEDEFAM) yang terjadi lebih dari tiga dekade yang lampau. Protes ini berangsur menjadi sebuah gerakan global karena menimbang bahwa praktek penghilangan paksa menjadi sebuah wabah dunia.
“Di Indonesia, praktek keji ini juga menghiasi sejarah berbangsa dan bernegara kita. Praktek penghilangan paksa mulai timbul semenjak kekuasaan orde baru bercokol menggantikan pemerintahan Soekarno,” tulisnya dalam rilis KontraS, (26/05/2018).
Berdasarkan data KontraS, praktek penghilangan paksa di Indonesia terjadi pada dua pembabakan. Babak pertama terjadi selama pemerintahan orde baru mulai dari tahun 1965 (peristiwa pembantaian massal PKI dan pendukung Soekarno yang di PKI-kan), 1984 (Tanjung Priok), 1989 (Talangsari, Lampung), okupasi di Timor Timur, Peristiwa sepanjang tahun 1997-1998 (Penculikan aktivis pro-demokrasi). Babak yang kedua terjadi selama orde reformasi yakni pemberlakuan Daerah Operasi Militer di Aceh dan Papua.
Negara dalam kasus penghilangan paksa ini masih terkesan menutup sebelah mata. Alih-alih untuk menemukan orang-orang hilang tersebut dengan melakukan pembentukan Tim Pencari Orang Hilang yang selama ini didesak oleh korban dan keluarga korban, untuk memberikan suatu jaminan ketidakberulangan (Non-Repetition) saja, negara tidak mampu dan terkesan tidak mempunyai komitmen.
Jaminan ketidakberulangan melalui sebuah norma hukum yang konstitusional masih menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi Pemerintah Indonesia, hal ini dibuktikan dengan belum dilakukannya ratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang terhadap Kejahatan Penghilangan Paksa (International Convention on Protection of All Peoples from Enforced Disappearances, selanjutnya disebut Konvensi). Padahal pada tahun 2010, Indonesia telah melakukan penandatanganan Konvensi.
Sebuah aturan hukum yang secara jelas dan spesifik mengatur mengenai kejahatan penghilangan paksa mutlak diperlukan mengingat kejadian serupa masih bisa terjadi di tengah tindakan represifitas aparat keamanan dalam konteks penanggulangan terorisme dan perang terhadap gembong narkoba. Karena secara definitif kejahatan penghilangan paksa adalah sebuah alat teror negara melalui aparatur keamanan dan dilakukan di luar proses hukum, baik secara prosedural maupun esensial.
Pentingnya ratifikasi Konvensi ini karena kejahatan penghilangan paksa termasuk klasifikasi kejahatan yang terus berlanjut sebelum korban ditemukan (Continous Crime) sehingga hal ini bisa menjadi sebuah langkah antisipasi agar peristiwa-peristiwa serupa seperti yang pernah terjadi di Indonesia tidak berulang lagi. Negara juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan adanya instrumen hukum yang dapat mencegah atau menindak kejahatan penghilangan paksa.
Oleh karena itu, KontraS mendesak Presiden untuk:
1. Menjalankan secara menyeluruh Rekomendasi Pansus Orang Hilang yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia Tahun 2009, yang merekomendasikan Presiden untuk: 1) Membentuk Pengadilan HAM ad hoc; 2) Melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang; 3) Memberikan rehabilitasi dan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang; 4) Melakukan ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.
2.Mempercepat proses pembahasan ratifikasi Konvensi yang telah dimasukkan dalam Perpres 38/2018 Tentang Perubahan Atas Perpres 75/2015 Tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM), sehingga terdapat aturan hukum yang jelas mengatur mengenai kejahatan penghilangan paksa di Indonesia. (asr)