Epochtimes.id- Sejumlah pejabat senior militer Myanmar, termasuk para komandan dari dinas pertahanan dan militer, harus menghadapi pengadilan atas kejahatan terhadap kemanusiaan atas perlakuan terhadap minoritas Rohingya seperti dilaporkan Amnesty International.
Amnesti menyerukan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk merujuk temuan laporan tersebut ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dan menerapkan “embargo senjata komprehensif” dan sanksi keuangan terhadap pejabat senior militer Myanmar.
Dihubungi pada Selasa, baik delegasi Rusia untuk PBB, saat ini memimpin Dewan Keamanan PBB, maupun Utusan PBB untuk Myanmar tersedia untuk dikomentari.
Seorang juru bicara pemerintah Myanmar tak bisa dimintai komentar oleh Reuters atas kabar ini.
Sekitar 700.000 Muslim Rohingya sebagian besar telah melarikan diri ke Bangladesh. PBB dalam laporannya menyebut “contoh catatan pembersihan etnis.”
Laporan khusus Reuters yang terpisah pada Selasa lalu memberikan laporan secara komprehensif tentang peran yang dimainkan oleh dua divisi infantri ringan dalam serangan terhadap Rohingya.
Amnesti, yang memulai penyelidikannya pada September, mengatakan dalam laporannya bahwa “operasi yang dipimpin militer … serangkaian kampanye yang dirancang untuk pembunuhan, perkosaan, penyiksaan, dan penghancuran yang bertujuan untuk menghukum penduduk Rohingya di Negara Bagian Rakhine utara dan mengusir mereka keluar dari negara.”
Laporan ini dikaitkan dengan nama Jenderal Senior Min Aung Hlaing, komandan Pertahanan Myanmar, dan wakilnya dan komandan tentara, Wakil Jenderal Senior Soe Win, dan komandan unit tertentu yang “melakukan banyak kekejaman terburuk.”
Laporan tersebut menyebutkan delapan anggota militer lainnya dan tiga anggota Polisi Penjaga Perbatasan.
Amnesty mengatakan orang-orang ini harus menghadapi keadilan “untuk tanggung jawab komando mereka, tanggung jawab langsung mereka, atau keduanya.”
Seorang juru bicara militer Myanmar tidak bisa dimintai komentar.
Di Myanmar, Rohingya secara luas disebut “Bengali,” yang mereka anggap sebagai istilah menghina yang menyiratkan bahwa mereka adalah imigran gelap dari Bangladesh.
Meskipun banyak orang Rohingya yang mana asal-usul mereka di Myanmar telah berlangsung selama beberapa generasi, mereka tetap ditolak kewarganegaraannya.
Amnesti meminta Myanmar untuk menghentikan pembatasan kebebasan dan mengembalikan kewarganegaraan kepada Rohingya.
Pada Februari lalu, Reuters melaporkan pembunuhan 10 pria dan anak-anak Rohingya oleh Rakhine lainnya dan pasukan keamanan di desa Inn Din.
Dua wartawan Reuters dipenjarakan pada Desember di Myanmar saat melaporkan cerita itu dan tetap di penjara di Yangon, menghadapi hukuman 14 tahun penjara karena diduga melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi Myanmar.
Myanmar telah menolak sebagian besar tuduhan kesalahan. Myanmar mengatakan pihaknya melancarkan operasi kontra-pemberontakan yang sah setelah serangan terhadap militer oleh militan Rohingya Agustus lalu.
Di Myanmar tidak ada pengawasan sipil terhadap keadilan militer.
Pengadilan Kriminal Internasional, pengadilan kejahatan perang secara permanen pertama di dunia, tidak memiliki yurisdiksi atas Myanmar karena bukan sebagai negara anggota.
Namun, ICC telah diminta untuk mempertimbangkan kasus terpisah yang berurusan dengan Myanmar karena diduga mendeportasi Rohingya ke Bangladesh, yang merupakan negara anggota ICC.
ICC tidak segera menanggapi permintaan komentar di luar jam kerja di Den Haag. (asr)