Propaganda Tiongkok di Balik Film ‘Dying to Survive’ Menjadi Bumerang

EtIndonesia. Rezim Tiongkok mempertahankan kontrol ketat atas film-film apa, impor Hollywood maupun domestik, yang diizinkan untuk diputar di bioskop-bioskop Tiongkok. Studio-studio Barat telah diminta untuk memotong adegan-adegan yang menggambarkan Tiongkok “tidak baik.” Film-film domestik sering dicabut karena memiliki konten “sensitif.”

Jadi tidak biasa ketika sebuah film yang diproduksi di dalam negeri memaparkan masalah sosial yang sudah lama berjalan di Tiongkok yang dapat diputar secara nasional, dan bahkan menjadi hit box-office.

Film “Dying to Survive,” yang dibuka di bioskop pada 5 Juli, didasarkan pada kisah nyata Lu Yong, seorang pedagang tekstil yang didiagnosis menderita leukemia. Terbebani dengan biaya membeli Gleevec, obat kanker yang diproduksi oleh perusahaan obat Swiss Novartis yang tidak termasuk dalam daftar obat yang ditanggung oleh asuransi kesehatan nasional Tiongkok pada saat itu, Yong mulai mencari pengganti generik di India. Dia kemudian mulai menyelundupkan obat-obatan dan menjualnya dengan harga terjangkau untuk setidaknya 1.000 pasien leukemia lainnya.

Pada 15 Juli, film tersebut telah mengumpulkan 2,407 miliar yuan (sekitar $359,9 juta) dalam pendapatan box office, menjadikannya film terlaris ketiga tertinggi di Tiongkok pada 2018, melampaui hit Hollywood “Avengers: Infinity War,” menurut portal berita Tiongkok, Sohu.

Dalam salah satu adegan paling mengesankan dari film tersebut, seorang wanita lansia dengan leukemia mengatakan: “40.000 yuan (sekitar $5.980) per botol. Saya telah sakit selama tiga tahun dan meminum obat itu selama tiga tahun. Untuk membeli obat itu, saya telah menjual rumah saya. Saya juga telah menyeret keluarga saya dalam kejatuhan.

“Saya tidak ingin mati. Saya pikir saya ingin hidup.”

Pada tahun 2014, Lu ditahan dan didakwa dengan tuduhan “menjual obat palsu,” atau obat-obatan generik yang tidak disetujui oleh otoritas Tiongkok, dianggap palsu berdasarkan hukum Tiongkok. Sementara Lu ditahan, lebih dari 300 penderita leukemia mengajukan petisi untuk pembebasannya, menurut China.org.cn, layanan berita online yang dikelola negara yang berbasis di Beijing.

Pada April 2015, setelah menghabiskan 119 hari dalam tahanan, Lu dibebaskan setelah jaksa di Kota Yuanjiang di Provinsi Hunan Tiongkok selatan, menyimpulkan bahwa secara teknis dia adalah pembeli atas nama pasien lain dan bukan penjual obat-obatan, menurut harian Legal Daily yang dikelola negara. Jaksa mencabut semua tuduhan.

Propaganda di Tengah Perang Dagang

Li Yuan, mantan pejabat tinggi yang bekerja untuk sebuah organisasi yang berafiliasi dengan Yayasan Palang Merah Tiongkok, mengatakan di Radio Free Asia (RFA) bahwa rilis film tersebut adalah taktik oleh rezim Tiongkok untuk menghasut kebencian melawan negara-negara asing, menyalahkan perusahaan-perusahaan farmasi asing untuk label harga tinggi pada obat yang menyelamatkan jiwa. Sementara Tiongkok sedang berada di tengah-tengah perang dagang dengan Amerika Serikat, propaganda tersebut dapat mempengaruhi opini orang-orang Tiongkok untuk mendukung sikap perdagangan negara tersebut.

Pada tanggal 1 Mei, Tiongkok mengumumkan bahwa mereka akan membebaskan tarif impor untuk 28 obat impor asing, di tengah meningkatnya tekanan dari Amerika Serikat untuk Tiongkok membuka pasarnya. Li mengatakan, pengumuman itu juga berfungsi sebagai propaganda bahwa rezim Tiongkok akan mengurangi beban para warga.

Namun harga dari 28 obat yang diimpor tersebut tidak turun setelah tarif itu dibatalkan, menurut Beijing News yang dikelola pemerintah, dalam sebuah laporan pada 11 Juni. Beijing News menyimpulkan bahwa penurunan harga tersebut terhenti oleh lembaga pemerintah yang gagal bertindak dengan segera.

Sistem perawatan kesehatan milik Tiongkok sendiri menambahkan biaya-biaya tambahan pada obat impor yang sudah mahal tersebut. Pada September 2013, ketika berbicara di sebuah forum kesehatan, Guo Jianying, seorang wakil penyelidik di biro harga Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (NDRC), mengatakan bahwa label harga akhir pada obat impor biasanya membawa tambahan 17 persen pajak PPN, 15 persen dalam biaya rumah sakit, dan 20 persen dalam biaya transportasi, menurut People’s Net, situs berita yang dikelola negara.

Rumah sakit yang dikelola negara adalah saluran utama bagi orang-orang untuk membeli obat-obatan. Sekitar 75 persen penjualan eceran semua obat terjadi dalam sistem perawatan kesehatan nasional Tiongkok, kata Zhu Hengpeng, wakil kepala Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial Tiongkok Akademi, menurut laporan 15 Juli di portal berita Tencent. Dengan demikian, monopoli seputar rumah sakit mengenai penjualan obat telah memicu harga-harga obat. Rumah sakit kemudian di dalam posisinya untuk meningkatkan pendapatan dengan cara meresepkan obat-obatan asing dan buatan dalam negeri yang mahal untuk pasien, daripada mengganti obat generik yang lebih murah.

RFA, mengutip seorang pengusaha farmasi yang tidak disebutkan namanya, melaporkan pada 9 Juli bahwa korupsi, seperti rumah sakit mendapatkan suap dari perusahaan-perusahaan farmasi Tiongkok, juga menaikkan harga-harga obat.

Kini setelah ada perhatian tak terduga pada sistem kesehatan nasional Tiongkok setelah “Dying to Survive” menjadi pukulan besar, pihak berwenang Tiongkok ingin meredam desas-desus yang dihasilkan oleh film tersebut, kata Li.

Pada 8 Juli, departemen propaganda Tiongkok memberi media Tiongkok instruksi lisan yang melarang wawancara, laporan, komentar, atau pengeposan ulang artikel-artikel tentang film tersebut.

Masalah-masalah di Tiongkok

Tiongkok sendiri merupakan produsen utama obat generik. Menurut laporan 13 April oleh harian corong negara, People’s Daily, 95 persen dari sekitar 170.000 obat yang telah mendapatkan persetujuan negara untuk manufaktur adalah obat-obat generik.

Namun, obat generik domestik terkenal karena kualitasnya yang buruk. Meskipun mereka dilindungi oleh asuransi kesehatan nasional Tiongkok, kebanyakan warga berhati-hati untuk mengonsumsinya. Beberapa obat generik diproduksi oleh pabrik-pabrik bawah tanah yang tidak diawasi, menurut laporan 6 Juli oleh pemerintah Xinhua yang dikelola negara.

Pada Oktober 2015, media Tiongkok secara luas telah melaporkan kasus Sun Helin, seorang pekerja migran dari Provinsi Shandong, Tiongkok timur yang tinggal di Beijing dan menderita diabetes. Sun beralih dari tablet-tablet merek domestik metformin hydrochloride enteric, obat yang dirancang untuk menurunkan kadar gula darah, beralih ke merek domestik kedua. Sesudahnya, kadar gula darah Sun meningkat dan dia kesulitan bernapas.

Kasus Sun telah mengungkapkan masalah di Tiongkok, obat-obat generik yang diproduksi oleh perusahaan Tiongkok yang berbeda tetapi dengan nama medis yang sama memiliki tingkat efektivitas dan efek samping yang berbeda.

India

Rezim Tiongkok ingin warga membeli obat-obatan domestik, meskipun ada persaingan dari India, pemasok obat generik terbesar di dunia. Dari April 2017 hingga Maret 2018, India mengekspor obat generik senilai $17,3 milyar. Namun, hanya 1 persen yang masuk ke Tiongkok, menurut situs web farmasi FiercePharma. Ini karena pembatasan perdagangan Tiongkok yang mencegah impor-impor India memasuki pasar tersebut.

Tidak diketahui secara pasti berapa banyak pasien Tiongkok telah menghabiskan uangnya setiap tahun untuk obat generik dari India, tetapi permintaan yang kuat, seperti yang tercermin dalam film baru tersebut, telah menghasilkan ekonomi yang unik: agen-agen perjalanan Tiongkok secara teratur mengatur perjalanan ke India bagi warga Tiongkok untuk membeli obat-obatan di sana, menurut laporan Mei 2016 oleh Voice of America.

Baru-baru ini, rezim Tiongkok tampaknya telah menempatkan rintangan tambahan yang mencegah warga Tiongkok membeli obat-obatan buatan India, menurut laporan 12 Juli oleh RFA.

Ren Ruihong, mantan wakil direktur Yayasan Palang Merah Tiongkok, mengatakan bahwa pihak berwenang Tiongkok baru-baru ini telah memasukkan ke daftar terlarang (blacklist) rekening-rekening bank India milik beberapa perusahaan farmasi India, untuk mencegah para pasien Tiongkok mengirim (transfer) uang guna membeli obat-obat generik.

Selain itu, kiriman-kiriman obat dari India ke Tiongkok telah ditunda karena agen-agen pabean India menahan paket-paket yang tidak memiliki catatan pengiriman dan informasi pribadi dari para pembeli Tiongkok.

Menariknya, gangguan rezim Tiongkok tersebut bertepatan dengan berita bahwa Tiongkok berencana untuk mempercepat persetujuan pengaturan untuk lebih banyak perusahaan farmasi India mengekspor ke Tiongkok. Negara tersebut sedang mencari mitra komersial baru untuk mengimbangi kerugian dari perang dagang yang berlarut-larut dengan Amerika Serikat, menurut laporan 12 Juli oleh Reuters. (ran)

ErabaruNews