oleh Guo Yaorong
Media Jepang ‘Nihon Keizai Shimbun’ menyebutkan bahwa, tingkat utang 6 negara Asia Tenggara yakni Laos, Malaysia, Kamboja, Vietnam, Thailand dan Indonesia sudah mencapai di atas tingkat rata-rata utang negara-negara berkembang.
Diduga peningkatan tersebut dipicuĀ oleh keterlibatan negara-negara tersebut dalam proyek-proyek inisiatif Satu Sabuk Satu Jalur (OBOR) Tiongkok.
Data pada lembaga penelitian Bank Dunia, FT Confidential Research (FTCR) menunjukkan bahwa beban rasio utang luar negeri Laos sudah mencapai 93.1% dari pendapatan nasional bruto (GNI), jauh melebihi tingkat rata-rata dari negara berkembang yang 26%. Diikuti oleh Malaysia 69,6%, dan Kamboja 54,4%, sedangkan Vietnam, Thailand dan Indonesia juga memiliku jumlah utang luar negeri yang tinggi.
Laporan menyebutkan bahwa utang luar negeri Laos naik sampai jutaan dolar AS karena menerima proyek OBOR yang ditawarkan oleh Tiongkok. Proyek tersebut termasuk pembangunan jalur kereta api cepat antara ibukota Laos Vientiane ke kota Kunming, Yunnan yang jumlahnya mencapai USD. 5.8 miliar.
Sumber daya yang dikonsumsi untuk proyek tersebut setara dengan 40% dari produk domestik bruto (PDB) negara Laos. Dan karena dua-pertiga dari utang Laos diperhitungkan dengan mata uang asing, devaluasi mata uang Kip menjadi ancaman terbesar utang negara. Meskipun Dana Moneter Internasional (IMF) telah memperingatkan hal ini, tetapi pemerintah Laos kurang menanggapinya.
Sementara untuk Malaysia, Perdana Menteri Malaysia yang baru Mahathir telah menginstruksikan negosiasi ulang 4 proyek infrastruktur terkait OBOR yang disetujui oleh mantan Perdana Menteri Najib, termasuk proyek konstruksi kereta api yang menghubungkan Port Klang, pelabuhan terbesar di Malaysia.
Artikel menunjukkan bahwa negara-negara Asia Tenggara mulai memperhatikan hal-hal yang dialami oleh negara Asia Selatan setelah bergabung dalam proyek OBOR.
Contohnya, pemerintah Sri Lanka terpaksa menyerahkan hak kendali selama 99 tahun atas pelabuhan Hambanthota beserta sebagian besar luas kawasan pelabuhan kepada Beijing karena kegagalan dalam melunasi utang dari proyek OBOR.
Laporan FTCR menunjukkan, selama 5 tahun terakhir, keenam negara Asia Tenggara yang terus mengumpuikan utang luar negeri, terutama Kamboja, Laos dan Vietnam, pinjaman luar negeri mereka sekarang sudah mencapai 142% dari PDB, Merupakan negara yang paling cepat dalam pertumbuhan utang luar negeri di kawasan tersebut.
Menurut data IMF, Tiongkok adalah negara kreditur terbesar bagi Kamboja dan Laos. 70 % dari total pinjaman luar negeri Kamboja berasal dari Tiongkok.
Rasio utang luar negeri terhadap ekspor merupakan indikator penilaian Bank Dunia terhadap solvabilitas suatu negara. Laporan tersebut menunjukkan bahwa Laos, Malaysia, dan Indonesia menghadapi risiko yang lebih tinggi daripada Kamboja.
Pada tahun 2016, rasio utang luar negeri Laos terhadap ekspor adalah sebesar 327,9%, dan Indonesia sebesar 184,2%, jauh lebih tinggi daripada rata-rata negara berpenghasilan rendah dan menengah yang jumlahnya sebesar 107%.
Rasio utang luar Malaysia banding ekspornya adalah 94,5%. meskipun demikian, tapi Menteri Keuangan Malaysia yang baru Lim Guan Eng baru-baru ini mengungkapkan bahwa total utang luar negeri Malaysia hampir 60% lebih tinggi dari statistik pemerintah sebelumnya. Oleh karena itu, rasio utang luar negeri terhadap ekspor yang disebutkan sebelumnya mungkin dapat berubah. (Sin/asr)