oleh Qin Yufei
Ketika AS mulai memberlakukan tarif sebesar USD. 50 miliar atas barang-barang impor dari Tiongkok, dan tambahan USD. 200 miliar yang sedang dipersiapkan, para produsen mulai mengubah rantai pasokan mereka.
Perusahaan asing yang berlokasi di Tiongkok sedang mempercepat pemindahan usaha mereka ke negara Asia Tenggara yang biaya produksinya relatif lebih rendah dan bahkan pindah ke Amerika Serikat.
“Sehubungan dengan perang tarif, perusahaan-perusahaan asing di Tiongkok sudah tidak lagi tertarik untuk bertahan di sana” kata Nathan Resnick, CEO & Co founder Sourcity, perusahaan yang berpusat di San Diego kepada Forbes.
Nathan Resnick mengatakan : “Kami saat ini memiliki jalur produksi di India, Bangladesh, Vietnam, Filipina, dan Meksiko. Di luar Tiongkok biaya tenaga kerja sebenarnya lebih murah, contoh seperti garmen ini banyak pekerjaan potong-memotong dan jahit menjahit, sehingga banyak perusahaan memilih angkat kaki dari Tiongkok.”
“Selama bertahun-tahun saya mondar-mandir ke Tiongkok. Di sana (biaya produksi) menjadi lebih mahal. Dengan adanya kenaikan tarif, mengapa tidak berproduksi di tempat lain ? Perusahaan-perusahaan itu mengatakan bahwa ketakutan terhadap naiknya tarif makin mengurangi minat mereka untuk meneruskan produksi di Tiongkok.”
Sourcify adalah sebuah perusahaan kecil. Kerry Logistics adalah perusahaan terdaftar yang beroperasi di Hong Kong. The South China Morning Post melaporkan bahwa Kerry telah mengalihkan keluar beberapa jalur produksinya dari Tiongkok daratan ke negara-negara Asia lainnya untuk menghindari tarif.
“Pada awal bulan Maret, pelanggan kami telah memindahkan-keluarkan beberapa jalur produksi mereka ke negara-negara Asia lainnya di mana mereka sudah memiliki pabrik,” kata Presiden Kerry Group, Ma Rongkai kepada media Hongkong, “Ini adalah penyusunan baru dari basis produksi global.”
Dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok sedang beralih ke jalur perakitan otomatis, karena itu mereka tidak lagi menyambut manufaktur yang berbiaya rendah, usaha bidang tersebut dipersilahkan untuk hengkang ke negara lain seperti Vietnam dan lainnya.
Tiongkok sedang berusaha menjadi negara terbesar dalam perakitan lini dengan menggunakan robot. Dengan adanya peningkatan nilai rantai produksi, industri lama seperti garmen akan terdesak untuk meninggalkan Tiongkok.
Sekarang dengan adanya kenaikan tarif, perusahaan semakin mempercepat langkah hengkang.
Ekonom Asia-Pasifik IHS Markit, Rajiv Biswas mengatakan dari daftar tarif senilai USD. 200 miliar untuk Tiongkok itu dapat diduga bahwa produk-produk kunci Tiongkok termasuk elektronik, tekstil, produk logam, suku cadang mobil yang diekspor ke AS itu yang menjadi target pengenaan pajak oleh Washington.
“Sekitar setengah dari produk ekspor Tiongkok ke Amerika Serikat akan terkena tarif hukuman AS” kata Biswas dalam laporan penelitian, “Dibandingkan dengan pasar negara berkembang lainnya (seperti Vietnam, Korea Selatan, Thailand, Bangladesh, Meksiko dan Brasil), sektor ekspor Tiongkok akan menderita dampak paling parah.”
Dalam wawancara baru-baru ini, mantan penasihat Trump, Steve Bannon mengatakan bahwa kebijakan nasionalis Gedung Putih pada akhirnya akan membentuk kembali rantai pasokan global sehingga lebih kondusif untuk sektor manufaktur AS.
Liu Shaoxuan, dekan Ningbo Supply Chain Innovation Institute China kepada media Wall Street Journal mengatakan, salah satu efek jangka panjang dari pengenaan tarif tambahan AS mungkin adalah untuk mempercepat kembalinya industri manufaktur tertentu dari pasar negara berkembang ke AS atau negara maju lainnya.
Perusahaan manufaktur Tiongkok sudah menghadapi tekanan dari meningkatnya biaya tenaga kerja. Tarif AS akan mendorong kenaikan biaya. “Tarif ini pasti akan mengubah banyak hal”, kata Liu Shaoxuan lebih lanjut.
Perang dagang menjadi ancaman bagi kekuasaan PKT. Partai Komunis berusaha untuk menetapkan legitimasi kekuasaannya melalui keberhasilan dalam menangani ekonomi.
Beberapa pengamat terkenal dan pejabat pemerintah mulai mempertanyakan apakah ekonomi yang melambat dan bergantung pada perdagangan Tiongkok dapat menahan serangan lanjutan dari pemerintah AS. Apalagi kini pasar saham Tiongkok telah mengalami penurunan harga cukup tajam akibat perang dagang. (Sin/asr)