Kuil Shaolin, mungkin biara Buddha Tiongkok yang paling terkenal di dunia dan dilegendakan sebagai tempat kelahiran kung fu, telah diumumkan dalam upacara pengibaran bendera bahwa sekarang menjadi milik Partai Komunis Tiongkok (PKT).
Acara pada 27 Agustus menandai pertama kalinya dalam sejarah 1.500 tahun kuil tersebut secara resmi dinyatakan sebagai sebuah sikap politik. Kuil ini terletak di atas salah satu puncak Gunung Song, gunung keramat, di Kabupaten Dengfeng, Provinsi Henan. Ia memiliki asal-usul waktu yang lebih awal tahun 495 dan telah dinobatkan sebagai situs Warisan Dunia UNESCO.
Selama bertahun-tahun, kuil tersebut telah berubah arah dari tujuan awal Buddha-nya, sekarang dengan usaha komersial untuk memanfaatkan ketenaran kung fu dan Kepala Biara Shi Yongxin menjabat sebagai perwakilan untuk legislatif stempel karet Tiongkok. Hari ini, Kuil Shaolin adalah kerajaan bisnis besar, dengan perusahaan film dan televisi, akademi lukisan, rumah penerbitan, dan rombongan pertunjukan.
Pukul 7 pagi, dua belas biksu berbaris membawa satu bendera merah di bahu mereka, memasuki gerbang gunung kuil untuk tepuk tangan lebih dari 100 penonton, termasuk pejabat-pejabat PKT setempat, biksu-biksu pemimpin, dan murid-murid asing mereka.
Dalam beberapa tahun terakhir, Partai Komunis ateis telah memperketat cengkeraman ideologisnya di atas keyakinan-keyakinan beragama. Pada bulan Maret, rezim telah memulai kampanye untuk memaksa semua tempat keagamaan untuk memasukkan bendera nasional, konstitusi, “nilai-nilai inti sosialis,” dan budaya tradisional Tiongkok. Rejim Tiongkok menyebut kampanye ini “Empat Kunci Masuk.”
Dengan harapan bahwa sesuai dengan kampanye tersebut akan meredakan ketegangan, banyak masjid Islam telah menaikkan bendera nasional sejak Mei.
Untuk memajukan kampanye ini, Departemen Pekerjaan Fron Persatuan PKT, sebuah badan yang didedikasikan untuk mempengaruhi kelompok di dalam dan di luar Tiongkok untuk mendukung agenda partai, telah menyelenggarakan konferensi urusan agama pada bulan Juli.
Partai memutuskan bahwa semua tempat keagamaan harus menaikkan bendera nasional di acara-acara penting, seperti festival keagamaan dan festival tradisional Tiongkok, dan juga pada Hari Nasional, hari libur umum yang memperingati hari dimana PKT telah mengambil alih Tiongkok.
Kuil Shaolin adalah biara Buddha pertama yang menaikkan bendera nasional dalam upacara yang sangat penting, dan Kepala Biara Shi Yongxin menyerukan agar biara-biara lain mengikuti. Shi menjabat sebagai wakil presiden Asosiasi Buddhis Tiongkok yang dikelola negara, sebuah organisasi tempat rezim Tiongkok memantau kegiatan semua praktisi Buddhis di negara tersebut.
Berita upacara bendera tersebut memicu netizen Tiongkok mengkritik kuil karena mencampurkan agama dengan politik.
Laozhou, pengguna Weibo, platform media sosial yang mirip dengan Twitter, menulis: “Jangan percaya pada Buddha, tetapi Marxisme. Jangan membaca kitab suci Buddha tetapi berdoa kepada partai. Sekelompok orang yang berpenampilan palsu.”
Pengguna Weibo lainnya, dikutip oleh South China Morning Post, menulis: “Sang Buddha dan Marx telah berjabat tangan. … Agama Buddha dimaksudkan untuk mengkultivasikan pikiran, tubuh dan jiwa — apa hubungannya dengan politik? Bukankah para biarawan di biara telah meninggalkan kehidupan duniawi? Saya merasa tidak nyaman dan hanya berpikir bahwa menaikkan bendera nasional di kuil sama sekali tidak tepat.”
Dr. Chan Sze Chi, seorang dosen senior di Hong Kong Baptist University mengatakan kepada Radio Free Asia dalam wawancara 28 Agustus bahwa agama Buddha memiliki banyak pengikut di Tiongkok, sehingga rezim pertama kali memaksa Kuil Shaolin untuk mengadopsi sikap seperti itu sebagai sebuah peringatan untuk kuil-kuil yang lain.
“Untuk menemukan contoh dari biara-biara Budha, Kuil Shaolin adalah yang terbaik karena sangat terkenal dan memiliki biksu kung fu sebagai lambangnya. Kuil Shaolin yang paling ambisius berlutut [mengangkat bendera nasional], sehingga yang lain akan mengikuti,” kata Chan. (ran)
ErabaruNews