oleh Xia Xiaoqiang
Dalam parade militer yang diadakan saat upacara peringatan Hari Ulang Tahun ke 70 Korut di Pyongyang pada 9 September, iring-iringan kendaraan yang mengangkut rudal balistik tidak terlihat lagi. Hal ini oleh dunia luar dianggap sebagai upaya Kim Jong-un untuk menunjukkan komitmennya mewujudkan denuklirisasi bersama AS.
Trump pada 24 Agustus lalu telah memutuskan untuk menangguhkan isu denuklirisasi DPRK dengan membatalkan kunjungan Menlu Mike Pompoe ke Pyongyang agar dapat berkonsentrasi pada pemecahan masalah konflik dagang dengan Tiongkok.
Begitu berita tersebut tersebar, Xi Jinping pada dasarnya sudah dapat dipastikan tidak akan hadir pada parade militer DPRK pada 9 September. Benar saja, Li Zhanshu yang diutus untuk berangkat ke Pyangyang menggantikan Xi.
Ada tiga alasan utama mengapa Xi Jinping menangguhkan kunjungan kenegaraan pertamanya ke Korea Utara. Pertama, Trump untuk sementara waktu mengesampingkan masalah nuklir, sehingga isu nuklir Korea Utara yang dijadikan ‘kartu As’ oleh Tiongkok komunis dengan harapan untuk dimainkan di atas meja negosiasi konflik dagang jadi kehilangan fungsinya.
Kedua adalah berita di akun Twitter Trump dengan jelas menunjukkan bahwa intervensi Tiongkok komunis yang menyebabkan progres denuklirisasi Korea Utara tertunda. Kehadiran Xi Jinping di Pyongyang niscaya akan memicu kritikan internasional.
Ketiga, pertikaian politik di tingkat tinggi Partai Komunis Tiongkok sedang meningkat akhir-akhir ini, Gerakan anti-Xi Jinping terjadi terus menerus, masalah internal dan eksternal muncul bersamaan, dalam situasi seperti ini melawat ke luar negeri jelas tidak menguntungkan.
Tahun ini Kim Jong-un telah 3 kali berkunjung ke Beijing, sesuai dengan prinsip timbal balik dalam urusan diplomatik, Xi Jinping menggunakan alasan ikut merayakan hari jadi DPRK untuk berkunjung ke Pyongyang dapat dianggap hal yang wajar.
Jika dinilai dari perspektif ini maka dapat dikatakan bahwa Xi Jinping menangguhkan kunjungan ke DPRK merupakan tindakan yang kurang menghormati atau tidak memberikan muka kepada DPRK.
Dalam situasi Tiongkok komunis sedang menghadapi masalah yang sulit diutarakan, Kim Jong-un kembali memainkan ‘sandiwara’nya dengan menunjukkan sikap ingin berbaik dengan AS. Pada 6 September, kepada delegasi Korea Selatan yang berkunjung ke Pyongyang, Kim Jong-un ‘titip pesan’ untuk dipublikasikan bahwa kepercayaannya kepada Trump tidak pernah berubah. Kim Jong-un berharap dapat mewujudkan denuklirisasi Korea dalam masa jabatan pertama Presiden Trump.
Ini adalah komitmen publik pertama Kim Jong-un berupa jadwal untuk mewujudkan denuklirisasi DPRK sejak KTT di Singapura. Sinyalnya kuat, dapat diasumsikan sebagai pernyataan sikap DPRK dalam isu nuklir, bahwa mereka memilih untuk ‘berdiri di pinggir’.
Meskipun Kim Jong-un telah berulang kali mengambil langkah untuk menghadapi Amerika Serikat, bagaimanapun, sikap melunak Kim Jong-un tersebut menunjukkan bahwa ia ingin secepatnya mengubah situasi yang dihadapi DPRK.
Namun di sisi lain Kim Jong-un juga takut jika bersandar ke AS kemudian berseberangan dengan Tiongkok komunis, bantuan ekonomi dari Tiongkok akan terputus dan menimbulkan bencana.
Hubungan saling memanfaatkan antara RRT – DPRK sudah berlangsung lama. Tiongkok komunis menempatkan Korea Utara sebagai alat untuk melawan dunia Barat dan AS. Korea Utara memperoleh bala bantuan ekonomi sebagai imbalan untuk mempertahankan kekuasaan.
Namun sejak Xi Jinping berkuasa, hubungan kedua negara tersebut sudah tidak seharmonis pemimpin Tiongkok komunis lainnya.
Hubungan hangat baru terjadi tahun ini di mana Kim sampai 3 kali datang ke Beijing. Ini karena kedua belah pihak memang sedang saling membutuhkan. Tiongkok komunis butuh Korea Utara sebagai ‘kartu AS’, sedangkan Korea Utara butuh bantuan ekonomi.
Namun, Trump telah benar-benar melihat dengan jelas inti dari isu nuklir DPRK, dan memainkan ‘kartu penangkal’ untuk melumpuhkan ‘kartu As’ Tiongkok komunis. Trump tahu bahwa alasan mendasar mengapa isu nuklir DPRK tidak dapat diselesaikan secara efektif, itu karena adanya campur tangan Tiongkok komunis. itulah sebabnya Trump memprioritaskan penanganan konflik perdagangan dan menangguhkan urusan denuklirisasi.
Dalam situasi ini, masalah nuklir Korea Utara akan sangat terpengaruh oleh tren perkembangan atau hasil dari penyelesaian konflik dagang Tiongkok – AS. Sebelum ada kejelasan mengenai penyelesaian konflik dagang, penyelesaian isu denuklirisasi akan diperlambat.
Sulit diharapkan untuk mencapai kemajuan yang berarti. Namun, setidaknya ‘kartu As’ yang dimiliki Tiongkok komunis sudah tidak dapat digunakan lagi. (Sin/asr)