BEIJING — Bangsa Turk, sebagian besar Muslim Uighur di wilayah Xinjiang Tiongkok menghadapi penahanan sewenang-wenang, pelarangan setiap harinya untuk menjalankan keagamaan, dan “indoktrinasi politik secara paksa” dalam tindakan keras keamanan secara massal, Human Rights Watch mengatakan pada 10 September.
Panel hak asasi manusia PBB mengatakan pada Agustus bahwa Tiongkok diyakini telah menahan hingga 1 juta etnis Uighur dalam sistem rahasia “kamp-kamp pengasingan” di Xinjiang, di ujung barat Tiongkok, tempat mereka menjalani pendidikan politik.
Rezim Tiongkok telah menggunakan alasan potensi ancaman Islam tersembunyi dan kerusuhan etnis untuk menindak penduduk lokal di Xinjiang.
Orang-orang Uighur dan Muslim lainnya yang ditahan di fasilitas-fasilitas seperti kamp konsentrasi, yang dikenal sebagai pusat “pendidikan ulang”, dilarang menggunakan sapaan-sapaan dalam Bahasa Islam, harus belajar bahasa Mandarin, dan menyanyikan lagu-lagu propaganda, menurut laporan Human Rights Watch berdasarkan wawancara dengan lima mantan tahanan kamp.
Orang-orang di Xinjiang dengan kerabat yang tinggal di luar negeri di salah satu dari 26 “negara sensitif,” termasuk Kazakhstan, Turki, dan Indonesia, telah menjadi sasaran oleh pihak berwenang dan sering ditahan selama beberapa bulan, tanpa prosedur formal, kata kelompok tersebut.
Hukuman-hukumn karena menolak mengikuti instruksi-instruksi di kamp tersebut bisa berarti tidak diberi makan, dipaksa berdiri selama 24 jam, atau bahkan kurungan tersendiri, katanya.
Kondisi keamanan di Xinjiang di luar kamp juga telah meningkat tajam dan sekarang memiliki “kemiripan yang luar biasa dengan orang-orang yang di dalam,” kata peneliti Human Rights Watch yang berbasis di Hong Kong Maya Wang, berdasarkan wawancara dengan 58 mantan penduduk Xinjiang yang sekarang tinggal di luar negeri.
Wang dan timnya hanya berbicara dengan orang-orang yang meninggalkan Xinjiang karena kurangnya akses ke wilayah tersebut dan untuk menghindari membahayakan mereka yang masih tinggal di sana.
Langkah-langkah keamanan baru yang dideskripsikan oleh orang yang diwawancarai tersebut termasuk pengawasan yang semakin berkembang dengan memanfaatkan teknologi pengenalan wajah dan sistem pemantauan pengawasan yang canggih, seperti setiap rumah memiliki kode QR yang, ketika dipindai, menunjukkan kepada pihak berwenang siapa penghuni yang telah ditandai tersebut.
Pemantauan terhadap praktik-praktik agama Islam, seperti bertanya kepada orang-orang seberapa sering mereka berdoa dan datang ke masjid, serta kunjungan-kunjungan rutin oleh para pejabat Partai Komunis Tiongkok ke daerah pedesaan Xinjiang, berarti bahwa menjalankan Islam “secara berhasil telah dilarang,” kata Wang. (ran)