Puluhan ribu demonstran di Sri Lanka baru-baru ini turun ke jalan, dipimpin oleh mantan presiden Mahinda Rajapaksa, untuk memprotes pemerintah karena menyewakan pelabuhan penting pada Tiongkok untuk melunasi utangnya yang sangat besar.
Voice of America (VOA) melaporkan pada 6 September bahwa banyak protes anti pemerintah skala besar terjadi di jalan-jalan Kolombo, ibukota Sri Lanka. Mereka memprotes korupsi pemerintah dan keputusannya untuk menyewakan pelabuhan Hambantota ke Tiongkok, serta menuntut pemerintah untuk mundur.
Para pengunjuk rasa memblokir beberapa jalan utama di ibukota pada 5 September, menutup sekolah-sekolah dan bisnis terdekat.
Pelabuhan laut dalam Hambantota di Sri Lanka selatan, yang dibiayai dan dibangun oleh Tiongkok, telah dibuka untuk digunakan pada Juni 2012. Tiongkok juga menciptakan zona ekonomi 15.000 hektar di sekitar pelabuhan tersebut. Inisiatif ini adalah bagian dari inisiatif One Belt, One Road (OBOR) Beijing, juga dikenal sebagai Belt and Road, sebuah rencana untuk meningkatkan pengaruh geopolitik melalui pembangunan proyek-proyek infrastruktur di Asia, Eropa, Afrika, dan sebagian Amerika Latin.
Pada bulan Desember 2017, pemerintah Sri Lanka setuju untuk menyerahkan seluruh Pelabuhan Hambantota, kepada Partai Komunis Tiongkok (PKT) untuk sewa 99 tahun, dalam rencana untuk mengubah pinjaman yang terutang sebesar $1,4 miliar menjadi ekuitas. Memberikan kepemilikan pelabuhan tersebut pada Beijing memungkinkan rezim PKT mendapatkan pijakan kunci di Samudra Hindia.
Sejak PKT memulai OBOR pada tahun 2013, hampir 70 negara telah sepakat untuk melakukan kesepakatan dengan Beijing.
Namun untuk membuat lebih besar, OBOR telah menuai keraguan dan kekhawatiran di komunitas internasional, dan perlawanan yang kuat dari warga di negara-negara yang telah berpartisipasi.
Pada bulan April, sebanyak 27 dari 28 duta besar Uni Eropa ke Tiongkok bersama-sama mengeluarkan laporan yang mengecam proyek-proyek OBOR milik PKT sebagai penghalang untuk perdagangan bebas dan untuk “memecah-belah Eropa,” menurut laporan oleh media yang berbasis di Jerman Handelsblatt. Duta Besar Hongaria tidak menandatangani laporan tersebut.
Sebuah laporan Juli di The Financial Times telah mengutip penelitian dari perusahaan konsultan yang berbasis di Washington, RWR Advisory Group, mengungkapkan bahwa dari 1.674 proyek infrastruktur yang diumumkan oleh PKT di 66 negara yang berpartisipasi dalam OBOR, sekitar 14 persen atau 234 dari 1.674, telah mengalami masalah yang disebabkan oleh administrasi yang buruk, seperti penentangan publik terhadap proyek-proyek, keberatan atas kebijakan-kebijakan tenaga kerja, penundaan pelaksanaan, dan kekhawatiran atas keamanan nasional.
Baru-baru ini, organisasi internasional seperti Dana Moneter Internasional dan beberapa pemerintah juga telah memperingatkan bahwa OBOR dapat menyebabkan beberapa negara menanggung banyak utang.
Sebuah laporan yang diterbitkan pada Mei 2018 oleh Harvard Kennedy School telah mengkritik PKT dalam memberikan pinjaman-pinjaman strategis kepada negara-negara miskin melalui OBOR dan mempromosikan “diplomasi uang” di 16 negara, termasuk Sri Lanka. Seringkali, proyek-proyek itu melayani keinginan Beijing untuk memperoleh sumber daya strategis dan memperluas pengaruh politik di kawasan Asia-Pasifik, menurut laporan tersebut. (ran)