oleh Xu Zhenqi
Jika konflik perdagangan antara Tiongkok dengan Amerika Serikat terus berlanjut, Amerika Serikat menerapkan lagi kenaikan tarif 25 % untuk komoditas impor dari Tiongkok senilai USD. 200 miliar. Dampaknya, Tiongkok akan kehilangan sekitar 700.000 kesempatan kerja. Jika tarif diberlakukan untuk hampir seluruh komoditas asal Tiongkok yang diekspor ke Amerika Serikat, maka Tiongkok akan kehilangan 5.5 juta kesempatan kerja.
CNBC mengutip laporan penelitian ekonom JP Morgan Chase & Co. pada 11 September memberitakan bahwa, jika AS menerapkan kenaikan tarif 25 % terhadap komoditas impor dari Tiongkok senilai USD. 200 miliar, Tiongkok kemudian melakukan tindakan pembalasan dengan mendevaluasikan mata uang mereka sebesar 5 % saja, maka 700.000 kesempatan kerja akan lenyap, alias merugi, alias gulung tikar.
Ditekankan dalam laporan penelitian itu bahwa perang tarif akan memberikan dampak buruk yang luas kepada ekonomi negara terbesar kedua di dunia. padahal ekonomi Tiongkok saat ini menghadapi pertumbuhan yang lebih lambat dan masalah tunggakan pembayaran utang yang jumlahnya besar. Konflik perdagangan pasti memperburuk keadaan.
Jika AS menerapkan kenaikan tarif untuk seluruh komoditas impor dari Tiongkok maka 5.5 juta kesempatan kerja akan hilang
Perang dagang antara kedua negara ini sekarang sudah menyebabkan komoditas lawan masing-masing senilai USD. 50 miliar naik tarifnya sebesar 25 %. Trump pada 7 September memperingatkan bahwa AS sudah siap memberlakukan kenaikan tarif untuk komoditas impor dari Tiongkok senilai USD. 200 miliar, dan mencadangkan komoditas senilai USD. 267 miliar untuk dinaikkan tarifnya bila Tiongkok komunis masih terus melakukan perlawanan.
Laporan JP Morgan Chase menyebutkan bahwa jika Amerika Serikat mengenakan tarif 25% untuk seluruh komoditas yang diimpor dari Tiongkok, dan Tiongkok menerapkan tarif pembalasan yang sudah diumumkan, itu berarti Tiongkok akan kehilangan 5.5 juta kesempatan kerja dan menurunkan 1,3 % pertumbuhan PDB tahunan.
Tulis ekonom JP Morgan dalam laporannya : Jika AS terus memperbesar volume pengenaan tarif komoditas Tiongkok, dampaknya terhadap Tiongkok akan semakin besar. Meskipun dampak keseluruhannya masih dapat dikendalikan, tetapi tingkat pengangguran yang melonjak tinggi akan berdampak pada masalah kebijakan utama. Jika tingkat pengangguran sangat tinggi, otoritas nantinya akan condong untuk menerapkan kebijakan keuangan yang diperlonggar.
Laporan itu mengatakan bahwa depresiasi Renminbi dimungkinkan untuk membantu mengatasi goncangan ini. Dalam kasus terburuk, lebih dari 5 juta pekerjaan beresiko lenyap. Jika otoritas keuangan Tiongkok memilih untuk mendevaluasi Renminbi sekitar 12% pada tahun 2019, itu akan mengimbangi dampak pada PDB dan mengurangi tingkat pengangguran bersih menjadi 900.000.
Namun langkah ini akan menimbulkan arus modal keluar sebesar USD. 332 miliar, jumlahnya mencapai lebih dari sepersepuluh cadangan devisa negara. Situasi ini sama seperti situasi yang ingin dihindari oleh pemerintah Tiongkok ketika terjadi pelarian modal besar-besaran karena depresiasi Renminbi pada tahun 2015.
Kenaikan tarif menimbulkan perusahaan asing dan domestik hengkang dari daratan Tiongkok
Mengenai dampak dari kenaikan tarif USD. 200 miliar ini Dr. Cheng Xiaonong, seorang Ph.D dalam bidang sosiologi dan ekonomi lulusan Princeton mengatakan kepada Voice of America bahwa pembalikan hubungan Tiongkok-AS bukanlah perang dingin yang baru. Perang Dingin adalah menggunakan ancaman nuklir sebagai imbalan perdamaian.
Dia menambahkan, perang dagang benar-benar berbeda, akibatnya lebih langsung, misalnya Amerika Serikat tidak lagi melakukan begitu banyak bisnis dengan Tiongkok, efek sampingnya adalah rantai industri Asia Timur yang terbentuk setelah bertahun-tahun globalisasi ekonomi akan memiliki serangkaian perubahan yang tidak menguntungkan Tiongkok.
Cheng Xiaonong mengatakan setelah Amerika Serikat memberlakukan kenaikan tarif berskala besar terhadap komoditas asal Tiongkok, sejumlah besar perusahaan nasional yang bergantung pada pasar AS dan membeli produk atau suku cadang Tiongkok mulai mengalihkan produksinya ke luar Tiongkok, pindah ke Asia Tenggara, Asia Selatan. Mulai tahun depan, pesanan produk Tiongkok oleh perusahaan ritel AS mungkin akan menurun.
Ketua Kamar Dagang Uni Eropa untuk Tiongkok Mats Harborn pernah mengatakan bahwa dengan meluasnya pengaruh dari konflik perdagangan AS – Tiongkok, perusahaan-perusahaan Eropa di Tiongkok sedang mengubah rantai pasokan komoditas global untuk menghindari kenaikan tarif AS.
Nathan Resnick, chief executive perusahaan Sourcify juga mengatakan bahwa beberapa perusahaan AS telah melemahkan motif mereka untuk berproduksi di Tiongkok karena kena tarif lebih mahal.
Agence France-Presse melaporkan bahwa semakin banyak perusahaan domestik Tiongkok mengadopsi pendekatan “pintar”, yaitu mentransfer jalur produksi mereka ke negara-negara seperti Vietnam, Serbia dan Meksiko untuk menghindari penggunaan label Made in China.
Christopher Rogers, seorang ahli rantai pasokan di perusahaan data perdagangan Panjiva mengatakan : “Tarif baru pasti akan memicu perusahaan untuk meninjau mengenai rantai pasokan mereka dalam skala global, harus tahu bahwa daya saing (perusahaan Tiongkok) mereka telah turun 25% dalam semalam”
Direktur Nasional Dewan Ekonomi Larry Kudlow mengingatkan, jangan meremehkan tekad dan kesiapan Presiden Trump untuk berperang dagang melawan Tiongkok, ia telah mencapai kesepakatan dengan Uni Eropa untuk bersama-sama melawan Tiongkok, dan Tiongkok akan semakin terisolasi dengan kinerja ekonominya yang akan melemah. (Sin/asr)