Hutan di negara-negara Pasifik Selatan sedang dihancurkan oleh rasa kelaparan Tiongkok terhadap kayu.
Kepulauan Solomon, pemasok kayu terbesar kedua untuk Tiongkok di belakang Papua Nugini, mengekspor lebih dari 3 juta meter kubik kayu ke Tiongkok pada tahun 2017, menurut laporan terbaru oleh kelompok lingkungan Global Witness.
Pada tahun 2016, Kepulauan Solomon mengekspor total sekitar 2,3 juta meter kubik (sekitar 812.236 ton) kayu, 82 persen di antaranya pergi ke Tiongkok. Global Witness memperkirakan bahwa jika kegiatan penebangan dilanjutkan dengan kecepatan seperti saat ini, hutan alam negara kepulauan Pasifik tersebut akan habis pada tahun tahun 2023.
Bahkan jika laju penebangan saat ini berkurang setengahnya, hutan-hutan ini akan habis pada tahun tahun 2046. Laporan tersebut, mengutip beberapa perkiraan, termasuk salah satu yang disediakan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), menetapkan bahwa tingkat penebangan kayu yang lestari harus sekitar 250.000 meter kubik (sekitar 88.286 ton) per tahun.
KEPULAUAN SOLOMON
Kepulauan Solomon, yang terdiri lebih dari 992 pulau, memiliki total hutan seluas 2,2 juta hektar (sekitar 5,4 juta hektar), menurut data dari FAO.
“Perusahaan-perusahaan Tiongkok yang mengimpor sebagian besar kayu adalah begitu penting sehingga jika semuanya bersama-sama berhenti membeli, masih ada kesempatan untuk kembali ke kondisi sebelumnya,” kata Yin Beibei, kepala peneliti yang menyusun laporan tersebut, dalam wawancara baru-baru ini dengan Reuters.
Beberapa perusahaan Tiongkok disebutkan di dalam laporan tersebut karena menjadi pengimpor utama kayu Solomon. Perusahaan Tiongkok yang mengimpor paling banyak pada tahun 2017 adalah China National Chemical Fiber Corp (Sinofiber), sebuah perusahaan yang didanai sepenuhnya oleh perusahaan milik negara Tiongkok Hi-Tech Group Corp. Perusahaan tersebut telah mengimpor sekitar 480.000 ton kayu.
Peringkat kedua di belakang Sinofiber adalah Jiangsu Wang Lin Modern Logistics, sebuah perusahaan yang terdaftar di bursa saham Shanghai, yang mengimpor sekitar 260.000 ton kayu pada tahun 2017.
Dengan kata lain, Sinofiber sendiri mengimpor lebih dari empat kali tingkat pertumbuhan berkelanjutan hutan tersebut dimana Kepulauan Solomon seharusnya menyediakan kayu.
Investigasi Global Witness menyimpulkan bahwa ada banyak penebangan liar yang terjadi di Kepulauan Solomon tersebut. Beberapa perusahaan penebangan menebang pohon di luar daerah yang dialokasikan, sementara yang lainnya mengambil spesies pohon yang dilindungi atau langka yang dilindungi oleh konvensi PBB.
Dua perusahaan Tiongkok yang tidak disebutkan namanya telah mengimpor lebih dari 400 ton kayu kwila, juga dikenal sebagai merbau, spesies langka yang masuk dalam Daftar Merah IUCN (International Union for Conservation of Nature), dari Kepulauan Solomon tersebut pada tahun 2017, menurut laporan tersebut.
Laporan itu juga menjelaskan bahwa penduduk setempat mendapat sedikit manfaat secara ekonomi dari kegiatan-kegiatan penebangan. Menurut sebuah laporan tahun 2015 yang tidak dipublikasikan untuk Bank Dunia yang dikutip dalam makalah akademis yang diterbitkan oleh Australian National University, “semuanya 100 atau lebih perusahaan penebangan di Kepulauan Solomon melaporkan sebagai kegiatan-kegiatan yang tidak menghasilkan keuntungan,” dan dengan demikian menghindari membayar pajak perusahaan ke pemerintah kepulauan tersebut.
Warga setempat juga telah dirugikan oleh kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan penebangan, menurut laporan tersebut. Beberapa penebang kayu melanggar peraturan tentang pelaksanaan penebangan kayu (Code of Logging Practice) yang berlaku di Kepulauan Solomon, yang mencakup peraturan yang dimaksudkan untuk perlindungan lingkungan, seperti melarang pengambilan kayu di dekat sungai atau anak sungai.
“Aliran sungai yang memberi kami pasokan air tercemar oleh minyak dari mesin penebangan yang kotor dan pipa kami hancur karena tertimpa pohon,” Vezinia Danny, penduduk Kuzi, sebuah desa di Kepulauan Solomon, mengatakan pada Reuters pada Oktober 2013 melaporkan.
“Jadi sekarang, kami harus mengayuh sampan kami sejauh bermil-mil untuk mendapatkan air bersih.”
Dua pertiga dari semua kayu tropis di dunia pergi ke Tiongkok. Sebagai akibatnya, laporan tersebut merekomendasikan bahwa Tiongkok menerapkan langkah-langkah wajib di tempat “mewajibkan semua importir kayu untuk melaksanakan instruksi sesuai permintaan dengan patuh untuk memastikan mereka tidak mengimpor kayu yang diproduksi dengan cara melanggar undang-undang negara asal.”
Tiongkok adalah salah satu produsen utama produk-produk kayu, terutama furnitur, dan, dengan demikian, memiliki permintaan besar untuk impor kayu. Tiongkok menyumbang 40 persen dari produksi furnitur dunia, menurut The Center for Industrial Studies Milano.
PAPUA NUGINI
Global Witness menerbitkan laporan terpisah pada 30 Juli tentang situasi penebangan di Papua Nugini; sekitar 70 persen dari daratan negara ini ditutupi oleh hutan, dan ia “mengirimkan hampir semua ekspor kayu gelondongan ke Tiongkok.” Pada tahun 2017, Papua Nugini mengirim lebih dari 2,8 juta meter kubik (sekitar 988.810 ton) kayu ke Tiongkok.
Permintaan kayu Tiongkok yang tinggi telah memicu kehadiran pembalakan atau penebangan liar di negara pulau tersebut.
Menurut laporan tersebut, “Penilaian tentang risiko legalitas di sebagian besar negara-neggara penghasil kayu di dunia telah menemukan kayu Papua Nugini menjadi salah satu yang paling berisiko, dengan potensi ilegalitas termasuk korupsi dan suap dalam penerbitan izin, kegagalan untuk mengikuti Logging Code of Practice, dan penebangan tanpa persetujuan pemilik tanah adat.”
Contoh korupsi terjadi pada perusahaan penebangan lokal, Vanimo Jaya. Ia telah membayar $75.000 suap kepada otoritas kehutanan Papua Nugini untuk perpanjangan izin penebangannya. Tidak jelas apakah kasus ini melibatkan entitas-entitas Tiongkok, namun yang pasti adalah kurangnya peraturan-peraturan Tiongkok telah menyebabkan pembalakan liar.
Dalam lima tahun terakhir, Papua Nugini telah kehilangan 640.000 hektar (sekitar 1,58 juta hektar) hutan, menurut Global Witness.
Laporan tahun 2014 dari lembaga think tank yang bermarkas di London, Chatham House, menunjukkan bahwa 70 persen penebangan di Papua Nugini adalah ilegal.
Sam Lawson, penulis laporan Chatham House, menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan penebangan sering berkolusi dengan para pejabat lokal yang korup.
“Orang-orang bisnis yang kuat dan politisi-politisi korup telah dapat menjual masyarakat-masyarakatnya melalui penipuan, penyuapan, dan intimidasi,” kata Lawson pada situs web berita konservasi Mongabay dalam laporan tahun 2014.
Untuk menghentikan pembalakan liar di Papua Nugini, Global Witness mendesak Tiongkok untuk memberlakukan persyaratan wajib untuk impor-impor kayu Tiongkok yang bersumber secara legal.
Gary Juffa, gubernur Provinsi Oro Papua Nugini, menulis di majalah berita yang berkantor di Tokyo, The Diplomat pada 18 Oktober, mengatakan bahwa dia yakin korupsi dan penghindaran pajak di sektor kehutanan merugikan bangsa tersebut lebih dari $100 juta setiap tahun.
“Sementara Tiongkok melindungi lingkungannya sendiri, perilakunya di luar negeri sedang mendorong kehancuran lingkungan di negara-negara seperti Papua Nugini,” tulis Jeffa. Dia menjelaskan bahwa karena Tiongkok tidak memiliki langkah-langkah perlindungan lingkungan dalam urutan yang sesuai untuk pengadaan kayunya, “kayu yang diproduksi secara ilegal dari Papua Nugini terus-menerus memberi makan sektor manufaktur Tiongkok.”
“Saya menyerukan kepada Tiongkok untuk menjauhkan kayu ilegal keluar dari pasarnya, dan membantu hutan Papua Nugini tetap lestari,” tulis Juffa. (ran)
Rekomendasi video:
Permintaan Obat Tiongkok Melonjak, Populasi Gajah Asia Kritis
https://www.youtube.com/watch?v=rmn7MxDEKkU