Frank Fang – The Epochtimes
Erabaru.net. Ribuan rakyat Myanmar turun ke jalan-jalan untuk memprotes pembangunan bendungan yang didukung oleh Tiongkok pada Senin (22/4/2019). Aksi protes besar-besaran ini terjadi hanya beberapa hari sebelum pemimpin tertinggi negara itu dijadwalkan mengunjungi Beijing.
Radio Free Asia melaporkan lebih dari 8.000 penduduk Waingmaw, sebuah kota di Negara Bagian Kachin, Myanmar utara yang berbatasan dengan Provinsi Yunnan, Tiongkok, turun ke jalan untuk menuntut agar pembangunan bendungan Myitsone ditunda.
“Kami telah memprotes seperti ini selama delapan atau sembilan tahun dari sekarang,” kata warga setempat Lu Yar dalam sebuah wawancara dengan RFA.
“Saya ingin tahu apakah pemerintah benar-benar dapat terus mengabaikan oposisi semacam ini,” katanya.
Proyek Bendungan
Menurut Reuters, mantan pemimpin junta militer Myanmar menandatangani kesepakatan senilai 3,6 miliar dolar AS untuk proyek pembangkit listrik tenaga air yang berlokasi di Sungai Irrawaddy pada 2009 silam. kesepekatan ini dengan perusahaan yang terkait militer Myanmar, Asia World Co dan perusahaan listrik BUMN Tiongkok, China Power Investment Corp yang ditugaskan untuk pembangunannya.
Pekerjaan bendungan itu ditunda pada September 2011 lalu oleh Presiden Myanmar saat itu Thein Sein setelah protes publik. Pada saat itu, Aung San Suu Kyi, sebelum ia menjadi pemimpin pemerintahan semi-sipil saat ini di Myanmar adalah salah satu suara tokoh oposisi.
Menurut Reuters, Suu Kyi pernah mengatakan bendungan akan mengancam aliran Sungai Irrawaddy dan memaksa relokasi lebih dari 10.000 orang dari 63 desa terdekat.
Tetapi setelah Suu Kyi menjadi kepala partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang berkuasa dan perdana menteri yang efektif di negara itu, Beijing mulai menekan untuk melanjutkan pembangunan bendungan.
Pada Juni 2016 lalu, sebuah delegasi yang dipimpin oleh Duta Besar Tiongkok untuk Myanmar melakukan perjalanan ke Kachin untuk melobi agar dimulainya kembali pembangunan proyek bendungan sebagaimana diungkapkan oleh majalah berita Frontier Myanmar.
Baru-baru ini, pada November tahun lalu, majalah tersebut melaporkan bahwa rezim Komunis Tiongkok menginginkan proyek tersebut dikemas sebagai bagian dari inisiatif proyek One Belt, One Road atau OBOR. Ketika itu disampaikan bahwa proyek-proyek OBOR lain di Myanmar tidak akan berjalan kecuali jika proyek bendungan dimulai kembali.
Beijing meluncurkan proyek OBOR pada 2013 silam dengan tujuan meningkatkan pengaruh geopolitik dengan membangun rute perdagangan yang menghubungkan Tiongkok, Asia Tenggara, Afrika, Eropa, dan Amerika Latin.
Frontier Myanmar melaporkan bahwa Beijing belum secara publik mengaitkan proyek bendungan tersebut dengan OBOR, “mengakui atau mungkin, bahwa proyek tersebut masih sangat tidak populer dan berpotensi merusak citra” dari inisiatif tersebut.
Sementara Suu Kyi tetap diam tentang apakah proyek akan dilanjutkan.
Suu Kyi mengatakan pada bulan Maret lalu bahwa sangat penting bagi pemerintahnya untuk menegakkan proyek investasi yang disetujui oleh junta atau investor mungkin terlihat oleh pemerintahnya tidak dapat diandalkan.
Namun penduduk setempat masih menentangnya. Pada Februari lalu, protes skala besar lainnya terjadi di Mitkyina, ibukota Kachin, dan 10.000 orang berpartisipasi, termasuk penduduk lokal, aktivis, pemimpin partai politik, dan anggota kelompok masyarakat sipil.
Duwa Gumgrawng Awng Hkam, pemimpin Partai Demokrat Kachin, mengatakan kepada Radio Free Asia pada Februari lalu bahwa ia menganggap dorongan Beijing agar pemerintah Myanmar memulihkan proyek itu sebagai “tindakan penindasan.”
Pada protes terbaru, warga setempat Daung Kun menyebut proyek itu “bom waktu yang mana suatu hari nanti bisa membunuh dan melenyapkan orang-orang di negara bagian Kachin tanpa tembakan.”
Masih harus ditunggu apakah Suu Kyi akan membuat keputusan resmi dalam beberapa hari mendatang, ketika ia dijadwalkan melakukan perjalanan ke Beijing untuk Forum OBOR kedua yang diadakan dari 25 hingga 27 April 2019.
Menurut artikel analisa pada Januari yang diterbitkan oleh situs berita online The Irrawaddy, Beijing menganggap bendungan Myitsone sebagai elemen kunci untuk proyek-proyek OBOR lainnya di Myanmar.
Tiongkok menginginkan listrik yang dihasilkan dari bendungan tersebut untuk pasokan listrik pada proyek-proyek OBOR di Myanmar, termasuk tiga zona kerja sama ekonomi yang terletak di daerah perbatasan Kachin dan negara bagian Shan di dekatnya, serta sebuah kawasan industri di Namjim, sebuah desa di Kachin.
Alasan lain dari desakan untuk membangun bendungan adalah bahwa Beijing mungkin sengaja menciptakan gangguan dari investasi lain di Myanmar.
Irrawaddy melaporkan bahwa penduduk setempat mengklaim bahwa tanah mereka disita untuk memberikan ruang bagi proyek-proyek yang berkaitan dengan China-Myanmar Economic Corridor atau CMEC. Tetapi operator Tiongkok-Myanmar belum membayar kompensasi yang cukup kepada mereka.
Keluhan serupa telah melanda proyek pipa minyak dan gas Shwe yang menghubungkan negara bagian Rakhine, Myanmar bagian barat dengan Yunnan, sementara para nelayan juga mengatakan bahwa mereka kehilangan mata pencaharian karena pembangunan tersebut.
Beijing dan Myanmar menandatangani nota kesepahaman untuk China-Myanmar Economic Corridor pada September 2018 sebagai bagian dari proyek OBOR.
Proyek ini termasuk rencana untuk kereta api dan jalan raya yang akan menghubungkan ibukota Yunnan di Kunming dengan kota-kota Myanmar di Muse dan Mandalay. pada gilirannya, terhubung dengan pelabuhan Kyaukpyu di Myanmar yang menghadap ke Samudera Hindia.
Menurut surat kabar berbahasa Inggris, The Myanmar Times, proyek CMEC juga mencakup pengembangan pelabuhan Kyaukpyu. CITIC Group milik BUMN Tiongkok memiliki sewa tanah di pelabuhan selama 50 tahun dengan potensi perpanjangan selama 25 tahun.
Situs web resmi OBOR Tiongkok menyatakan bahwa jalur pipa Shwe, pelabuhan Kyaukpyu, dan CMEC semuanya dirancang untuk mengurangi ketergantungan Tiongkok pada perjalanan Selat Malaka untuk mengangkut impor energi dari Timur Tengah.
Media lokal sejak itu mengkritik investasi OBOR Tiongkok di Myanmar sebagai “perangkap utang,” yang mirip dengan contoh di Sri Lanka dan Maladewa ketika tanah disewakan kepada entitas Tiongkok dengan tingkat utang yang tinggi.
Human Rights Watch yang berbasis di New York menggunakan proyek bendungan Myitsone sebagai contoh kurangnya transparansi dan hak asasi manusia Beijing dalam ambisi proyek OBOR dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada 21 April lalu.
Human Rights Watch menunjukkan bahwa para kritikus mengatakan bahwa proyek tersebut akan menyebabkan relokasi skala besar, hilangnya mata pencaharian, kerusakan lingkungan berskala luas, dan perusakan situs warisan budaya yang signifikan bagi orang-orang etnis Kachin. (asr)
Keterangan Foto : Rakyat dari Negara Bagian Kachin ikut serta dalam protes terhadap proyek bendungan Myitsone di Waingmaw, dekat ibu kota Myitkyina di Negara Bagian Kachin, pada 22 April 2019. (Zau Ring Hpra / AFP / Getty Images)