Song Baolan
Kadangkala manusia hanya percaya yang terlihat dengan mata kepalanya. Namun sesungguhnya dimensi lain itu sesungguhnya benar-benar eksis. Ilmuwan pun sudah membuktikannya.
Lisa Randall, profesor dari Harvard University secara mengejutkan menemukan bahwa di bumi kemungkinan eksis “ruang dimensi ke-5.” Menurut keterangan profesor Landall, bahwa dengan menembus dunia (dimensi) lain melalui energi dari gravitasi mungkin bisa menemukan lorong waktu yang terhubung ke dimensi ketiga dan kelima.
Profesor Landall dengan berani mengemukakan sebuah hipotesa yang revolusioner, bahwa kemungkinan “ruang dimensi ke-5” itu eksis berdampingan dengan ruang kehidupan kita, hanya saja saling tersembunyi.
Berikut kisah tentang Kuil Dimensi Lain :
Kuil Zhu Lin
Menurut catatan “Obrolan Santai Yu Tang”, semasa Dinasti Jin, seorang bhiksu pernah berjanji mengadakan pertemuan dengan bhiksu yang bernama Faben.
Faben mengatakan kepadanya bahwa di Xishan Xiangzhou terdapat Kuil Zhu Lin, jika ada kesempatan, ia harus mengunjunginya. Bhiksu ini mencatat janji itu dan dengan antusias pergi mengunjunginya.
Ketika tiba di Xiangzhou, penduduk desa mengatakan kepadanya bahwa kuil yang disebutkan itu pernah eksis tapi kini sudah tidak terdapat lagi bangunan tersebut. Tetapi sang bhiksu memutuskan untuk tetap pergi dan melihatnya secara langsung.
Ketika tiba di hutan bambu dan tidak mendapati bangunan apapun kecuali hutan bambu hijau dan pilar-pilar batu. Dia teringat pesan Faben bahwa ia dapat menemuinya dengan cara mengetuk-ngetuk pilar batu. Maka sang bhiksu lantas mengetuk sebuah pilar batu dengan tongkat Zen kecil di tangannya. Dalam sekejap turun hujan angin dan langit pun menjadi gelap gulita. Ketika membuka matanya lagi, ia mendapati, langit telah kembali cerah, namun dihadapannya berdiri sebuah kuil bertingkat, dan posisinya pun sudah berada tepat di depan gerbang kuil.
Dia memasuki Kuil Zhu Lin (bermakna: Hutan Bambu) dan melihat Faben yang menyambutnya dengan wajah riang. Seorang senior Faben bertanya kepadanya mengapa ia membawa Bhiksu ini melalui aula rahasia. Faben berkata, bhiksu ini dia undang untuk memenuhi janji lamanya.
Sang bhiksu tua itu berpesan agar setelah selesai menjamu bhiksu ini dengan hidangan vegetarian segera mengantarnya pulang, karena tidak ada tempat khusus untuk bhiksu tersebut.
Usai menyantap hidangan, si bhiksu mengucapkan selamat tinggal kepada Faben di depan Kuil Zhulin. Bhiksu tersebut melihat langit dengan seketika berubah gelap dan ia tak tahu harus berjalan ke arah mana, setelah menenangkan hatinya ia mendapati dirinya telah berdiri di dekat pilar-pilar batu, dan bangunan kuil tadi pun telah menghilang.
Kuil Ling Yin
Pada tahun-tahun awal Dinasti Qi Utara (550 – 577), ada juga kejadian aneh seorang bijak yang memasuki ruang dimensi lain.
Orang bijak itu dari Songshan, Provinsi Henan bernama Baogong (dibaca: pau kung).
Di suatu hari pada suatu tahun di abad ke 6, ia tersesat ketika hendak pergi ke Gunung Bailu. Hari sudah menjelang siang, tiba-tiba ia mendengar suara lonceng dari kejauhan, maka ia pun berjalan mengikuti arah suara lonceng itu. Setelah naik turun gunung cukup jauh. Ia melihat sebuah kuil yang indah berkilauan berdiri ditengah hutan belantara.
Ia mendongak dan melihat tiga huruf besar mandarin “Ling Yin Si (Kuil Lingyin / 靈隱寺)” tertera pada papan di atas gerbang kuil. Lebih membuat kaget adalah terdapat 5 – 6 ekor anjing putih bermoncong hitam sedang menjaga gerbang kuil, dan setiap postur anjing itu sebesar seekor sapi. Semua anjing-anjing itu menatap Baogong.
Selamanya Baogong tidak pernah melihat anjing setinggi dan sebesar ini, ia ketakutan dan bergegas hendak meninggalkan tempat itu. Ketika itu, seorang bhiksu berwajah India berjalan memasuki kuil, Baogong menyapanya, tetapi bhiksu India itu tidak menghiraukannya. Dia juga tidak menoleh kebelakang, dan langsung masuk ke dalam kuil, anjing-anjing besar itu juga mengikutinya masuk.
Baogong berdiri termangu cukup lama sambil memperhatikan sekitarnya, ia tidak melihat bayangan manusia. Rumah-rumah di sekitarnya juga tertutup. Kemudian Baogong memasuki ruang ceramah dan melihat tempat tidur dan kursi agung disusun sedemikian rapi, ia pun mengambil posisi duduk dan beristirahat di daerah barat daya.
Beberapa waktu kemudian, Baogong mendengar serentetan suara. Ketika mendongakkan kepala, ia melihat atap kuil terbuka sebesar lubang sumur, dan dari lubang itu melayang turun silih berganti sejumlah bhiksu, sebentar saja telah terkumpul 50 – 60 bhiksu.
Mereka duduk sesuai urutan kedatangan dan menyapa satu sama lain: “Di manakah Anda makan zhaifan (makanan vegetarian sumbangan dari umat kepada bhiksu / bhiksuni) hari ini?” Ada yang mengatakan di Yuzhang, ada yang di Chengdu, Chang’an, Longyou, Lingnan, dan bahkan di Lima Kerajaan di daerah India. Mereka datang dari berbagai penjuru, jarak setiap tempat pun berjauhan. Ketika bhiksu terakhir terbang mendarat, para bhiksu bertanya kepadanya mengapa ia datang terlambat?
Bhiksu yang datang terlambat mengatakan bahwa karena ada ceramah di sebuah kuil tepi danau di kota Xiangzhou yang dipandu oleh master (Zen) Jian Chan alias Huineng (seorang monastik Zen yang merupakan salah satu tokoh paling penting dalam seluruh tradisi, adalah Patriark keenam dan Terakhir dalam tradisi Buddhisme Zen di Tiongkok). Ada banyak peserta yang berdebat tentang perbedaan pendapat. Ada seorang pengikut muda, cerdas, terus-menerus bertanya dan mendebat, sehingga suasananya sangat mengesankan, sampai-sampai ia tak terasa telah terlambat datang.
Begitu Baogong mendengar nama master Huineng disebut-sebut dan dia sendiri merupakan murid darinya, maka ia pun berdiri, merapikan sejenak pakaian bhiksunya, berjalan menghadap para bhiksu dan berkata, “Master Jian Chan adalah guru saya.” Para bhiksu itu menatap Baogong, tiba tiba, seluruh Kuil Lingyin beserta para bhiksu mendadak lenyap. Hanya tersisa Baogong sendirian duduk diatas batu besar, di bawah pohon Xylosma. Tiada benda apapun di sekitar sana selain pemandangan gunung nan indah yang mengelilingi tempat tersebut.
Setelah Baogong keluar dari hutan itu , ia memberitahu kejadian itu kepada Guru Shangtong dan bertanya apa yang telah terjadi? Shangtong berkata: “Kuil itu dibangun pada periode Shi Zhao (319 – 352). Kuil itu dibangun oleh Guru Fotudeng (Sansekerta: Buddhacinga; mandarin sederhana: 佛 图 澄; mandarin tradisional: 佛 圖 澄; pinyin: Fótúchéng, 232 – 348 M, seorang biksu dan misionaris Buddha dari Kucha/India, belajar di Kashmir dan datang ke Luoyang pada 310 M. Dia aktif dalam penyebaran agama Buddha di Tiongkok.
Hingga saat ini, telah berusia sangat tua, di zaman kuno, orang suci tinggal di sana, itu bukan tempat manusia biasa bernaung. Kuil itu kadang muncul kadang menghilang, dan seringkali dapat berpindah serta berubah.
Ketika Dinasti Sui (581 – 618), tatkala Houbai menulis tentang kitab “Xing Yi Ji” menyinggungnya: “Hingga saat ini jika berjalan di gunung itu, masih terdengar suara lonceng kuil!” (Ang/WHS/asr)