Olivia Li – The Epochtimes
Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam kini mencoba membela mati-matian pemerintahnya ketika menghadapi kecaman publik atas tindakan brutal terhadap demonstran damai yang menentang amandemen terhadap undang-undang ekstradisi.
Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, ia membandingkan dirinya dengan seorang ibu yang pengasih dan satu juta pengunjuk rasa dengan “anak-anak berandalan.”
Pernyataan ini mengingatkan pada sebuah tipe propaganda komunis untuk menggambarkan hubungan antara negara dan rakyatnya.
Dalam wawancara pagi pada 12 Juni dengan TVB, stasiun TV pro-Komunis Tiongkok yang berbasis di Hong Kong, Lam bersikeras bahwa pemerintah Hong Kong telah melakukan hal yang benar sejak awal.
Dia membandingkan dirinya dengan seorang ibu yang pengasih dan satu juta pengunjuk rasa dengan anak-anak nakal yang hanya menangis dan berteriak untuk menuntut apa yang mereka inginkan.
“Seorang ibu yang baik tidak akan memanjakan anak yang bandel. Demikian pula, pemerintah Hong Kong bersikeras untuk meloloskan RUU ekstradisi karena anak-anak yang bandel tidak boleh dimanjakan,” katanya sambil menangis. Entahlah apakah ini benar-benar sebagai tangisan atau sandiwara belaka.
Lam pada wawancara itu menuduh protes sebagai “kerusuhan” yang tidak akan ditolerir oleh masyarakat beradab mana pun. Namun, dia tidak menyebutkan polisi menyerang demonstran yang tidak bersenjata dengan gas air mata, peluru karet dan kantong kacang yakni kantong kain kecil yang berisi pellet serta peluru karet.
Pada hari yang sama, sebuah petisi online untuk menentang pernyataan “ibu” Lam diluncurkan oleh lebih dari sepuluh cendekiawan wanita, termasuk Susanne Choi, seorang profesor Sosiologi di Chinese University of Hong Kong , pengacara Linda Wong dan Debora Poon, dan Eva Chan, dosen senior di Sekolah Jurnalisme dan Komunikasi Chinese University of Hong Kong.
Surat petisi itu berbunyi, “Kami adalah sekelompok ibu dari Hong Kong, tetapi kami sama sekali tidak akan menggunakan senjata mematikan seperti gas air mata, peluru karet, atau kantong kacang untuk menyerang anak-anak kami. Kami juga merasa sulit untuk melihat bagaimana seseorang dapat acuh tak acuh dan apatis terhadap gambar-gambar orang muda yang dipukuli dengan tongkat, dan menderita luka serius dan berdarah.”
Petisi itu melanjutkan “Lagipula, warga Hong Kong bukan anak-anakmu — yang dibutuhkan orang bukanlah bantuanmu, tetapi, sebaliknya, yang mereka butuhkan adalah untukmu, kepala kota ini dan seorang pegawai negeri, untuk mendengarkan pandangan dari semua sisi masyarakat, dan untuk membuat tanggapan yang tepat dan tepat waktu.”
Kelompok itu menyatakan bahwa sebagai ibu, mereka berusaha membangun masa depan yang lebih baik untuk anak-anak mereka, masa depan di mana anak-anak mereka dapat tinggal di tanah air mereka “bebas dari rasa takut.”
Mereka menyerukan kepada Lam: “Berhentilah bersembunyi di balik kisah isak tangis politis palsu Anda untuk mendapatkan simpati kami — kami ingin Anda mengambil tindakan untuk menunjukkan bahwa Anda benar-benar peduli dengan generasi muda kita.”
Para pembuat petisi juga menentang pernyataan Lam dengan bertanya padanya, “Bagaimana egoisnya seseorang, untuk mengatakan bahwa suara 1,03 juta orang adalah ‘berandalan’? Betapa egoisnya seseorang, untuk mengatakan bahwa dalam mengungkapkan keprihatinan mereka terhadap RUU tersebut, bahwa 3.000 anggota sektor hukum ‘berandalan?’
Hampir 30.000 orang menandatangani petisi itu dalam rentang waktu 16 jam.
Propaganda Ciri Khas Komunis Tiongkok
Analogi yang membandingkan pemerintah atau politisi papan atas dengan orangtua dari rakyat adalah propaganda khas di negara-negara komunis.
Pada 1980-an, seorang intelektual paruh baya bernama Qu Xiao dengan cepat menjadi nama rumah tangga dan agitator lisan di Tiongkok.
Otoritas Komunis Tiongkok benar-benar senang dengan karisma dan bakat khususnya dalam membujuk pendengarnya untuk terus mencintai Partai Komunis Tiongkok, bahkan jika mereka adalah korban Revolusi Kebudayaan yang berlangsung pada 1966 – 1976.
Qu sendiri adalah korban Revolusi Kebudayaan — ia “dididik ulang” sebagai buruh tani selama masa mudanya dan secara keliru dicap sebagai kontra-revolusioner. Dalam pidatonya di depan umum, ia memberikan kisah emosional tentang pengalaman tragisnya, tetapi selalu membela Partai Komunis Tiongkok dengan mengatakan : “Tapi, Partai adalah ibu kami. Seorang anak tidak akan dan tidak seharusnya menaruh dendam terhadap ibunya, bahkan jika dia telah memukulnya dengan salah!”
Qu menemui ajalnya sendiri ketika otoritas Komunis Tiongkok mengirimnya ke Amerika Serikat pada tahun 1991 untuk melakukan khotbah politik yang sama kepada siswa-siswa Tiongkok yang belajar di sana.
Di antara hadirin dalam ceramah pertamanya, ada seorang profesor Taiwan pro-Komunis tiongkok, yang biasa membenci Kuomintang karena ia menganggap laporan media Kuomintang tentang kekejaman Partai Komunis Tiongkok adalah berita palsu karena mereka tampaknya terlalu sulit untuk dibenarkan.
Di akhir ceramah Qu, profesor Taiwan itu berdiri dan memberi tahu hadirin bahwa dia menyadari betapa salahnya dia di masa lalu.
“Pidato Profesor Qu seperti pengakuan yang memberatkan, dengan darah dan tragedi di setiap baris. Seorang sarjana muda dijebloskan ke penjara selama 22 tahun tanpa alasan sama sekali. Saya telah melihat laporan serupa ketika saya berada di Taiwan, tetapi tidak ada yang jahat dan keterlaluan seperti ini!” katanya emosional.
Dia kemudian mengkritik Qu: “Kamu bilang Partai itu ibumu. Tetapi bagaimana Anda masih bisa memanggilnya seorang ibu setelah ia melecehkan anak-anaknya seperti ini untuk waktu yang lama? Bahkan ibu tiri pun tidak akan begitu kejam. Apakah dia masih memiliki hak untuk menuntut kesetiaan dari seorang anak yang dianiaya olehnya? Di negara mana pun yang beradab, seorang ibu yang melecehkan anaknya seperti ini akan dihukum oleh hukum. ”
Pada kesempatan ini, Qu dan seorang pejabat Komunis tiongkok dari Kementerian Luar Negeri yang menemaninya dalam tur, memutuskan untuk membatalkan pembicaraan di luar negeri selanjutnya. Mereka segera kembali ke Tiongkok.
Setelah kembali, Qu jarang muncul di depan umum. Di tengah pidatonya di Kota Nantong pada tahun 1991, ia terserang stroke dan jatuh dari podium. Setengah dari tubuhnya lumpuh, dan dia kehilangan kemampuan untuk berbicara selama sisa masa hidupnya. (asr)