LIANG ZHEN dan LUO YA
Sekretaris Utama Hong Kong, Matthew Cheung Kin-chung, meminta maaf pada 26 Juli lalu atas respon polisi yang lambat terkait mengatasi insiden kekerasan di stasiun kereta Yuen Long beberapa waktu lalu.
Ketika itu, para pria yang mengenakan kaus putih menyerang penumpang dengan tongkat dan batang logam hingga melukai puluhan orang.
Polisi tiba di tempat kejadian 40 menit kemudian. Ini setelah panggilan darurat. Akan tetapi, pada saat itu, para penyerang sudah pergi.
Warga Hong Kong menyambut permintaan maaf itu. Meski demikian, beberapa asosiasi polisi segera mengeluarkan pernyataan yang meminta Cheung untuk menarik kembali permintaan maaf publik itu. Bahkan, sebaliknya diserukan meminta maaf kepada polisi.
Setelah Kantor Urusan Hong Kong dan Makau, sebuah Badan dari pemerintahan di Beijing, memuji polisi pada konferensi pers yang tidak biasa pada 29 Juli lalu. Komisaris Polisi Hong Kong, Stephen Lo Wai-chung dan perwakilan empat asosiasi polisi bertemu dengan Cheung pada hari berikutnya.
Ronny Chan Man-tak, presiden Asosiasi Pengawas Polisi Hong Kong, menyatakan, setelah pertemuan, bahwa kedua pihak “berbagi secara terbuka” dan asosiasi polisi memahami Cheung.
Dia juga mengklaim, Cheung mendukung polisi serta memahami kerja keras para petugas polisi. Dia mengatakan, polisi tidak akan meminta maaf atas bagaimana serangan Yuen Long ditangani. Polisi mengharapkan Cheung untuk menjelaskan kepada publik, apa yang sebenarnya dia maksudkan pada 26 Juli lalu.
Mengenai mengapa polisi marah dengan permintaan maaf Cheung, lalu mengapa dukungan Cheung terhadap polisi diumumkan oleh asosiasi kepolisian?
Wartawan senior Hong Kong, Fong Tak Ho dilaporkan oleh Epochtimes mengatakan, fakta itu sangat jelas bahwa pemimpin Hong Kong, Carrie Lam dan Matthew Cheung telah dikuasai oleh polisi.
Matthew Cheung mengadakan pertemuan penting dengan polisi dan diinterogasi oleh polisi. Hingga kemudian, polisi secara terbuka menyatakan harapan mereka bahwa Cheung akan mengklarifikasi kata-katanya. Pendekatan semi-koersif seperti itu menunjukkan, bahwa polisi lebih kuat secara politis daripada administrasi pemerintahan Hong Kong.
Menurut Fong, alasan utama untuk pendekatan berani polisi adalah konferensi pers 29 Juli, di mana pusat pemerintahan Beijing menyatakan dukungannya terhadap polisi.
Fong menjelaskan, Hong Kong adalah pemerintahan yang dipimpin eksekutif. Sedangkan Pemimpin utama polisi adalah Carrie Lam.
Namun demikian, Kantor Urusan Hong Kong dan Makau, tidak memberikan Carrie Lam tingkat penghormatan yang sama dengan pemimpin pasukan polisi. Yang mana, polisi mendapat banyak pujian di konferensi pers. Hal demikian dinilai sangat aneh.
Alasan untuk Konferensi Pers
Sekelompok petugas kepolisian yang mengidentifikasi diri sebagai “petugas kepolisian yang mencintai Hong Kong” menerbitkan surat terbuka pada 30 Juli.
Surat itu menyatakan, bahwa kepemimpinan puncak mendorong pasukan polisi yang semula netral, ke dalam badai politik. Hingga menyebabkan, polisi terjepit antara pemerintah dan warga Hongkong.
Surat terbuka lainnya dari anggota keluarga polisi kepada Carrie Lam mengatakan, “Petugas kepolisian harus mematuhi beberapa perintah yang tidak masuk akal dari puncak pimpinan dan terjebak ke dalam situasi hidup dan mati.”
Petugas kepolisian di garis depan dipaksa untuk menanggung konsekuensi dari kebijakan yang salah oleh administrasi. Hingga membuat memburuknya hubungan polisi dengan warga Hong Kong.
Kolumnis Liao Shiming mengatakan, pada keadaan saat ini, Komunis Tiongkok perlu mendukung kepolisian Hong Kong untuk menyelesaikan keretakan di tubuh kepolisian.
Ia mengatakan, Carrie Lam telah kehilangan kreadibilitasnya. Jika Lam berbicara mendukung polisi, maka kepolisian akan menghadapi lebih banyak kemarahan dari masyarakat.
Menurut Liao, tanda-tanda pada konferensi pers menunjukkan, bahwa intervensi militer untuk saat ini tidak mungkin dilakukan oleh Komunis Tiongkok. Karena itu, dukungan polisi adalah kunci utama untuk menjaga stabilitas.
Apakah Polisi Hong Kong “Memerah”?
Polisi sejak itu mengkonfirmasi bahwa penyerang di Yuen Long memiliki latar belakang triad. Beberapa jam sebelum serangan itu, banyak pria berkostum putih-putih terlihat di kawasan yang membawa bendera bintang lima merah darah Komunis Tiongkok. Mereka juga mengenakan pita lengan merah.
Ketika video online mengungkapkan, bahwa polisi tiba terlambat di stasiun kereta bawah tanah Yuen Long. Ketika itu, polisi mengizinkan preman kaus putih untuk meninggalkan tempat kejadian tanpa memeriksa ID mereka.
Anehnya, prosedur ini biasanya diberlakukan ketika polisi berurusan dengan pengunjuk rasa. Masyarakat mulai mempertanyakan, apakah polisi bekerja sama dengan triad pro-komunis Tiongkok.
Fong Tak Ho mengungkapkan, ketika Kepala Eksekutif Carrie Lam berkata di depan umum: “Saya bersekutu dengan polisi, Saya tidak akan mengkhianati pasukan polisi Hong Kong.” Pernyataan ini disampaikannya, setelah polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet kepada pengunjuk rasa pada 12 Juni.
Fong menilai, kata-kata seperti itu mendorong masyarakat lagi-lagi untuk mempertanyakan, apakah Carrie Lam masih memegang kekuasaan untuk mengendalikan polisi Hong Kong?
Surat terbuka baru-baru ini dari petugas kepolisian, meminta para pemimpin puncak mengundurkan diri untuk menyelamatkan reputasi kepolisian.
Surat itu menyebutkan, beberapa perwira tinggi yang bekerjasama dengan mafia setempat dan menyebut Chris Tang Ping-keung, wakil direktur kepolisian Hong Kong, dan menuduhnya polisi yang korup.
“Kekerasan baru-baru ini di Yuen Long, kolusi antara mafia dan polisi bukanlah suatu kebetulan. Semua ini mengungkapkan bahwa desa setempat, polisi, mafia sangat terkoneksi, ” demikian surat itu berbunyi.
Desa-desa lokal di wilayah New Territories Hong Kong memiliki sejarah panjang bekerjasama dengan mafia lokal.
Surat atas nama Yau Nai-keung, asisten komandan polisi distrik Yuen Long, saat bekerja dengan mafia lokal dan menutup mata pada mobilisasi gerombolan berkostum putih. Turut dituduh, wakil direktur Tang yang ditenggarai secara teratur menerima suap dari mafia setempat.
Pertanyaan apakah polisi Hong Kong “memerah” —atau menjadi sejajar dengan Komunis Tiongkok? pertanyaan ini sebenarnya telah diajukan sejak bertahun-tahun lalu.
Mantan Komisaris Polisi Hong Kong, Andy Tsang Wai-hung pernah diundang untuk mempelajari hubungan Komunis Tiongkok di Universitas Tsinghua, Beijing. Ini terjadi selama jabatannya sebagai Komandan Distrik di Wan Chai pada tahun 1998.
Tsang mempelajari urusan nasional tingkat lanjut di Akademi Pemerintahan Tiongkok pada tahun 2004. Kursus semacam ini menanamkan ideologi dan kebijakan Partai Komunis Tiongkok kepada mahasiswa.
Li Jiangzhou, mantan direktur Biro No. 1 di Kementerian Keamanan Publik, mengambil alih Departemen Penghubung Polisi dari Kantor Penghubung Hong Kong pada 2016. Biro No. 1 adalah Biro Keamanan Nasional. Li dikirim ke Hong Kong setelah gerakan payung.
Wartawan senior Hong Kong, Fong Tak Ho mengungkapkan, dikarenakan Biro No. 1 selama ini telah terlibat dalam urusan Hong Kong dan Makau, maka Li akrab dengan cara kerja polisi di Hong Kong.
Fong Tak Ho memaparkan kecurigaannya. Ia bertanya-tanya, Apakah Li Jiangzhou hanya berfungsi sebagai penghubung? Atau apakah dia sekretaris Partai Komunis Tiongkok yang sebenarnya di Hong Kong?
44 Orang Dituntut karena Kerusuhan
Sehari setelah konferensi pers, polisi mengumumkan bahwa sebanyak 44 orang dari 49 pengunjuk rasa yang ditangkap pada hari Minggu, akan didakwa dengan tuduhan kerusuhan – sebuah pelanggaran yang dapat dihukum hingga 10 tahun penjara.
Menyusul berita itu, sekitar 700 orang berkumpul di luar Kantor Polisi Kwai Chung. Massa menuntut pembebasan para demonstran yang ditangkap.
Menurut Fong, Kerusuhan adalah tuntuan “ambang rendah” tetapi hukuman dengan jangka waktu minimum yang lama.
Edward Leung, seorang aktivis Hong Kong yang mengadvokasi kota itu untuk mendeklarasikan kemerdekaan secara resmi, dijatuhi hukuman pada tahun 2018, hingga enam tahun penjara berdasarkan pelanggaran yang sama.
Fong menilai, polisi telah meningkatkan penuntutan para demonstran. Mungkin dikarenakan, dukungan vokal dari kantor Urusan Hong Kong dan Makau.
Komentator dan wartawan kawakan Hong Kong, Johnny Lau Yui-siu, yang pernah ekerja untuk koran pro-Beijing, Wen Wei Po dari tahun 1972 hingga 1989 dan baru-baru ini pensiun sebagai Kepala Biro, menyatakan, Beijing tidak mungkin menggunakan intervensi militer untuk memadamkan aksi protes baru-baru ini. Akan tetapi, Beijing ingin meningkatkan kekuatan polisi dan menstabilkan polisi sebagai “mesin kediktatoran.” (asr)