Dominic Kirui, Spesial untuk The Epoch Times
Ali Abdala Haji sedang menyiangi ladang jagungnya di desa Kwasasi, kabupaten Lamu, beberapa mil dari garis pantai Samudra Hindia di Kenya.
Jika pembangkit listrik tenaga batu bara yang direncanakan dibangun di dekat ladang kecil miliknya, Ali Abdala Haji yakin seluruh tanaman jagung miliknya akan habis dalam beberapa tahun, tertutup debu dari pabrik batu bara itu.
Ali Abdala Haji adalah seorang ayah enam orang anak yang berusia 69 tahun. Keluarganya bergantung pada pertanian untuk menghidupi anak dan istrinya serta menyekolahkan anak-anaknya. Begitu anak-anaknya sudah cukup besar, mereka juga membantu di pertanian. Setelah cukup besar, dua orang anak Ali Abdala Haji berupaya mencari nafkah dengan memancing.
“Kami tidak tahu sumber mata pencaharian lain, saya dan istri saya selalu berangkat dari rumah setiap hari untuk bekerja di ladang sepanjang hari,” kata Ali Abdala Haji kepada The Epoch Times.
Namun, putusan pengadilan baru-baru ini telah meningkatkan optimisme di antara beberapa penduduk setempat bahwa pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara akan dihentikan.
Perlawanan Setempat
Pada tahun 2013, Kenya memprakarsai rencana untuk pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar 1.050 megawatt yang akan dibangun beberapa meter dari ladang Ali Abdala Haji dan para tetangganya.
Kontrak tersebut diberikan pada tahun 2014 kepada Amu Power Co, sebuah konsorsium perusahaan energi dan perusahaan investasi Kenya, Gulf Energy and Centrum Investment, dan tiga perusahaan Tiongkok.
Amu Power telah menandatangani kontrak konstruksi dengan Power Construction Corp of China, yang memiliki dua anak perusahaan dalam konsorsium itu. Lebih dari setengah pembiayaan untuk proyek senilai usd 2 miliar tersebut akan berasal dari Industrial and Commercial Bank of China.
Fasilitas itu akan menjadi pembangkit listrik tenaga batu bara pertama di Kenya, dan telah menghadapi perlawanan keras dari penduduk kabupaten Lamu sejak pemerintah Kenya mengidentifikasi Kwasasi sebagai lokasi untuk konstruksi.
Warga dan aktivis lingkungan hidup setempat khawatir akan dampak pembangkit listrik tenaga batu bara terhadap ekosistem laut yang rapuh di daerah itu, dan dipandang sebagai rencana yang tidak memadai untuk menangani abu batu bara yang beracun.
Pada akhir tahun 2016, warga dan aktivis lingkungan hidup setempat mengajukan banding terhadap Amu Power dan Otoritas Lingkungan Hidup Nasional, yang memberikan izin konstruksi tersebut.
Pada tanggal 26 Juni, Pengadilan Lingkungan Hidup Nasional, yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung Kenya, menangguhkan pembangunan fasilitas itu, dengan mengatakan bahwa izin yang dikeluarkan oleh Otoritas Lingkungan Hidup Nasional adalah ilegal dan memerintahkan agar dilakukan penilaian dampak lingkungan hidup dan sosial yang baru dari pabrik batubara.
Masalah Lingkungan Hidup
Pembangkit listrik tersebut akan dibangun sekitar 12,4 mil dari Kota Tua Lamu, sebuah pemukiman di pulau yang berusia 700 tahun yang telah dinobatkan sebagai situs Warisan Dunia oleh UNESCO.
Warga setempat, yang keluarganya telah tinggal di daerah itu selama beberapa generasi, khawatir akan dampak lingkungan hidup yang merugikan terhadap mata pencaharian, kualitas hidup, dan kebudayaan mereka.
Saat merayakan hasil petisi pengadilan, Mohammed Mbwana, wakil ketua Save Lamu – sebuah LSM yang membela masalah lingkungan hidup, hukum, dan sosial di sekitar Lamu, mengatakan bahwa perlu terlebih dahulu memprioritaskan dampak lingkungan hidup dari proyek itu.
“Bahkan hal tersebut bukanlah untuk kita, karena kita sudah tua, tetapi kita harus memikirkan generasi kita yang akan datang dan juga kehidupan di lautan maupun di darat,” kata Mohammed Mbwana.
Psamson Nzioki, seorang pencinta lingkungan hidup bersama dengan Transparansi Internasional-Kenya, mengatakan bahwa sangat disayangkan bahwa para pemimpin Kenya memilih untuk “membutakan dirinya sendiri” terhadap potensi kerusakan yang disebabkan oleh pabrik batu bara ke wilayah itu, dan memungkinkan orang Tiongkok untuk memajukan proyek tersebut.
“Para pemimpin Kenya harus bangkit dan melindungi negara dan lingkungan hidupnya untuk generasi sekarang dan mendatang,” kata Psamson Nzioki.
Adapun Ali Abdala Haji dan rekan-rekan petani di Kwasasi, mereka hanya berharap mata pencahariannya tidak akan hancur.
“Sebagai petani setempat yang telah bertani selama bertahun-tahun hingga kini, kami hanya akan menyambut proyek pembangunan yang baik oleh pemerintah kami, selama proyek tersebut tidak akan menghancurkan kehidupan kami dan pertanian yang menjadi sandaran kami untuk memperoleh makanan,” kata Ali Abdala Haji. (vv)
FOTO : Swaleh Elbusaidy, seorang pengacara lingkungan masyarakat di Save Lamu, menunjuk ke kejauhan untuk menjelaskan efek dari pabrik batubara terhadap lingkungan sambil berdiri di lokasi yang diusulkan untuk pabrik batubara pada 10 Juli 2019. (Dominic Kirui untuk The Epoch Times)