EtIndonesia. Soal isu KPK dan demonstrasi mahasiswa, presenter Najwa Shihab memberikan klarifikasi soal tuduhan antek orde baru. Putri dari tokoh Ulama Quraish Shihab itu mengatakan dirinya didiskreditkan lewat berbagai disinformasi.
Untuk diketahui, belum lama ini memang gencar beredarnya berbagai narasi soal isu demo yang marak baru- baru ini. Narasi yang beredar mulai adanya Taliban di KPK hingga demo bertujuan menggagalkan pelantikan Presiden terpilih.
Wanita yang dikenal dengan sapaan Nana itu mengatakan, foto dirinya dengan Tommy Soeharto, Lieus Sungkharisma dan Ichsanuddin Noorsy diedarkan kembali bersama capture-an sebuah berita berjudul “Kabar Mengagetkan, Najwa Shihab, Tommy Soeharto, Noorsy Dan Lieus Akhirnya Bersepakat Untuk….”
“Saya diframing sebagai antek Orde Baru karena bertemu Tommy Soeharto dan karena ayah saya, Prof. Quraish Shihab, pernah diangkat sebagai Menteri Agama di era Soeharto,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (27/09/2019).
“Tidak hanya itu, sikap editorial Narasi TV dan Mata Najwa terkait KPK juga di-framing sebagai bentuk konflik kepentingan saya dengan KPK karena suami saya, Ibrahim Assegaf, partner di lawfirm Assegaf Hamzah & Partners yang didirikan — salah satunya oleh — Chandra Hamzah, mantan komisioner KPK,” tambahnya.
Najwa menambahkan, foto yang beredar itu diambil pada 22 November 2017. Ketika itu, dirinya datang bersama kru Narasi TV, termasuk CEO dan Pemimpin Redaksi Narasi TV saat itu yaitu Catharina Davy dan Olivia Rosalia.
Ia menjelaskan, adapun tujuan pertemuan itu, untuk menjajaki sekaligus mengundang kehadiran Tommy di Catatan Najwa. Tommy saat itu diundang dalam status sebagai pendiri Partai Berkarya yang baru saja lolos verifikasi KPU dan dinyatakan sebagai peserta Pemilu 2019.
Nana memaparkan, Tommy menyatakan kesediaannya saat itu, namun perlu mencari jadwal yang tepat. Tommy berkali-kali menunda jadwal yang sempat disepakati. Tommy baru bisa diwawancarai di kediamannya pada 5 Juli 2018. Sedangkan hasil wawancara itu tayang di Mata Najwa pada 11 Juli 2018 dengan tajuk “Siapa Rindu Soeharto”.
Lebih rinci, Najwa menjelaskan Tommy muncul dalam tiga segmen pertama. Dalam tiga segmen itu, dirinya menyoal sejumlah topik penting terkait rekam jejak Tommy dan kasus-kasus korupsi serta pelanggaran HAM yang dilakukan ayahandanya. Adapun Segmen 1 dibuka dengan memperkenalkan Tommy sebagai “dalang pembunuhan Hakim Syaifuddin”. Ia juga mencecar klaim Tommy soal masyarakat merindukan era Orde Baru di segmen ketiga.
Selain Tommy, hadir narasumber lain seperti Priyo Budi Santoso sebagai Sekjen Partai Berkarya. Ketika itu, Najwa juga mengundang Haris Azhar, seorang pegiat HAM, untuk menguji klaim-klaim yang disodorkan Tommy maupun Priyo.
Najwa menjelaskan apa yang disematkan kepada dirinya adalah benar-benar kabar bohong. Tujuannya semata untuk menyerang. Bahkan, sama sekali sebagai karangan belaka dengan menyebarkan desas-desus tak jelas.
“Disinformasi yang disebarkan adalah serangan personal yang jahat. Tuduhan “antek Orde Baru” sama sekali tidak berdasar karena sikap saya jelas dalam menyangkut warisan-warisan Orde Baru. Tidak terbilang produk-produk jurnalistik Mata Najwa yang berisi sikap kritis terhadap Orde Baru dan itu juga tercermin dalam episode “Siapa Rindu Soeharto?,” tulisnya.
Ia menyatakan, sangat keberatan sikap personal dirinya sebagai jurnalis dikait-kaitkan dengan keluarganya. Selain personal, disinformasi ini juga merupakan serangan terhadap kerja-kerja jurnalistik.
“Tidak terbilang cacian terhadap media yang memberitakan topik mengenai revisi UU KPK dan demonstrasi mahasiswa minggu lalu. Saya, Mata Najwa dan Narasi TV tidak sendirian dalam hal ini,” tambahnya.
Ia mengatakan, kritik kepada pers jelas diperbolehkan, bahkan penting, bagi demokrasi, juga bagi pers. Tidak ada pers yang sempurna. Tetapi jika yang dilakukan adalah serangan personal, ad hominem, apalagi hingga membawa-bawa keluarga, persoalannya menjadi sangat berbeda.
Seseorang menulis serangan kepada dirinya sebagai kill the messenger. Najwa menyatakan, menghargai pendapat tersebut, kendati sejujurnya dirinya tidak berpikir sejauh itu karena ia masih bisa bekerja dan beraktifitas seperti biasa.
Najwa menganggap hal demikian sebagai sesuatu yang kontraproduktif bagi usaha merawat ruang publik yang sehat, yang menghargai perbedaan pendapat, yang mana tidak dicemari oleh doxing, disinformasi, dan pembunuhan karakter.
Menurut Najwa, kini hari-hari Indonesia memang sedang dilanda kompleksitas persoalan. Hal itu hendaknya disikapi dengan memperbanyak dialog: antara para elit dengan warga, antara warga dengan warga, antara sesama kita.
Dalam episode Mata Najwa terakhir, bahkan ia membuka topik tentang perlunya pemerintah berdialog dengan para mahasiswa yang saat itu ia undang. Bahwa pertemuan itu batal adalah persoalan lain.
“Saat itu saya hanya membuka kemungkinan hadirnya percakapan yang setara karena saya percaya pers punya tanggungjawab merawat ruang publik sebagai arena yang terbuka bagi perdebatan, aneka pikiran, ragam kegelisahan, hingga kekecewaan,” pungkasnya. (asr)