Li Silu
Seminggu menjelang hari ulang tahun 1 Oktober 2019 yang mencemaskan Komunis Tiongkok, tiba-tiba media massa Amerika Serikat mengungkap bahwa akan ditempuh pukulan ekonomi yang lebih keras lagi terhadap Komunis Tiongkok. Itu terjadi setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mendapat informasi soal Dewan Perwakilan Rakyat yang dikuasai oleh Partai Demokrat yang berniat mengadakan investigasi guna memakzulkan presiden
Pukulan keras itu adalah: Delisting perusahaan Tiongkok dari bursa efek Amerika Serikat. Tindakan ini dianggap, bagi Komunis Tiongkok yang posisi pasifnya belum pulih dari perang dagang, kembali akan menghadapi perang baru yang akan dikobarkan Trump yakni: Perang Finansial.
Investigasi pemakzulan oleh kongres Amerika Serikat dan membuat perusahaan Tiongkok delisting dari bursa efek Amerika Serikat sepertinya adalah dua hal yang berbeda. Namun tokoh kunci yang terlibat dalam pemakzulan adalah pesaing terbesar yang berhadapan dengan Trump dari Partai Demokrat dalam Pilpres 2020 yakni mantan Wakil presiden Amerika Serikat Joe Biden dan putranya Hunter Biden.
Sebelumnya Trump terus menghimbau agar dilakukan investigasi terhadap perusahaan pendanaan milik keluarga Biden yang menerima dana raksasa dari Beijing, Tiongkok.
Perusahaan Tiongkok yang listing di bursa efek Amerika Serikat telah menjadi ancaman bagi para investor Amerika dan kepentingan keamanan nasional Amerika. Itu sudah bukan hal baru di kalangan berkuasa maupun oposisi Amerika Serikat. Akan tapi saat sikap Trump mereda terhadap perundingan dagang kedua pihak, tiba-tiba terungkap, Trump akan bertindak keras terhadap Komunis Tiongkok. Di pasar keuangan tersebar analisa, sangat mungkin itu dikarenakan bayangan seram setelah melihat investigasi pemakzulan ini berasal dari Komunis Tiongkok.
Pada 24 September pagi hari, baru saja Presiden Trump menyampaikan pidato di Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa – PBB, telah memperingatkan Beijing harus menghormati demokrasi di Hongkong, dan menaati setengah hak otonomi milik Hongkong yang diberikan dalam “Sino-British Joint Declaration”.
Di sore hari yang sama, ketua Partai Demokrat yang menguasai Dewan Perwakilan Rakyat yakni Nancy Pelosi mengumumkan Dewan Perwakilan Rakyat akan mengadakan investigasi pemakzulan terhadap Presiden Trump.
Terhadap sikap Pelosi yang berubah setelah 2 tahun terakhir tidak tergerak oleh himbauan internal Partai Demokrat untuk melakukan pemakzulan, perubahan sikap yang mendadak itu, dinilai oleh media massa Amerika Serikat sebagai: Pemakzulan yang bukan pemakzulan yang sesungguhnya, melainkan berniat memengaruhi Pilpres 2020.
Walaupun juru bicara terkenal Kementerian Luar Negeri Tiongkok yakni Geng Shuang di konferensi pers pada 25 September 2019 lalu menolak memberikan komentar terhadap investigasi pemakzulan tersebut, namun media massa Tiongkok justru serempak bersorak atas investigasi pemakzulan yang melibatkan Partai Demokrat.
Representatif media partai Komunis Tiongkok sekaligus editor surat kabar “Global News” bernama Hu Xijin di akun Weibo-nya mengatakan bahwa “telah terjadi peristiwa luar biasa”. Menyatakan pemakzulan tidak akan lolos di tingkat senat yang didominasi Partai Republik. Tapi proses investigasi yang lebih lama justru akan membawa lebih banyak masalah bagi Trump, dan itu akan membentuk kendala cukup kuat baginya untuk menjabat kembali.
Trump: Xi Jinping Inginkan “Sleepy Joe” Jadi Presiden
Di saat Komunis TIongkok mendapati berbagai cara yang sering mereka kerahkan seperti menyuap, menyusup, menakuti dan lain-lain tidak efektif terhadap Trump, maka strategi diubah menjadi bagaimana mengarahkan warga pemilih Amerika Serikat, membuat Trump kalah pada Pilpres 2020.
Pada pemilu paruh waktu Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat tahun 2018, pada surat kabar paling berpengaruh di negara bagian Iowa yang diperebutkan sengit oleh kedua partai, telah membiarkan media resmi Komunis Tiongkok “China Daily” membuat empat halaman penuh iklan. Iklan itu memuat konten yang menuding Trump mengobarkan perang dagang dan merugikan kepentingan para petani Amerika Serikat.
Setelah itu Komunis TIongkok menempuh taktik plin-plan dalam perundingan dagang, dengan sengaja mengulur waktu ditandatanganinya kesepakatan dagang, dengan maksud diundur hingga Pilpres 2020 telah lewat. Jika Trump kalah, maka Komunis TIongkok dapat menerapkan strategi lama kembali menyusup dan mengendalikan Amerika.
Trump melihat ambisi Beijing yang belum padam. Berulang kali di akun Twitter maupun dalam pidatonya memperingatkan Komunis TIongkok bahwa dirinya pasti akan menang dalam Pilpres 2020. Jika Komunis TIongkok berniat mengulur perundingan dagang sampai terpilihnya kembali dirinya, maka sanksi yang akan dihadapi akan jauh lebih berat.
Pada 12 September 2019 lalu, dalam pidato Trump di Rapat Besar Partai Republik di Maryland, dengan cara parodi menyimpulkan jika Biden memenangkan Pilpres 2020, bagaimana ia akan bertransaksi dengan Xi Jinping?
Trump berkata, “Xi Jinping ingin mengarahkan ‘Sleepy Joe.’ Ia ingin membuat ‘Sleepy Joe’ terpilih menjadi presiden, bisakah kalian membayangkan mereka berdua di dalam satu ruangan?”
Kemudian Trump meniru aksi Xi Jinping berkata pada Biden, “Tanda tangan disini saja, Sleepy Joe! Tanda tangan disini! Persis seperti yang kalian lakukan selama 25 tahun terakhir ini. Biarkan kami setiap tahun meraup USD 500 milyar dari rekening kalian. Dan biarkan kami terus memanfaatkan uang milik Amerika Serikat untuk membangun Tiongkok.”
Kedua Partai di Senat Saling Tekan, Batasi Institusi AS Berinvestasi di Bursa Tiongkok
Sementara itu, anggota senat Partai Republik Marco Rubio pada bulan Juni 2019 lalu mengajukan suatu Rancangan Undang Undang – RUU, yang memperketat pengawasan terhadap perusahaan Tiongkok yang terdaftar di bursa efek Amerika, dan mengeliminasi perusahaan yang belum bisa memenuhi kriteria.
Tindakan itu memicu persaingan kedua partai pada kongres Amerika Serikat, menekan lembaga keuangan Amerika untuk membatasi investasi di bursa efek Tiongkok. Para anggota senat dan kongres Amerika Serikat juga meminta Presiden Trump agar membatasi dana pensiunan Amerika dan para pengelola dana berinvestasi pada perusahaan swasta Tiongkok, serta memasukkan BUMN milik Tiongkok ke dalam daftar hitam.
Selama beberapa tahun terakhir, perusahaan Tiongkok telah melakukan aksi ekspansinya di dua bursa efek terbesar di Amerika.
Menurut berita oleh Reuters, hingga Februari tahun ini, jumlah perusahaan Tiongkok yang terdaftar di dua bursa efek terbesar Amerika Serikat yakni NASDAQ dan NYSE mencapai 156 perusahaan. 11 di antaranya adalah perusahaan BUMN milik Tiongkok.
Begitu berita tentang delisting perusahaan Tiongkok dari bursa efek Amerika terungkap, tiga indeks saham Amerika terbesar rontok berbarengan. Banyak saham Tiongkok yang listing di bursa efek Amerika juga ikut rontok.
Dalam semalam bursa saham Amerika Serikat menguap USD 282,2 milyar setara dengan 4.011 triliun rupiah. Sementara saham Tiongkok juga menguap USD 43,6 milyar setara dengan 620 triliun rupiah, antara lain nilai saham Alibaba menguap sebesar USD 23,5 milyar atau setara dengan 334 triliun rupiah dan merupakan saham yang terbesar penurunannya.
Tapi juru bicara Kementerian Keuangan Amerika Serikat mengatakan, pemerintah Amerika saat ini tidak mempertimbangkan untuk mencegah perusahaan Tiongkok melakukan listing di berbagai bursa efek yang ada di Amerika Serikat.
SUD/whs