Eva Pu – The Epochtimes
Pop Star Hong Kong, Denise Ho disambut dengan tepuk tangan meriah pada 24 Oktober di Balai Kota New York City, Amerika Serikat, dalam acara Oslo Freedom Forum.
Ketika itu, dirinya dan 10 orang aktivis lainnya menceritakan pengalaman mereka melawan rezim yang represif. Denis Ho telah lama menjadi pendukung untuk gerakan pro Demokrasi Hong Kong.
Mengutip dari The Epochtimes, Denise Ho mengatakan, siapa yang mengira bahwa Hong Kong yang dikenal kota keuangan di mana orang-orang sebelumnya hanya datang sesekali untuk menggelar aksi protes. Kini, akan menjadi ikon ketahanan global yang paling simbolis pada tahun 2019 ini.
Ho menunjukkan foto demi foto dari luka-luka pengunjuk rasa selama bentrokan dengan aparat kepolisian. Aparat terus meningkatkan agresi mereka ketika aksi protes terus berlangsung. Seorang jurnalis dan orang pertama yang mengalami kebutaan setelah ditembak oleh peluru polisi. Korban lainnya, pemuda berusia 18 tahun ditembak dari jarak dekat. Kini, demonstran menjadi target kejaran polisi. Pemrotes dipukuli karena hanya mengenakan perlengkapan demonstrasi.
Polisi telah menembakkan ribuan tabung gas air mata dan menangkap lebih dari 2.600 orang sejak aksi protes dimulai.
Ho, penyelenggara rapat umum Jimmy Sham, dan anggota parlemen setempat, semuanya mengalami serangan karena dukungan mereka terhadap aksi protes.
Denis Ho menjelaskan, dalam waktu hanya empat bulan, warga telah menjadikan Hong Kong menjadi sangat berbeda. Sedangkan tuntutan warga sudah jelas dan sangat sederhana sejak hari pertama demonstrasi digelar. Warga Hong Kong hanya menginginkan keadilan, kebebasan dan reformasi.
Dia, menambahkan bahwa banyak warga Hongkong percaya bahwa RUU ekstradisi adalah jerami terakhir dalam pertempuran antara dua sistem nilai yang berbeda. Yakni, rezim otoriter daratan dan satunya yang sudah bergerak menuju demokrasi dan memiliki aturan hukum.
Denis Ho mengatakan, Komunis Tiongkok tidak bisa memahami mengapa Hong Kong menolak mundur. Ia menjelaskan, bukan hanya sebagai kota Tionghoa. Hong Kong adalah kota yang sangat beragam, merangkul berbagai budaya. Warga Hong Kong telah memegang teguh institusi transparan, sistem legislatif, yudisial dan kebebasan berekspresi.
Ketika hak-hak tersebut direnggut dari warga, meskipun warga Hong Kong belum dikenal sebagai elemen pembangkang. Maka, warga akan melawan, dan berjuang dengan gigih. Perjuangan warga Hong Kong, bukan hanya antara Hong Kong dan Beijing, tetapi antara tirani dan dunia yang bebas.
Sama seperti dengan caranya terhadap Hong Kong, Denis Ho menyampaikan bahwa rezim Komunis Tiongkok “bekerja sangat keras untuk mendorong aturan dan prioritas mereka” di Barat. Ia menyebut kasus NBA, Blizzard, Vans, dan Apple di antaranya yang terbaru. Hal demikian sebagai contoh perusahaan AS yang menyerah kepada tekanan politik Beijing. Bahkan, membungkam diri mereka sendiri terkait Hong Kong.
Artis Hong Kong itu mengatakan, bagi siapa pun yang percaya bahwa dunia harus bebas dan terbuka,maka hal demikian telah menunjukkan alarm peringatan.
Denis Ho memimpin kerumunan massa dengan teriakan “Rebut kembali Hong Kong, revolusi waktu kita,” slogan yang populer di Hong Kong. Sebelum ia menyanyikan lagu Kanton berjudul “Polar.” Lagu itu, menggambarkan orang-orang yang memulai dalam perjalanan mencari cahaya, sementara dikelilingi oleh kegelapan.
Hong Kong adalah bekas jajahan Inggris. Kota itu dikembalikan ke pemerintahan Komunis Tiongkok pada tahun 1997 silam. Ketika itu, dengan jaminan tetap mempertahankan tingkat kebebasan dan otonomi yang sama selama setengah abad berikutnya.
Sejak Juni lalu, jutaan warga Hong Kong turun ke jalan menentang RUU ekstradisi yang kini sudah dicabut. Warga Hong Kong menilai RUU itu sebagai pintu gerbang bagi Komunis Tiongkok untuk semakin mengganggu urusan Hong Kong.
Tuntutan pemrotes telah diperluas untuk memasukkan seruan reformasi demokrasi yang lebih besar dan hak pilih universal.
Meskipun Pemerintah Hong Kong secara resmi telah mencabut RUU itu, tetapi bagi banyak orang keputusan tersebut sudah terlambat.
Kini, Hong Kong digegerkan dengan insiden maraknya kasus kematian yang diklaim aparat sebagai kasus bunuh diri. Tentunya, klaim tersebut menambah kecurigaan lebih luas. Orang-orang yang meninggal dunia itu diduga tewas karena dianiaya aparat. (asr)
FOTO : Denise Ho di Oslo Freedom Forum di New York, N.Y., pada 23 Oktober 2019. Layar di latar belakang menunjukkan Ho diserang dengan cat merah. (Edwin Huang / The Epoch Times)