The Epochtimes
Lebih dari 20 persen perusahaan Jerman yang beroperasi di Tiongkok berencana untuk merelokasi produksinya dari negara Asia. Laporan itu menurut sebuah studi pada 12 November yang dirilis oleh Kamar Dagang Jerman di Tiongkok.
Sebanyak dua puluh tiga persen dari 526 perusahaan anggota yang merespon survei tersebut. Perusahaan-perusahaan itu ternyata telah membuat keputusan atau sedang mempertimbangkan untuk memindahkan kapasitas produksi mereka. Jumlahnya perusahaan yang merespon meningkat mencapai 19 persen dibandingkan pada tahun lalu.
Di antara perusahaan yang telah memutuskan untuk angkat kaki atau berencana untuk melakukannya, sebanyak 71 persen mengaitkan alasan kenaikan ongkos, termasuk biaya tenaga kerja, 33 persen mengatakan karena lingkungan kebijakan yang tidak menguntungkan, 25 persen mengatakan karena perang dagang Sino-AS dan 22 persen menunjukkan soal hambatan akses ke pasar.
Perusahaan-perusahaan tersebut dapat memilih lebih dari satu alasan dalam survei itu.
Adapun tujuan relokasi yang disukai, Asia Tenggara sebagai pilihan utama dengan porsentase 52 persen, diikuti oleh India mencapai 25 persen, dan Amerika Serikat pada 5 persen.
Secara keseluruhan, perang dagang dan perlambatan ekonomi Tiongkok, membuat munculnya kepercayaan bisnis terendah selama bertahun-tahun. Sebanyak 83 persen dari perusahaan yang disurvei mengatakan, mereka secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh perang dagang.
Hanya 27 persen dari perusahaan yang disurvei mengatakan, mereka berharap untuk mencapai atau melampaui target bisnis mereka pada tahun 2019 ini.
Menurut Reuters, Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) kuartal ketiga Tiongkok 6 persen pada year on year, tingkat paling lambat sejak kuartal pertama Tahun 1992 silam, dan turun dari kuartal sebelumnya dari pertumbuhan 6,2 persen.
Ekonom menilai, penurunan pertumbuhan ini disebabkan kelemahan dalam industri terkait ekspor, khususnya sektor manufaktur.
Jens Hildebrandt, Direktur Eksekutif Kamar Dagang Jerman di Tiongkok dalam sebuah pernyataan mengatakan, pada tahun depan “kemungkinan akan ditandai oleh ketidakpastian, yang berasal dari perang dagang AS – Tiongkok. Yang mana, belum terselesaikan terkait dengan perlambatan ekonomi Tiongkok dan global.
Perusahaan-perusahaan Jerman juga mengatakan mereka menghadapi banyak tantangan bisnis di Tiongkok. Hampir dua dari tiga perusahaan yang disurvei mengatakan, mereka telah mengalami pembatasan akses pasar secara langsung atau tidak langsung.
Contoh dari pembatasan tersebut adalah: kesulitan dalam memperoleh lisensi, sertifikasi, atau persetujuan produk. Selain itu, diskriminasi selama proses penawaran dan tender untuk proyek, kurangnya partisipasi dalam pengembangan standar industri.
Faktor lainnya adalah pembatasan pasar yang ditetapkan oleh daftar negatif Tiongkok, yang menetapkan sektor-sektor terlarang bagi investasi asing.
Media corong pemerintahan komunis Tiongkok, Xinhua, mengklaim bahwa Beijing baru-baru ini mempersingkat daftar negatif untuk investasi asing menjadi 40 item dari 48 item. Misalnya, pembatasan kepemilikan dalam layanan telekomunikasi dan hiburan telah dihapus.
Perusahaan-perusahaan Jerman juga mengidentifikasi dua tantangan utama lainnya yakni kerangka peraturan yang tidak pasti dan tidak jelas sebanyak 54 persen dan persyaratan transfer teknologi sekitar 48 persen.
Pada bulan Maret lalu, laporan kongres AS menunjukkan bahwa AS dan perusahaan asing lainnya saat ini “memiliki beberapa pilihan” di luar membentuk usaha patungan dengan perusahaan-perusahaan Tiongkok. Hal demikian terkait pertukaran untuk akses ke pasar Tiongkok, di mana perusahaan-perusahaan itu harus memberikan kekayaan intelektual dan teknologi mereka kepada mitra Tiongkok mereka.
Studi Jerman juga menunjukkan, bahwa perusahaan-perusahaan Jerman telah berinvestasi sekitar 89 miliar dolar AS dan menciptakan lebih dari satu juta pekerjaan di Tiongkok. Namun demikian, 37 persen mengatakan upaya Tiongkok untuk “menyamakan kedudukan” bagi perusahaan asing tidak cukup.
Kamar Dagang Jerman mengungkapkan, memiliki 2.300 perusahaan anggota, terdiri sekitar 50 persen dari semua perusahaan Jerman tersebut berada di Tiongkok. (asr)