oleh James Gorrie
Ekonomi melesu dan ketidakstabilan meningkat, dapat mendorong kepemimpinan Komunis Tiongkok kepada strategi petualangan ke luar negeri. Strategi itu digunakan sebagai jalan keluar dari krisis atas legitimasi Komunis Tiongkok.
Komunis Tiongkok sedang dalam kondisi krisis. Hal demikian mungkin terlihat berlebihan, tetapi sebenarnya tidak sama sekali. Komunis Tiongkok sedang menghadapi tantangan terbesar pada kepemimpinannya sejak insiden Lapangan Tiananmen pada tahun 1989 silam.
Faktanya, risiko terhadap legitimasi Komunis Tiongkok bahkan lebih meningkat pada hari ini. Pasalnya, Komunis Tiongkok hanya dapat mengandalkan peningkatan tingkat ekspor ke Barat dan investasi langsung darinya. Tetapi, bukan itu masalahnya.
Perang dagang telah membantu membongkar dan memperburuk beberapa celah mendalam yang ada dalam hubungan antara rakyat Tiongkok dan kepemimpinan mereka.
Keretakan ketidakpuasan itu telah ada di sana jauh sebelum Trump hadir. Akan tetapi, ketika menjadi tumbuh lebih nyata, menimbulkan konsekuensi yang berpotensi menjadi bom waktu bagi Tiongkok dan kepemimpinannya.
Ketidakpuasan Komunis Tiongkok Menyakiti Loyalitas Partai
Keretakan yang terjadi tentu saja bukan hanya tentang Hong Kong atau bahkan Taiwan, meskipun keduanya adalah faktor yang pasti.
Lebih konkretnya, itu adalah keterasingan mendalam yang dirasakan oleh sebagian besar penduduk daratan Tiongkok sehubungan dengan Komunis Tiongkok. Yang mana merupakan ancaman yang jelas. Bahkan kini, sebagai ancaman stabilitas domestik. Apalagi, hal demikian bukan lagi sebuah rahasia di Tiongkok; semua penduduk sudah mengetahuinya.
Komunis Tiongkok tentu saja memahami posisi yang dihadapinya sekarang, bahwa sedang melemah di dalam pikiran para subyeknya.
Dalam pidato di depan Kongres Nasional pada bulan Maret tahun ini, Perdana Menteri Li Keqiang, mengakuinya secara jujur. Ia mengatakan bahwa, “Ketidakstabilan dan ketidakpastian meningkat secara nyata dan risiko yang ditimbulkan secara eksternal sedang meningkat.”
Li Keqiang juga mengakui bahwa masalah Tiongkok adalah “sejenis yang jarang terlihat selama bertahun-tahun.”
Dengan demikian, Komunis Tiongkok menghadapi ketidakpuasan publik yang tumbuh di berbagai bidang. Tidak hanya soal ekonomi, meskipun faktor itu sangat dominan. Dikarenakan, pertumbuhan ekonomi merupakan pusat klaim Komunis Tiongkok atas legitimasi politik.
Kritik tambahan termasuk praktek korupsi negara yang merajalela, seperti pencurian properti dan bisnis negara, polusi yang tidak terkendali, layanan sosial yang buruk, termasuk tunjangan kesehatan dan pengangguran, serta banyak keluhan lainnya.
“Obat” Komunis Tiongkok untuk penyakit yang diderita negara, bagaimanapun, mungkin sama buruknya. Jika tidak lebih buruk, daripada penyakitnya.
Kekuatan dengan Biaya Berapapun adalah Prioritas Komunis Tiongkok
Beberapa orang mungkin masih percaya bahwa pertumbuhan ekonomi adalah prioritas utama Komunis Tiongkok, akan tetapi tidak samasekali.
Tetap berada dalam kekuasaan adalah prioritas utama Komunis Tiongkok, menguasai ketidakstabilan internal adalah kunci untuk melakukannya.
Memberikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan telah menjadi jantung dari upaya itu selama beberapa dekade. Akan tetapi, kini sudah tidak lagi terjadi. Lintasan ekonomi Tiongkok tetap menurun, setidaknya dalam waktu dekat.
Kenyataan itu hanya mempercepat masalah Tiongkok dan juga reputasi Komunis tiongkok yang kian memburuk. Hal demikian menjelaskan kontrol negara yang berkembang atas penduduk melalui “sistem kredit sosial” yang mencakup peningkatan pengawasan dan kekuatan hukuman.
Hal demikian, mungkin juga menjelaskan mengapa, setelah 40 tahun pemerintahan Komunis Tiongkok dengan konsensus, bahwa Komunis Tiongkok telah mengizinkan Xi Jinping untuk mengambil jubah pemimpin tertinggi, peran yang terakhir dipegang oleh Mao Zedong.
Mereka mungkin telah memutuskan bahwa satu hal, tentang adanya kepribadian yang kuat dan karismatik, akan menghasilkan lebih banyak kesetiaan daripada suatu dewan para tetua berwatak apatis tanpa kepribadian. Tetapi, langkah itu turut menimbulkan dengan risiko yang juga serius.
Mengkonsolidasikan kekuatan ke tangan satu orang, menurut definisi, merupakan faktor destabilisasi. Saluran-saluran informasi dan proses pengambilan keputusan dipersempit, perspektif awan paranoia politik dan penyelamatan diri mungkin datang dengan mengorbankan kebaikan yang lebih besar. Contoh-contoh sejarah dari ekses berbahaya dari aturan satu orang sudah banyak terjadi.
Terlebih lagi, beralih ke cara lama untuk menciptakan “pertumbuhan ekonomi” melalui pembangunan yang berlebihan juga akan terbukti sia-sia. Lebih lanjut, mendistorsi harga dan memicu penggelembungan tanpa memberikan manfaat ekonomi yang berkelanjutan. Membangun lebih banyak jalan ke mana-mana dan kota-kota yang kosong, tidak akan merevitalisasi ekonomi Tiongkok.
Tekanan Akan Mengecilkan PDB Tiongkok dan Meningkatkan Ketidakstabilan
Lebih jauh, klaim Komunis Tiongkok bahwa hanya dengan cara itu yang bisa membimbing Tiongkok menuju masa depan yang makmur, sambil mengakui bahwa segala sesuatunya menjadi lebih buruk adalah pil yang sulit untuk ditelan masyarakat.
Tidak diragukan lagi, cara itu adalah upaya untuk menumpuk kesabaran dan dukungan publik yang berkelanjutan untuk Komunis Tiongkok. Tetapi memesan tingkat kontrol yang diperluas atas ekonomi dan penindasan yang lebih besar dari ekspresi politik dan agama, tentunya dalam menghadapi kondisi yang memburuk juga tidak akan meningkatkan angka Produk Domestik Bruto.
Kenyataannya adalah bahwa ketika dampak perang dagang dengan Amerika Serikat semakin mendalam dan menyebar kepada ekonomi, kondisinya akan terus menurun.
Pendekatan totaliter Komunis Tiongkok hanya akan menyebabkan ketidakstabilan yang lebih besar. Selain itu, menghasilkan lebih banyak keresahan. Komunis Tiongkok menemukan dirinya dalam kondisi spiral ke bawah yang memburuk.
Memainkan Kartu Agresi Asing
Seperti dicatat dalam tulisan saya beberapa waktu sebelumnya, inisiatif “One Belt, One Road” China atau OBOR, juga dikenal sebagai Belt and Road, telah menjadi bagian dari upaya Komunis Tiongkok untuk memperluas jejak ekonomi, politik dan budaya.
Akan tetapi, langkah itu belum memberikan sumber daya dan pertumbuhan ekonomi yang diperlukan untuk mengimbangi tantangan ekonomi saat ini. Langkah itu juga tidak akan memanipulasi data PDB untuk konsumsi publik, cukup untuk mengubah kenyataan di lapangan.
Ketika kondisinya semakin memburuk, Komunis Tiongkok tentu saja akan memohon nasionalisme Tiongkok melawan Amerika Serikat. Yang mana biasanya, Amerika Serikat selalu digambarkan atau dinarasikan sebagai orang asing yang suka campur tangan dan jahat. Itulah yang menjadikan Hong Kong dan Taiwan, sebagai alat propaganda yang baik sekali dan kuat.
Pertimbangkan, misalnya, bahwa pendapatan per kapita Taiwan hampir dua setengah kali lipat dari daratan Tiongkok, sementara Hong Kong hampir empat kali lebih tinggi. Realitas sederhana ini adalah bukti yang tidak dapat disangkal, bahwa Komunis Tiongkok tidak diperlukan di Tiongkok untuk rakyat dan negara jika demi sebuah kemakmuran.
Akan tetapi alih-alih mengubah sistem politik dan ekonomi sebagai tanggapan terhadap fakta itu, yang mana tentunya akan berarti penghapusan Komunis Tiongkok dari Tiongkok. Komunis Tiongkok lebih memilih untuk mengubah fakta sebenarnya.
Baik Taiwan dan Hong Kong bersekutu dengan Barat, khususnya, Amerika Serikat. Warga Hongkong yang mengibarkan bendera Amerika dan memohon kepada Amerika Serikat untuk perlindungan terhadap segala tindakan keras yang dilakukan oleh Komunis Tiongkok, telah memberikan Komunis tiongkok semacam kertas yang sempurna yakni kembalinya ancaman intervensi asing di Tiongkok.
Situasi Taiwan, dengan aliansi de facto dengan Amerika Serikat, mungkin bahkan lebih merupakan katalisator untuk intervensi militer komunis Tiongkok daripada Hong Kong.
Xi Jinping secara eksplisit menyatakan bahwa “penyatuan kembali” dengan “provinsi yang membangkang” tidak bisa dihindari. Kebijakan agresif pemerintahan Trump mungkin telah mempercepat rencana itu.
Sejak Tahun 2016, Komunis Tiongkok sudah secara sistematis mengisolasi Taiwan dari sebagian besar sekutu regionalnya. Cara itu lebih dari sekadar hanya sebuah pesan. Caranya adalah upaya Komunis Tiongkok untuk mengatur meja politik regional sebelum mengambil tindakan politik, jika bukan militer terhadap Taiwan.
Tuduhan Komunis Tiongkok terhadap Amerika Serikat tentang narasi “mencampuri urusan dalam negeri Tiongkok” dan “merusak kedaulatannya” dengan penjualan senjata ke Taipei, menggarisbawahi narasi ini.
Bersamaan itu, ketika keadaan menjadi lebih buruk di Tiongkok, semakin banyak ketidakstabilan akan meningkat dan kesabaran orang-orang terhadap Komunis Tiongkok akan terus menurun.
Dinamika tersebut hanya akan memperdalam krisis terhadap Komunis Tiongkok. Bahkan membuat Tiongkok lebih mungkin beralih ke militerisme nasionalistik untuk mengalihkan fokus rakyat dari kondisi yang memburuk dan perjuangan mereka. (asr)
James Gorrie adalah penulis buku berjudul The China Crisis, opininya diterbitkan di The Epochtimes.