Cathy He – The Epochtimes
Krisis Hong Kong sudah memasuki babak baru The Path of No Return atau jalan tak bisa kembali. Itu ketika, Hong Kong telah mengalami ledakan kebrutalan aparat dan kekisruhan selama hampir enam bulan aksi protes massa bergulir.
Kini tingkat intensitas selama seminggu terakhir telah memicu kekhawatiran, bahwa krisis mungkin tidak akan pernah mencapai resolusi.
Melansir dari The epochtimes, krisis tersebut dimulai dengan kematian seorang mahasiswa 22 tahun pada 8 November, yang meninggal dunia karena luka-lukanya setelah jatuh dari garasi parkir. Ketika itu, di mana polisi telah menembakkan gas air mata untuk membubarkan para pengunjuk rasa.
Insiden itu adalah kematian pertama terkait dengan tindakan polisi terhadap gerakan pro-demokrasi. Kematiannya memicu gelombang protes selama akhir pekan.
Pada pagi hari tanggal 11 November, seorang pemrotes yang tidak bersenjata ditembak dalam jarak dekat. Tembakan dilakukan oleh seorang perwira polisi. Ia adalah demonstran ketiga terluka oleh peluru tajam yang ditembakkan oleh polisi.
Tembakan itu memicu gelombang kemarahan terbaru kepada pihak berwenang Hong Kong, ketika para pemrotes menyerukan pemogokan di seluruh kota dan mengganggu lalu lintas. Tujuannya untuk mencoba menekan pemerintah Hong Kong agar mendengarkan tuntutan mereka.
Ketegangan meningkat pada 12 November, ketika pengunjuk rasa dan polisi terlibat dalam kebuntuan selama berjam-jam hingga larut malam di Chinese University of Hong Kong (CUHK).
Polisi menembakkan sebanyak 1.567 tabung gas air mata, 1.312 butir peluru karet, dan 380 bean-bag bullets— sebagian besar di Chinese University of Hong Kong untuk membubarkan mahasiswa yang telah membuat blokade, melemparkan batu bata, dan melemparkan bom bensin untuk menjaga polisi dari kampus.
Sehari sebelumnya, polisi telah mendakwa Chinese University of Hong Kong, universitas lain, dan sebuah gereja untuk melakukan penangkapan. Tindakan tersebut adalah yang pertama kali ketika pihak berwenang memasuki properti itu untuk menindak para pengunjuk rasa.
Jason Ng, pengacara dan pencetus Kelompok Pengacara Progresif, kelompok pengacara lokal yang mengadvokasi untuk tujuan pro-demokrasi mengatakan, ketika semakin meningkatnya eskalasi baik dalam frekuensi maupun tingkatan, Itulah yang meresahkan. Dan membuatnya memburuk adalah tidak ada lagi akhir yang terlihat. “
Arahan Dari Beijing?
Pemerintah Hong Kong telah menyatakan, bahwa tindakan tersebut diklaim dapat mengakhiri krisis, berulang kali menyalahkan “perusuh” karena mengintensifkan situasi.
Pemimpin Hong Kong, Carrie Lam, pada konferensi pers baru-baru ini, sekali lagi bersumpah bahwa dia tidak akan menyerah pada tuntutan pemrotes. Apa yang disampaikan demonstran, meliputi hak pilih universal dan penyelidikan independen terhadap dugaan kebrutalan polisi terhadap pengunjuk rasa.
Pernyataan Lam disampaikannya setelah berkunjung ke Beijing pada awal November lalu. Hal demikian ketika pemimpin Komunis Tiongkok Xi Jinping dan pejabat tinggi Komunis tiongkok yang mengawasi urusan Hong Kong secara terbuka mendukungnya dalam menangani aksi protes.
Perjalanan itu dinilai oleh beberapa komentator sebagai tanda bahwa Lam menerima dukungan dari Beijing yang membuat sikapnya menjadi frontal terhadap para demonstran.
Jason Ng menilai, ada “perubahan luar biasa dalam perilakunya, baik dalam ucapan maupun tindakan,” sejak pertemuan Lam dengan para pemimpin Beijing. Retorika yang digunakan oleh Lam telah menjadi tanpa kompromi.
Jason Ng menambahkan bahwa tindakan polisi yang belum pernah terjadi sebelumnya selama seminggu terakhir, telah menunjukkan bahwa retorika seperti itu telah diimbangi dengan tindakan.
Dan Garrett, penulis buku “Counter-hegemonic Resistance in China’s Hong Kong: Visualizing Protest in the City,” melalui email kepada The Epoch Times edisi Amerika Serikat mengatakan, bahwa ada “pergeseran yang jelas” oleh otoritas Beijing dan Hong Kong ke arah keinginan untuk “menggunakan kekuatan mematikan” untuk menegaskan kembali kendali terhadap Hong Kong.
Dan Garrett mengungkapkan, kepemimpinan komunis di Beijing tampaknya telah memutuskan, bahwa pengiriman militer Komunis Tiongkok untuk memadamkan protes tidak akan dapat dipertahankan. Pasalnya, potensi serangan balik internasional. Oleh karena itu, mereka malah mengadopsi pendekatan polisi anti huru hara militerisasi untuk secara paksa memadamkan aksi protes.
Garrett menilai, cara itu membutuhkan kampanye secara agresif untuk membingkai para pemrotes sebagai ekstremis dan teroris yang menggunakan kekerasan luar biasa, akhirnya mengharuskan dan melegitimasi penggunaan kekuatan mematikan.
Rezim Komunis Tiongkok telah melakukannya selama berbulan-bulan. Para pejabat Komunis Tiongkok dan media yang dikelola pemerintah, sering membuat narasi para pemrotes sebagai penjahat dan “ekstremis.” Laporan media itu telah mendesak tanggapan keras oleh pemerintah setempat.
Geng Shuang, juru bicara kementerian luar negeri Komunis Tiongkok, pada jumpa pers reguler 13 November menyebut pengunjuk rasa dengan narasi “musuh rakyat.” Narasi tersebut adalah kerap digunakan pemimpin Hongkong dengan kata-kata yang sama untuk menggambarkan pengunjuk rasa.
Geng Shuang juga menegaskan kembali “dukungan tegas” rezim Beijing untuk pemerintah Hong Kong, polisi, dan pengadilan dalam mengambil yang disebutnya “langkah-langkah efektif untuk menghukum berat kegiatan ilegal dan kriminal.”
Garret menilai pada awal Juli lalu, bulan kedua aksi protes massa bergulir, ada indikasi oleh rezim Komunis Tiongkok akan mendorong respons polisi yang lebih kuat. Misalnya, editorial 22 Juli oleh surat kabar corong Komunis Tiongkok Global Times mengklaim, “Penyebab penting kekacauan Hong Kong terletak pada kekuatan polisi yang sangat terbatas.” Media tersebut juga menyerukan pencabutan “semua pembatasan” pada penegakan hukum.
Kemudian, para pejabat tinggi pada sidang pleno Partai Komunsi Tiongkok yang diadakan pada akhir Oktober lalu, juga menekankan perlunya “menyempurnakan” “sistem hukum dan mekanisme penegakan hukum” Hong Kong untuk “menjaga keamanan nasional.”
Arahan tersebut tercermin dalam pernyataan baru-baru ini yang dibuat oleh pejabat senior rezim Komunis Tiongkok, seperti Zhang Xiaoming, direktur Kantor Urusan Hong Kong dan Makau dalam Dewan Negara yang mirip kabinet, dalam sebuah artikel yang diterbitkan di situs resminya pada 9 November. mengatakan, bahwa memperkuat “kekuatan penegakan hukum” Hong Kong adalah tugas mendesak bagi pemerintah Hong Kong.
Kemarahan dan Keputusasaan
Aksi protes tidak menunjukkan tanda-tanda mengendur, dengan peningkatan kekerasan polisi dari hari ke hari yang memperburuk kekisurahan.
Media sosial dibanjiri dengan rekaman video yang menunjukkan contoh-contoh agresi polisi, termasuk petugas memukuli demonstran yang lemah, dan penonton dan wartawan dengan menyemprotkan merica.
Sebuah video viral baru-baru ini memperlihatkan seorang petugas polisi menyemprot wajah seorang wanita, setelah dia berhadapan dengannya. Petugas itu menyemprotnya lagi ketika dia mencoba untuk menghalau petugas. Beberapa petugas kemudian menjegalnya terkapar ke jalanan.
Polisi Hong Kong juga mendapat kecaman internasional. Senator AS Jim McGovern baru-baru ini menggambarkan, para perwira polisi berada “di luar kendali.” Sementara Senator Marsha Blackburn, menyebut penembakan polisi baru-baru ini sebagai “Tiananmen 2.0,” mengacu pada tindakan keras berdarah terhadap pengunjuk rasa mahasiswa 30 tahun silam di Lapangan Tiananmen.
Sebuah laporan pada September dari Amnesty International menemukan bahwa polisi telah terlibat dalam “pola yang mengganggu taktik sembrono dan melanggar hukum terhadap orang-orang selama aksi protes.”
Jason Ng mengingatkan, anda tidak bisa mengharapkan pengunjuk rasa hanya berguling dan membiarkan anda memukul mereka, membiarkan anda menangkap mereka, membiarkan anda bahkan menembak mereka dengan peluru tajam.
Tetapi semakin banyak pemrotes mendorong, semakin banyak alasan polisi harus menindak mereka. Jadi itu hanya menjadi seperti lingkaran setan.
Selain kemarahan publik, rasa putus asa yang tumbuh tampaknya telah menyebar di kalangan pengunjuk rasa. Seorang pekerja kantor bernama Chan kepada Epoch Times edisi Hong Kong, mengatakan dirinya sudah tidak berdaya dan ia kini sudah tidak mengetahui bagaimana mencapai cita-cita politiknya,
Dia ikut serta dalam demonstrasi di kawasan pusat bisnis pada 13 November.
Chan, seorang alumni Chinese University of Hong Kong, mengatakan ia memahami tindakan mahasiswa yang bentrok dengan polisi di universitas pada 12 November, salah satu konfrontasi paling intens sejak aksi protes massa dimulai.
Chan dengan menangis mengatakan, Mereka sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Mereka menggunakan jalan terakhir mereka.
Ia berharap pemerintah dapat secara serius mempertimbangkan tuntutan para pemrotes dan menyelesaikan krisis yang terjadi. Jika tidak, maka akan ada banyak korban. Hong Kong akan menuju jalan yang tidak bisa kembali.
Jason Ng percaya bahwa gerakan protes mungkin telah mencapai titik di mana itu “tidak akan pernah berakhir.” Bahkan jika kekisruhan mereda untuk sementara waktu, saat pemerintah bertindak dengan cara yang dianggap oleh para pemrotes sebagai tidak masuk akal, eskalasi lainnya akan terjadi. Selanjutnya, akan berubah menjadi “krisis bergulir di mana Hong Kong akan “mendidih terus-menerus selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun yang akan datang.” (asr)