Eva Pu – The Epochtimes
Setelah kubu pro-demokrasi Hong Kong mencetak kemenangan telak dalam pemilu pada Minggu 24 November, media pemerintahan komunis Tiongkok sebagian besar memilih bungkam. Bahkan mengabaikan berita tentang hasil pemilu dalam laporannya.
Respons media daratan sangat bertolakan dengan kampanye propagandanya yang berat menjelang pemilu. Laporan media-media tersebut cenderung memperingatkan warga Hongkong agar tidak memilih dan mendukung kelompok-kelompok pro-demokrasi.
Akan tetapi, pada faktanya warga Hong Kong dengan tingkat partisipasi tertinggi memberikan suaranya dengan kemenangan besar kepada partai-partai pro-demokrasi dalam pemilihan dewan distrik.
Kandidat demokratik memenangkan 388 dari 452 kursi distrik, dengan lebih dari 260 kursi ke kubu pro-demokrasi.
Lebih dari 2,94 juta warga Hongkong memberikan suara, dengan tingkat partisipasi pemilih mencapai 71,23 persen. Jumlah pemiih yang tinggi menghasilkan antrian berjam-jam dari TPS.
Pemungutan suara secara luas dilihat sebagai referendum tentang gerakan protes yang sedang berlangsung terhadap pengaruh pemerintahan Komunis Tiongkok.
Pemimpin Hong Kong Carrie Lam telah menolak untuk sepenuhnya menyetujui tuntutan demonstran selama hampir enam bulan protes pro-demokrasi. Walaupun ia pernah mengatakan, bahwa pemerintah akan “mendengarkan pendapat anggota masyarakat dengan rendah hati dan secara serius merefleksikannya.”
Sejak Juni lalu, para pemrotes telah mengajukan sejumlah tuntutan, termasuk hak pilih universal dan penyelidikan independen terhadap dugaan kebrutalan polisi terhadap para pemrotes.
Setelah pemilu, sejumlah netizen daratan Tiongkok menunjukkan perbedaan antara hasil pemilu dan apa yang telah digambarkan oleh mesin propaganda Komunis Tiongkok.
“Sungguh tamparan di wajah, ‘mayoritas bungkam’ Hong Kong pada 2019 telah menjadi lelucon terbesar,” tulis seorang pengguna medsos Weibo. Sindiran netizen itu merujuk pada istilah yang sering digunakan oleh media yang dikelola pemerintah untuk menggambarkan para pengunjuk rasa sebagai persentase kecil dari penduduk Hong Kong.
“Siapa yang mayoritas dan siapa yang minoritas sudah terlalu jelas,” demikian komentar netizen lainnya.
Hasil Pemilu Disensor
Berita tentang hasil pemilu tidak dilaporkan oleh media daratan Tiongkok, yang membatasi liputan mereka tentang agenda tersebut.
Outlet pemerintahan Xinhua melaporkan kesimpulan pemilu pada 25 November, yang kemudian diterbitkan ulang di beberapa outlet media besar Komunis tiongkok lainnya, termasuk Global Times, Sina, dan People’s Daily.
Laporan dari Hong Kong, menghilangkan berita tentang hasil pemilu, hanya mencatat ketika pemilu dibuka dan ditutup. Laporan juga menyebutkan bahwa anggota dewan dari 18 distrik “semuanya telah hadir.” Laporan menambahkan bahwa “sentimen sosial yang tegang” “secara serius mengganggu proses pemilihan.”
Laporan media-media itu juga menyebutkan, “Memulai lagi ketertiban masih menjadi tugas yang paling mendesak bagi Hong Kong.”
Sekitar tengah malam pada hari yang sama, media pemerintahan Komunis tiongkok lainnya seperti Xinhua dan China Daily, memuat artikel yang mengecam Amerika Serikat karena meloloskan RUU HAM Hong Kong beberapa hari sebelumnya untuk mendukung demonstran Hong Kong.
China Daily dalam beberapa laporan pada 25 November dan 26 November, memilih untuk fokus pada reaksi dari pejabat Hong Kong dan Komunis Tiongkok terhadap pemilu tanpa melaprokan ke hasil pemilu.
Hu Xijin, editor surat kabar milik pemerintahan Komunis Tiongkok Global Times, mengatakan dalam video 25 November bahwa mereka “harus mendorong partai pro-pemerintah untuk tidak berkecil hati.”
Surat kabar itu dalam tajuk rencana pada 25 November juga melaporkan dengan narasi bahwa pemilihan distrik telah berlangsung dalam suasana “abnormal.” Media itu menambahkan bahwa pemilihan dilokalisasi dan dengan demikian memiliki pengaruh politik yang terbatas.
Editorial itu mengklaim dengan narasi, bahwa terlepas dari hasil pemilihan, mereka hanyalah pemilihan “di bawah pemerintahan Republik Rakyat Tiongkok.” Laporan tersebut hanya menambahkan bahwa” tanah dan langit Hong Kong selamanya akan menjadi milik Tiongkok. “
Memutarbalikkan Narasi
Menjelang pemilu, media pemerintah Komunis Tiongkok fokus kepada meluncurkan retorika terhadap pendukung demokrasi Hong Kong.
Penyiaran pemerintahan Komunis Tiongkok CCTV pada 23 November meminta orang-orang “menggunakan suara untuk mengekang kekerasan,” memperingatkan bahwa warga Hongkong akan “mencicipi obat mereka sendiri” jika mereka “memberikan suara yang salah” dengan mendukung partai pro-demokrasi.
“Warga dapat menyelamatkan Hong Kong, mayoritas yang diam harus membalas,” demikian bunyi editorial tersebut.
Editorial lainnya di Xinhua juga menuduh dengan narasi bahwa kandidat pro-demokrasi “membingungkan hitam dan putih” dan menjadi “perusuh yang menggunakan intimidasi, penipuan, dan penculikan untuk menangkap ikan untuk surat suara.”
Organisasi pro-Komunis Tiongkok juga berusaha memprovokasi sentimen publik terhadap para pengunjuk rasa sebelum pemilu.
Pada 20 November, tujuh dari 10 media cetak utama Hong Kong memuat advertorial di halaman depan yang menggambarkan pemrotes dengan narasi sebagai perusuh dan mendesak para pemilih untuk “menentang kerusuhan.”
Advertorial yang sama juga terbit di halaman depan. Setidaknya enam surat kabar pada 12 November, setelah pengepungan polisi terhadap kampus Hong Kong menjadi berita utama internasional.
Dalam sebuah wawancara setelah pemilu pada 24 November, artis dan aktivis Hong Kong Denise Ho mengatakan bahwa kampanye propaganda rezim Komunis Tiongkok terhadap para demonstran adalah “komprehensif dan menakutkan.”
“Informasi palsu dan kampanye kotor terjadi setiap hari,” demikian keterangan Denise Ho kepada The Epoch Times. Ia menambahkan bahwa dengan upaya dan kegigihan, kebenaran pada akhirnya akan menang.
Denise Ho menjelaskan : “Kita seharusnya tidak dengan mudah membiarkan informasi palsu menutupi kebenaran yang tidak dapat diubah.” (asr)
FOTO : Pada 24 November 2019, pemilihan Dewan Distrik Hong Kong 2019, tempat pemungutan suara Robinson Road, tempat pemungutan suara High Bishops College, pemilih di pagi hari untuk memberikan suaranya. (Yugang /Epochtimes)