Frank Fang – The Epochtimes
Laporan Australia baru-baru ini memperingatkan pemerintah, perusahaan, dan sekolah bahwa kerja sama penelitian yang mereka lakukan dengan universitas-universitas Tiongkok dapat berkontribusi pada pengembangan militer rezim Tiongkok dan pelanggaran hak asasi manusia.
Laporan yang berjudul “Pelacak Universitas Pertahanan Tiongkok: Menjelajahi Tautan Militer dan Keamanan Universitas-universitas Tiongkok,” diterbitkan oleh lembaga pemikir Australian Strategic Policy Institute pada tanggal 25 November 2019.
“Saat menganalisis kasus-kasus spionase dan ekspor ilegal yang melibatkan universitas-universitas Tiongkok, menjadi jelas bahwa lembaga yang berhubungan militer dan keamanan yang kuat secara tidak proporsional terlibat dalam pencurian dan spionase,” sebut laporan itu.
Laporan meninjau sekitar 160 universitas, perusahaan, dan lembaga penelitian Tiongkok, berdasarkan informasi yang tersedia secara online, termasuk situs web agen Tiongkok.
Laporan menempatkan 92 lembaga Tiongkok dalam kategori “sangat berisiko”, yang berarti bahwa lembaga itu dapat “dimanfaatkan untuk keperluan militer atau keamanan.”
Di antara 92 lembaga itu, 52 lembaga adalah milik Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok, seperti Perguruan Komando Tenaga Roket, Akademi Logistik Angkatan Laut, dan Universitas Kedokteran Angkatan Darat. Selain itu, 20 universitas sipil juga ditandai sebagai lembaga yang “sangat berisiko tinggi.”
23 universitas sipil ditempatkan dalam kategori “berisiko tinggi”, sementara 44 universitas sipil lainnya ditandai sebagai “berisiko sedang” atau “berisiko rendah.”
Rincian universitas dan lembaga penelitian Tiongkok itu, termasuk penilaian risiko dan bidang penelitiannya, telah dikompilasi dalam database online yang disebut “Pelacak Universitas Pertahanan Tiongkok.”
Laporan mengidentifikasi setidaknya 15 universitas sipil yang dikaitkan dengan spionase, terlibat dalam pelanggaran kendali ekspor, atau diidentifikasi oleh pemerintah Amerika Serikat sebagai kedok untuk program senjata nuklir Tiongkok.
Menurut laporan tersebut, empat dari “Tujuh Putra Pertahanan Nasional”, sebuah universitas terkemuka yang memiliki hubungan mendalam dengan industri pertahanan dan militer Tiongkok seperti Universitas Beihang, Institut Teknologi Harbin, dan Universitas Aeronautika dan Astronautika Nanjing, telah terlibat dalam spionase atau pelanggaran kendali ekspor.
Satu kasus pengadilan Amerika Serikat baru-baru ini melibatkan Universitas Aeronautika dan Astronautika Nanjing. Pada bulan Oktober 2018, Departemen Kehakiman Amerika Serikat mendakwa mata-mata Tiongkok bernama Xu Yanjun, yang bekerja untuk badan intelijen top Tiongkok, Kementerian Keamanan Negara, karena berkonspirasi mencuri informasi mengenai desain bilah kipas GE Aviation untuk mesin jet.
Isi dakwaan itu menyebutkan, Xu Yanjun dan para konspiratornya mengatur agar insinyur GE Aviation memberikan presentasi di Universitas Aeronautika dan Astronautika Nanjing, di mana Xu Yanjun membayar semua biaya perjalanan insinyur tersebut ke Tiongkok.
Setelah presentasi, Xu Yanjun terus menggali informasi penting dari karyawan GE.
Menurut BBC, Universitas Aeronautika dan Astronautika Nanjing menegaskan bahwa Xu Yanjun juga adalah seorang mahasiswa pasca-sarjana paruh-waktu di kampusnya.
“Kementerian Keamanan Negara Tiongkok juga memanfaatkan universitas sipil untuk pelatihan, penelitian, saran teknis, dan kemungkinan partisipasi langsung dalam spionase dunia maya,” sebut laporan itu.
Misalnya, Su Yuting, seorang profesor di Fakultas Teknik Listrik dan Informasi di Universitas Tianjin, adalah penerima penghargaan kemajuan teknologi yang dikeluarkan oleh Kementerian Keamanan Negara Tiongkok.
Area penelitian Su Yuting meliputi pemrosesan informasi multimedia dan keamanan, serta teknologi Internet of Things (IoT).
Lembaga pemikir mencatat bahwa dengan perluasan kolaborasi antara universitas di seluruh dunia dan mitra Tiongkok, jelas bahwa banyak lembaga belum secara efektif mengelola risiko terhadap hak asasi manusia, keamanan, dan integritas penelitian.
Misalnya, antara tahun 2007 hingga 2017, Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok mengirim lebih dari 2.500 ilmuwannya untuk dilatih dan bekerja di universitas di luar negeri.
Lebih jauh, laporan itu menyebutkan, bahwa beberapa ilmuwan itu menggunakan perlindungan sipil atau bentuk penipuan lainnya untuk bepergian ke luar negeri.
Semua ilmuwan yang dikirim itu untuk mendapatkan keterampilan dan pengetahuan yang bernilai bagi militer Tiongkok. Semua ilmuwan itu diyakini adalah anggota Partai Komunis Tiongkok yang kembali ke Tiongkok saat diperintahkan.
Perpaduan Militer – Sipil
Beijing telah lama mengadopsi strategi negara untuk meningkatkan industri swasta dan universitas untuk memajukan militernya. Saat ini, Komisi Sentral Partai Komunis Tiongkok untuk Pengembangan Perpaduan Militer – Sipil mengawasi upaya perpaduan ini.
Pada bulan Agustus 2018, Kementerian Pendidikan, Kementerian Keuangan, dan Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional di Tiongkok bersama-sama mengeluarkan dokumen kebijakan, yang mendesak universitas untuk berintegrasi ke dalam “sistem perpaduan militer-sipil” dan “memajukan transfer dan transformasi dua-arah dari prestasi teknologi militer dan sipil.”
“Setidaknya 68 universitas secara resmi digambarkan sebagai bagian sistem pertahanan atau diawasi oleh agen industri pertahanan Tiongkok, Administrasi Negara di bidang Sains, Teknologi dan Industri untuk Pertahanan Nasional,” sebut laporan itu.
Administrasi Negara di bidang Sains, Teknologi dan Industri untuk Pertahanan Nasional, sebuah badan bawahan dari Kementerian Industri dan Teknologi Informasi Tiongkok, diawasi oleh Dewan Negara Tiongkok, sebuah badan yang menyerupai kabinet. “Tujuh Putra Pertahanan Nasional ” diawasi oleh Kementerian Industri dan Teknologi Informasi Tiongkok.
Ada juga lebih dari 160 laboratorium yang berfokus pada pertahanan di universitas sipil. Banyak dari laboratorium pertahanan ini mengaburkan tautan pertahanan mereka dalam terjemahan resmi nama mereka.
Misalnya, beberapa laboratorium ilmu pengetahuan dan teknologi pertahanan nasional disebut “laboratorium penting nasional.” Pembentukan laboratorium pertahanan memupuk hubungan erat antara peneliti dengan militer yang dapat digunakan untuk memfasilitasi dan mendorong spionase.
Menurut laporan The Washington Free Beacon, pada bulan Mei 2013, badan intelijen Amerika Serikat menemukan bahwa laboratorium ilmu komputer di Universitas Wuhan melakukan serangan dunia maya di Barat, termasuk Amerika Serikat, atas nama Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok. Program ini dijalankan oleh Departemen Pendidikan Tiongkok.
Laporan Australia juga memperingatkan bahwa kemitraan dengan universitas dan perusahaan Tiongkok secara tidak sengaja dapat berkontribusi terhadap pelanggaran hak asasi manusia.
Misalnya, perusahaan China Electronics Technology Group Corporation milik negara Tiongkok mendirikan laboratorium bersama di Eropa dan Australia sejak tahun 2014. Anak perusahaannya, Hikvision, sebuah perusahaan pengawasan video, dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Xinjiang, di mana rezim Tiongkok telah mengerahkan jaringan pengawasan yang ketat untuk memantau dan mengendalikan lebih dari 10 juta Muslim Uyghur.
Untuk menjaga terhadap risiko hak asasi manusia dan keamanan tersebut, laporan itu menganjurkan agar universitas yang berkolaborasi dengan mitra Tiongkok agar mendirikan kantor integritas penelitian independen dan memperkenalkan tinjauan tahunan integritas penelitian. (Vv)
FOTO : Tentara PLA (Getty Images)