Liang Zhen
Gerakan warga Hong Kong terhadap anti Undang-Undang ekstradisi yang kini terlah ditarik, telah berlangsung selama setengah tahun. Kobaran api perlawanan tak pernah redup dan masih tetap panas membara.
Pada Minggu 8 Desember lalu, digelar pawai akbar Hari HAM sedunia yang diorganisir Civil Human Right Front.
Pawai tersebut telah menarik perhatian lebih dari 800.000 orang tua, muda mudi warga Hong Kong untuk turut berpartisipasi. Kehadiran lautan massa memadati sekitaran kawasan Causeway Bay sampai Central.
Berbagai spanduk seperti “Penuhi Lima Tuntutan”, “Usut Tindak Kekerasan Polisi”, “Langit Tumpas Komunis Tiongkok” dan lain-lain terlihat dimana-mana.
Tak sedikit warga dari peserta pawai menyatakan, perlawanan kali ini membuat warga Hong Kong sadar.
Demi masa depan Hong Kong dan demi generasi penerus, mereka harus tetap teguh memperjuangkan “lima tuntutan satu pun tidak boleh kurang yang mana dalam bahasa Tionghoa berbunyi wǔ dà sù qiú quē yī bù kě. Mereka juga menyatakan tak akan pernah menyerah.
Kali ini juga merupakan pertama kalinya Civil Human Right Front mendapatkan surat pemberitahuan Tidak Keberatan dalam 4 bulan terakhir, topik pawai adalah “Lindungi Hong Kong, Berjalan Bersamamu”.
Barisan pawai berkumpul di lapangan rumput di tengah Taman Victoria pada pukul 2 siang 8 Desember. Pada pukul 3 sore barisan berangkat, melalui jalur Causeway Bay, Wan Chai, Admiralty, dan berakhir di zona pejalan kaki di jalan Chater Road, distrik Central.
Berbeda dengan pawai dalam beberapa bulan sebelumnya, dimana sebelum pawai polisi sudah melepaskan tembakan gas air mata membubarkan massa dan secara besar-besaran menangkap para demonstran, pada pawai kali ini walaupun polisi berjaga-jaga di sepanjang jalan. Termasuk di garis akhir pawai di Central telah ditempatkan water canon dan polisi anti huru-hara.
Akan tetapi tidak ada aksi kekerasan dengan gas air mata dan lain-lain yang memprovokasi demonstran. Pada saat yang sama kereta bawah tanah juga beroperasi secara normal, hal ini membuat lalu lintas pengunjuk rasa menjadi lebih lancar daripada sebelumnya.
Jelang malam hari, walaupun barisan pihak Civil Human Right Front mengumumkan pawai telah berakhir di Central, dan peserta dapat meninggalkan lokasi, namun banyak peserta pawai tidak mau pergi.
Di sepanjang jalan Des Voeux Road dan jalan Queen’s Road dipasang blockade jalan, sekaligus menduduki jalan raya. Pihak polisi pun menyusun barisan dengan kekuatan besar untuk mengantisipasi.
Civil Human Right Front : 800 Ribu Orang Tunjukkan Aspirasi Warga, Desak Carrie Penuhi Tuntutan
Malam hari lewat pukul 8 malam, di garis akhir pawai di kawasan Central, Civil Human Right Front mengumumkan jumlah peserta pawai. Sepanjang hari sebanyak 800.000 orang telah ikut pawai. Sementara pihak kepolisian mengatakan, pada saat puncak hanya terdapat 183.000 orang.
Walaupun peserta pawai tidak mencapai jutaan seperti pawai sebelumnya, namun koordinator Civil Human Right Front yakni Jimmy Sham Tsz-Kit menegaskan, peserta 800.000 orang tetap suatu angka yang besar. Menurutnya bila Carrie Lam berniat introspeksi, maka seharusnya segera akan membentuk komisi investigasi independen yang sejati.
Jimmy Sham Tsz-Kit juga mengkritik polisi di garis depan, terus menerus memprovokasi peserta pawai secara verbal, juga membuat banyak blokade di beberapa ruas jalan. Hingga membuat peserta pawai kesulitan meninggalkan lokasi. Blokade yang ada menciptakan semacam perasaan seakan terkepung, khususnya dengan blokade berlapis oleh polisi pada malam hari. Sepertinya berniat menciptakan kesan suasana tegang.
Koordinator Civil Human Right Front lainnya yakni Figo Chan Ho-Wun juga mengkritik, sebelumnya di sepanjang jalan Pedder St. walaupun peserta pawai tidak melakukan apa pun.
Namun demikian, dengan tuduhan ada peserta mencaci maki, polisi turun dari kendaraan dan menangkapi warga.
Hal ini merefleksikan polisi di barisan depan melakukan tindakan lepas kendali, Chan menuntut agar Komisaris Polisi yang baru yakni Chris Tang Ping-Keung agar memberikan penjelasan.
108 Boneka dari “Singjai”, Bawakan Kejutan Bagi Warga Hong Kong
Situs internet “Singjai” menghabiskan waktu seminggu membuat 108 buah topeng boneka yang berbahan fiber glass yakni “Pepe” dan “Piggy.” Kelompok fans membentuk tim jelajah. Mereka pagi hari pergi ke jalan-jalan di Kwun Tong, sore hari pergi ke Wan Chai. Mereka memberikan semangat pada warga. Mereka juga menarik perhatian media massa. Aksi mereka menjadi kejutan menyenangkan bagi warga Hong Kong.
Pemrakarsa pertunjukan keliling boneka kartun yakni Simon Lau Sai-Leung berkata, “Semoga dengan humor, keyakinan, dan sikap yang relax dapat memberitahu seluruh dunia, Hong Kong yang telah mengalami siksaan tirani selama setengah tahun, namun warga Hong Kong belum menyerah, masih tetap kompak, menghadapi masa depan dengan penuh keyakinan.”
Puluhan orang “Singjai” memakai topeng “Pepe” dan “Piggy” muncul di barisan pawai, warga pun berebut mengabadikannya.
Sadar 21 Juli, Semakin Komunis Tiongkok Menindas Warga Semakin Melawan
Seorang peserta pawai wanita bermarga Li, turun ke jalan bersama sekelompok tetangganya. Nona Li yang tadinya tidak peduli politik, kemudian memutuskan untuk maju setelah terjadinya peristiwa oknum berbaju putih di Yuen Long pada 21 Juli silam:
“Apa alasan pemerintah menganiaya kami sebagai warga, membuat kami takut. Saya beritahu mereka, orang Hong Kong tidak takut, Komunis Tiongkok semakin menindas kami, kami akan semakin tampil maju. Kami adalah orang Hong Kong, dan Hong Kong adalah milik kami, adalah warisan dari pendahulu kami, sekarang akan kami wariskan pada generasi berikutnya.”
Selama setengah tahun terakhir, yang paling membuatnya sedih adalah melihat pemrotes muda ditangkap dan dianiaya, bahkan meninggal dunia.
Dengan berderai air mata dia mengatakan, diri sendiri yang juga seorang ibu. Umumnya keluarga di Hong Kong hanya memiliki 1-2 anak saja, luka akibat kehilangan anak, sangat sulit diterima oleh para orang tua. Melihat anak-anak Hong Kong dianiaya dan disiksa oleh polisi Hong Kong, membuatnya ikut menderita, maka dia memutuskan untuk bangkit dan melindungi generasi penerus.
Terhadap kontroversi istilah “perusuh” yang dipropagandakan oleh Komunis Tiongkok, dia mempertanyakan, “Memang ada sebagian bertindak sebagai perusuh, mungkin saja orang tertentu di pemerintah yang melakukannya, saya tidak tahu, tapi semua orang di dalam hatinya memahami apa sebenarnya yang sedang terjadi.”
Dia juga mengklarifikasi, anak-anak itu bukan perusuh seperti yang dituduhkan Komunis Tiongkok. Melainkan muda mudi dari satu generasi yang paling cemerlang.
“Setiap kali saya selalu ikut pawai, kalau anak-anak ini memang perusuh, semua polisi itu tidak akan bisa berdiri disitu lagi. Karena mereka sungguh baik, mereka bahkan berkata, kalian jangan ikut pawai, pergilah, kalian tidak memiliki perlengkapan, kami ada, kami akan bertahan untuk kalian.
Mendengar hal ini, ia merasa sungguh sedih, perasaan seperti itu adalah: Mengapa anak-anak ini begitu hebat, begitu cerdas? Ini membuat dirinya terharu, bahkan dirinya tidak bisa melindungi mereka.”
Anak Kecil 9 Tahun: Maju Demi Keamanan Hong Kong
Seorang pelajar SD bermarga Chan berusia 9 tahun, sembari memainkan biolanya sembari mengikuti pawai, dan di garis akhir di Central, bersama beberapa orang pemusik memainkan lagu “Glory to Hong Kong.”
Yang menarik tidak sedikit pengunjuk rasa menonton berkerumun, yang kemudian memberi semangat baginya dengan lautan sinar dari hp dan suara tepuk tangan.
Massa yang hadir di lokasi ikut menyanyikan lagu tersebut, lalu berteriak “Liberate Hong Kong, Revolution of Our Time”, suasananya sangat mengharukan.
“Demi keamanan Hong Kong, memutuskan untuk ikut melangkah keluar.” Anak bermarga Chan itu menyatakan pada wartawan, ini bukan pertama kalinya dirinya ikut turun ke jalan, sebelumnya juga pernah ikut berunjuk rasa.
Soal apakah tidak takut ditangkap polisi, ia mengakui, “Kadang saya merasa cemas, tapi dengan didampingi keluarga saya pun merasa tenang.”
Yang paling membuatnya tidak puas adalah, Undang-Undang ekstradisi yang telah dibuat oleh pemerintah ini, dan polisi menggunakan kekerasan berlebihan terhadap para pengunjuk rasa.
Kardinal Joseph Zen Menyanyi Memberi Semangat
Kardinal Joseph Zen, Pastor Chu Yiu-Ming dan lain-lain, berada di Wan Chai Station. Mereka menggalang sumbangan bagi Yayasan Pembela Keadilan. Mereka juga ikut menyanyikan lagu “Glory to Hong Kong”, dan memberi semangat kepada peserta pawai.
Pastor Chu Yiu-Ming menyatakan pada wartawan, selama setengah tahun terakhir lebih dari 5.000 orang warga yang dipenjara, termasuk tidak sedikit pemuda.
Oleh karena itu, warga ikut turun ke jalan selain menyampaikan tuntutan, juga sebagai dukungan bagi warga lain yang dipenjara atau sedang menantikan diadili.
“Dengan kata lain, mereka tidak sendirian, kami akan menggunakan berbagai cara, entah dengan pawai, atau dengan aksi makan siang dengan Anda” sekarang, atau dengan bernyanyi, adalah sebagai dukungan bagi mereka.”
Dibandingkan dengan Umbrella Movement 5 tahun silam, Pastor Chu Yiu-Ming sebagai salah seorang dari “Tiga Tokoh Occupy Central” mengatakan, gerakan kali ini pada dasarnya “akan mereformasi sistem yang lama.”
Pastor Chu Yiu-Ming mengatakan“oleh sebab itu majunya mereka memiliki makna yang sangat besar, bagi masa depan Hong Kong, akan menciptakan masa depan Hong Kong, adalah langkah yang sangat penting.”
Ia percaya walaupun jalan di depan masih sangat panjang dan berliku, namun terhadap perang melawan totalitarian ini, “Selama kami tidak menyerah, maka selalu ada harapan”.
Perang Habis-Habisan Hong Kong Melawan Komunisme
Terhadap jumlah peserta pawai kali ini yang kembali mencapai puncak baru-baru ini. Komentator bernama Sangpu dengan akun fb: @sangpu2, berpendapat, ini menunjukkan tekad kuat warga Hong Kong dalam memperjuangkan lima tuntutannya.
Dari kelima tuntutan tersebut, selain pemerintah hanya menjanjikan dicabutnya Undang-undang ekstradisi, selebihnya empat tuntutan lainnya sampai sekarang belum ada realisasi. Ini juga sebagai alasan warga Hong Kong kembali turun ke jalan.
Menghadapi tekanan Komunis Tiongkok, ia mendeskripsikan warga Hong Kong sedang “perang habis-habisan”.
Sementara Komunis Tiongkok sendiri dengan berbagai boroknya, seperti ekonomi yang terus merosot, semakin parahnya perseteruan kekuasaan internal partai Komunis, memburuknya hubungan dengan AS mulai dari perang dagang, perang teknologi, hingga perang finansial, tren ini akan terus berlanjut.
Ditambah lagi Hong Kong yang berada di antara Tiongkok dan AS. Amerika baru saja meloloskan “Resolusi HAM dan Demokrasi Hong Kong”, sehingga bagi masa depan Hong Kong adalah sangat penting.
Baru-baru ini perlawanan warga di kota Maoming, Tiongkok, juga menyerukan slogan “Revolution of Our Time.”
Sangpu percaya perlawanan Hong Kong akan menyebar hingga ke Tiongkok, ia perlahan-lahan akan menjamur.
Sebenarnya perlawanan di Maoming sangat mirip dengan Hong Kong, perlawanan di Maoming juga mengajukan lima tuntutan. Jadi informasi mereka dengan Hong Kong saling terhubung, semangat mereka sangat kompak, ada dua tuntutan mereka yang sama dengan tuntutan di Hong Kong: Menindak tegas kekerasan yang dilakukan oleh polisi; dan membebaskan orang-orang yang ditangkap. Terakhir mereka sementara berhasil memperjuangkan pembebasan orang-orang yang ditangkap.”
Sangpu juga menyebutkan, pada pawai kali ini muncul lautan bendera bertuliskan “Langit Menumpas Komunis Tiongkok.” Menandakan warga Hong Kong dan kelompok yang tertindas telah berdiri di pihak yang sama, bersama-sama melawan tirani Komunis Tiongkok.
Sangpu menegaskan : “Jika kekuatan kami ini terus melangkah maju, saya yakin jika terus bertahan, bertahan tanpa kenal lelah, masalah Hong Kong ini telah memicu perubahan teramat besar di dunia. Kita tidak boleh menyerah.”
Mantan dosen pengajar ilmu politik dari City University of Hong Kong yang bernama Joseph Cheng Yu-Shek berpendapat, gerakan anti UU ekstradisi kali ini membuat dunia melihat karakteristik Komunis Tiongkok.
Yang mana, “sama sekali tidak menghormati HAM, sama sekali tidak menghargai kehormatan warga, segala yang dilakukan hanyalah demi mempertahankan kekuasaan rezim ini semata.”
Ini juga membuat negara Barat mulai waspada, khususnya setelah Amerika meloloskan resolusi HAM untuk Hong Kong, ia yakin masyarakat internasional akan menilai kembali karakteristik Komunis Tiongkok. “
Joseph Cheng berkata : Jika Anda tidak mempedulikan karakteristik rezim ini, tidak mempedulikan mereka menginjak kehormatan HAM, dan terus berbisnis dengan mereka, saya yakin hanya akan menimbulkan kerugian bagi perdamaian dunia dan bagi segala hal perdamaian manusia di dunia, serta tidak akan ada manfaat.”
Pasca Pemilu Legislatif, Pemerintah Kehilangan Peluang Berdamai
Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Sosial di Hong Kong Polytechnic University yang merangkap dosen jurusan ilmu sosial terapan yakni Dr. Chung Kim-Wah berpendapat, setelah melalui pemilihan anggota legislatif distrik, teorinya warga dapat melampiaskan kekesalan.
Akan tetapi pemerintah tidak menanggapi tuntutan rakyat secara serius. Apalagi dalam waktu kurang dari seminggu, di distrik Central polisi menyemprotkan gas merica, lalu menangkap sekelompok pelajar kelas 12.
Kemudian minggu lalu, memfitnah dengan mengatakan banyak orang melepaskan gas air mata, lalu polisi terus menembakkan gas air mata, “Yang mengkhawatirkan adalah baik pemerintah maupun polisi tidak memanfaatkan peluang ini untuk menciptakan masyarakat kembali pada ketenangan, Ia merasa hal ini sangat disayangkan.”
Di saat yang sama sebelum pawai, polisi juga banyak mengancam, “Sekali waktu mengatakan ditemukan persenjataan dan akan terjadi pembunuhan terhadap polisi dan lain-lain.” Namun demikian, benar tidaknya berita itu tidak bisa diketahui.
Baru-baru ini Hong Kong Public Opinion Program juga telah merilis sebuah laporan riset, yang dengan jelas mengetahui benar atau salah terletak pada hati manusia. Ia yakin warga Hong Kong tidak akan semudah itu membiarkan pemerintah, dan akan terus bertahan, “Kami menuntut fakta kebenaran, menuntut pertanggung jawaban.” (SUD/WHS/asr)