Fan Yu – The Epochtimes
Industri barang mewah telah menikmati tahun yang positif, bahkan di tengah-tengah kekhawatiran kemungkinan resesi global dan perang dagang yang menghantui.
Menurut Luxury Study baru-baru ini oleh Bain & Co, pasar barang mewah milik pribadi meningkat 4 persen dari tahun ke tahun sejak tahun 2019. Sementara industri makmur yang semakin meluas, beberapa merek mewah dengan perusahaan induk Tiongkok menghadapi ketidakpastian yang lebih besar.
Shandong Ruyi Technology Group, sebuah konglomerat merek-merek mewah Tiongkok, menghadapi kebuntuan jatuh tempo obligasi dan sedang berjuang untuk menghasilkan likuiditas atau mekanisme refinancing untuk menangkal kemungkinan gagal bayar.
Data Bloomberg menyebutkan Ruyi saat ini memiliki USD 345 juta obligasi dalam mata uang dolar Amerika Serikat yang akan jatuh tempo bulan ini dan 4,4 miliar yuan dari obligasi darat RenMinBi yang akan jatuh tempo tahun depan.
Pada tanggal 12 Desember 2918, lembaga pemeringkat kredit Moody menurunkan peringkat kredit perusahaan Ruyi menjadi Caa1 dari B3, yang terjadi setelah S&P menarik kembali peringkat perusahaan Ruyi pada minggu sebelumnya.
Perusahaan Ruyi dijuluki “LVMH Tiongkok,” mengacu pada perusahaan barang mewah multinasional Prancis senilai usd 200 miliar Perancis, LVMH Moët Hennessy Louis Vuitton SE.
Berawal sebagai produsen tekstil Tiongkok yang tidak dikenal, Ruyi, seperti banyak konglomerat Tiongkok lainnya, melakukan belanja internasional dalam beberapa tahun terakhir. Ruyi memiliki saham besar di rumah mode Swiss Bally, konglomerat mewah Prancis SMCP perusahaan induk Sandro, Cerruti 1881, dan Maje, perusahaan pakaian mewah Inggris, Aquascutum, serta pembuat pakaian High Street TM Lewin dan Gieves & Hawkes.
Ruyi mengambil sejumlah besar utang untuk mendanai akuisisi asing ini. Data dari Debtwire menyebutkan bahwa utang Ruyi pada akhir tahun 2018 adalah 28,7 miliar yuan, hampir dua kali lipat jumlah pada neraca pada tahun 2015 sebesar 15,4 miliar yuan. Pada saat yang sama, pendapatan Ruyi diwakili sebagai EBITDA yang disesuaikan yakni laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi, telah meningkat sekitar 40 persen selama periode yang sama, menjadi 2,4 miliar yuan dari 1,7 miliar yuan.
Sebuah perusahaan milik negara yang berbasis di kota asal perusahaan Jining, Provinsi Shandong, mengambil 26 persen saham di Ruyi pada bulan Oktober, dalam upaya untuk mencegah kemungkinan gagal bayar.
Nasib beberapa merek fesyen Eropa yang dimuliakan bertumpu pada bagaimana Ruyi berencana untuk berurusan dengan utangnya yang besar.
Akuisisi dengan Karakteristik Tiongkok
Fosun International adalah konglomerat Tiongkok lain yang berusaha menghidupkan kembali merek asing yang dimilikinya.
Fosun International, sebuah perusahaan holding investasi yang berbasis di Shanghai, juga memiliki beberapa merek mewah internasional, yaitu perusahaan induk Lanvin yang berbasis di Paris yang dibeli tahun lalu seharga 120 juta euro. Ada lagi merek mewah Amerika Serikar St. John, pakaian Italia Caruso, merek Australia Wolford, dan memiliki saham minoritas di perusahaan mode Jerman Tom Tailor dan perhiasan Yunani Folli Follie.
Lanvin adalah merek nama terbesar di Fosun International tetapi juga yang paling menderita. Pada saat akuisisi, Lanvin sedang berjuang secara finansial.
“Lanvin sangat menderita. Ini semacam perputaran, ” kata Joann Cheng, kepala Fosun Fashion Group kepada Financial Times pada tanggal 9 Desember 2019, sambil menolak memberikan rincian hasil keuangan Lanvin.
Fosun International tampaknya mencari bantuan untuk kelompok mewah Prancis. Awal tahun ini, Bloomberg melaporkan bahwa Fosun International ingin menjual sebagian saham Lanvin miliknya seharga usd 100 juta atau lebih.
Joann Cheng memang mengatakan bahwa memperluas jejak Lanvin di Tiongkok, pasar mewah terbesar dunia, adalah “pasti tujuan” dari akuisisi merek fesyen Fosun. Sejak diakuisisi oleh Fosun International, Lanvin membuka toko baru di Shanghai dan Hong Kong.
Fosun International juga mengalami kesulitan.
Folli Follie adalah salah satu akuisisi asing pertama yang dilakukan oleh Fosun International dengan kepemilikan minoritas awal sejak tahun 2011. Namun pada tahun 2018, hedge fund Quintessential Capital Management mengklaim bahwa Folli Follie telah memalsukan jumlah toko yang dimilikinya serta metrik keuangan lainnya, termasuk penjualan, laba, dan cadangan kas.
Tuduhan-tuduhan itu menyebabkan serangkaian penyelidikan dan penyelidikan peraturan guna memastikan penipuan tersebut, yang mengarah ke regulator keuangan Yunani yang mengajukan tuntutan penipuan terhadap tiga eksekutif senior Folli Follie pada akhir tahun 2018.
Sebagai akibatnya, saham Folli Follie yang terdaftar di Athena hancur.
Dalam investasi lain yang tidak beres, investasi utama Fosun International di Eropa, grup perjalanan Inggris Thomas Cook Group Plc, runtuh pada bulan September 2019. Setelah berbulan-bulan merundingkan kemungkinan bailout, Fosun International yang merupakan pemegang saham terbesar di Thomas Cook, memutuskan untuk mengurangi kerugiannya pada bulan September 2019.
Thomas Cook, grup perjalanan tradisional yang mengelola agensi serta pesawatnya sendiri, menjadi korban atas meningkatnya popularitas pemesanan perjalanan mandiri online.
Investasi asli perusahaan masuk akal pada saat itu. Fosun International adalah bank untuk perjalanan keluar negeri menggunakan kapal dan permintaan pariwisata dari pelanggan Tiongkok, dan Thomas Cook adalah platform yang logis untuk berpasangan dengan akuisisi pariwisata Fosun International lainnya, perusahaan resor Club Med.
Adalah sulit untuk menyamaratakan bagaimana tantangan itu muncul. Kegagapan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, mata uang yuan yang relatif lemah, dan beban utang yang besar dari perusahaan induk Tiongkok adalah bagian besar dari masalah ini. Namun sejauh ini, sponsor perusahaan Tiongkok boleh menulis cek tetapi telah terbukti sebagai operator bisnis yang kurang ideal.
Contoh paling menonjol dari merek asing yang berhasil setelah akuisisi Tiongkok mungkin adalah produsen mobil Swedia Volvo. Setelah bertahun-tahun berjuang di bawah Ford Motor Co., Volvo diakuisisi pada tahun 2010 oleh Geely, pabrikan mobil Tiongkok. Geely memodali Volvo dengan dana segar tetapi membiarkan operasi dan pengambilan keputusan strategis di tangan manajemen yang ada sedikit gangguan.
Sejak itu, Volvo telah memperluas kehadirannya di pasar seluruh dunia, termasuk di Tiongkok. Sedangkan untuk Lanvin, Fosun International mungkin belum mengadopsi pendekatan yang lebih baik.
Lanvin baru-baru ini merekrut mantan eksekutif LVMH dan mantan CEO Sandro Jean-Philippe Hecquet untuk menjalankan Lanvin. Bruno Sialelli, seorang desainer berusia 31 tahun yang kurang dikenal yang sebelumnya bekerja di Loewe, baru-baru ini dipekerjakan sebagai direktur kreatif baru di Lanvin. (Vv)
FOTO : Ilustrasi (STR/AFP/Getty Images)