The Epoch Times menerbitkan serial khusus terjemahan dari buku baru berbahasa Tionghoa berjudul Bagaimana Roh Jahat Komunisme Menguasai Dunia Kita, oleh tim editorial Sembilan Komentar Mengenai Partai Komunis.
Pengantar
1.Negara Maju di Barat: Mempraktikkan Komunisme dengan Nama Lain
a.Pajak yang Tinggi dan Kesejahteraan Sosial yang Murah Hati
b.Intervensionisme Ekonomi yang Agresif di Negara Barat
c.Ekonomi Sosialis Menuju Totalitarianisme Komunis
2.Sosialisme Dystopian dari Partai Komunis Tiongkok
a.Ekonomi Tiongkok: Tidak Ada Relaksasi Kendali Komunis
b.Kebenaran di Balik Kenaikan Ekonomi Tiongkok
c.Konsekuensi Model Ekonomi Tiongkok
3.Kerusakan Sosialisme di Dunia Berkembang
a.Sosialisme Terus Menghantui Eropa Timur
b.Ekonomi Sosialis Membuat Gagal Negara Berkembang
DAFTAR PUSTAKA
Pengantar
Lebih dari 150 tahun yang lalu, Karl Marx menerbitkan “Das Kapital,” yang menganjurkan penghapusan hak milik pribadi, yang diganti dengan kepemilikan publik. Satu abad kemudian, kepemilikan publik komunis diterapkan di sepertiga negara di dunia.
Setelah disintegrasi blok Soviet pada tahun 1990, banyak negara Eropa Timur menjalani “terapi kejut” untuk kembali ke ekonomi pasar. Negara lain yang tidak dikuasai oleh partai komunis, tetapi yang telah menganut nasionalisasi sosialis dan menanggung kesengsaraan dan kemiskinan kepemilikan publik, pada akhirnya tidak punya pilihan selain memperkenalkan reformasi pasar.
Untuk mencapai dominasi global, roh komunisme melancarkan serangan di seluruh dunia. Melihat negara-negara yang meninggalkan komunisme atau model ekonomi sosialis, orang akan berpikir bahwa roh komunisme telah gagal meraih tujuannya. Tetapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Roh komunisme tidak mengikuti serangkaian prinsip yang sudah pasti. Sebaliknya, metode dan bentuk roh komunisme terus berubah sesuai dengan situasi; roh komunisme dapat meninggalkan atau mengkritik tindakan sebelumnya demi tujuan yang lebih besar. Tidak ada yang lebih benar selain bidang ekonomi.
Setelah menganalisis dengan cermat sistem ekonomi kita saat ini dan kenyataan di baliknya, kita tidak dapat menolong namun dapat menemukan bagaimana roh komunisme telah menyebarkan sulurnya ke setiap sudut. Ketika skema angan-angan dan pemujaan pemerintah yang membabi buta, ekonomi hampir setiap negara di dunia bergerak menjauhi prinsip pasar bebas. Bangsa-bangsa kehilangan fondasi moralnya dan tertarik pada komunisme. Sudah saatnya kita sadar akan kenyataan ini dan mengambil tindakan terhadapnya.
1. Negara Maju di Barat: Mempraktikkan Komunisme dengan Nama Lain
Dalam “Manifesto Komunis” (awalnya “Manifesto Partai Komunis”), Karl Marx menulis bahwa teori komunis dapat diringkas dalam satu kalimat: Hapus sistem kepemilikan pribadi. Bagi individu, hal ini berarti “penghapusan individualitas borjuis, kemerdekaan borjuis, dan kebebasan borjuis.”
Bagi masyarakat, hal ini berarti bahwa “kelas sosial rendah akan menggunakan supremasi politiknya secara bertahap merebut semua modal dari borjuis, untuk memusatkan semua instrumen produksi di tangan Negara, yaitu, kelas sosial rendah yang diselenggarakan sebagai kelas yang berkuasa.”[1]
Untuk mencapai tujuan ini, komunis menggunakan kekerasan dan pembunuhan massal di negara komunis. Tetapi ketika komunisme yang kejam kehilangan daya tariknya, maka dirancanglah bentuk komunisme non-kekerasan. Varian-varian sosialisme ini menyusup ke seluruh masyarakat sampai-sampai varian tersebut sulit diidentifikasi.
Negara-negara Barat menggunakan banyak kebijakan ekonomi yang tampaknya tidak memiliki kaitan dengan sosialisme baik dalam nama atau bentuk, namun sosialisme memainkan peran membatasi, melemahkan, atau merampas hak orang atas kepemilikan pribadi.
Peran sosialisme lainnya melemahkan mekanisme perusahaan bebas, memperluas kekuasaan pemerintah, dan mengarahkan masyarakat semakin ke arah sosialisme. Metode ini mencakup perpajakan tinggi, kesejahteraan sosial yang murah hati, dan intervensi negara secara agresif.
a. Pajak yang Tinggi dan Kesejahteraan Sosial yang Murah Hati
Fitur ekonomi komunis atau sosialis yang penting di negara Barat adalah kesejahteraan sosial yang kuat. Kebijakan kesejahteraan sosial saat ini membuat rakyat yang berasal dari negara komunis merasa seolah-olah mereka baru saja pindah ke negara sosialis lain.
Sosialisme yang Menyamar
Pemerintah sendiri tidak menghasilkan nilai, malahan sebaliknya, pemerintah mendapat untung. Semua manfaat sosial pada akhirnya dibayar oleh rakyat, melalui pajak atau utang nasional. Tingkat kesejahteraan yang tinggi itu sendiri adalah bentuk varian komunisme, hanya tanpa revolusi kekerasan yang dipraktikkan oleh partai komunis.
Perpajakan yang tinggi adalah nasionalisasi yang dipaksakan atas aset swasta untuk didistribusikan kembali dalam skala besar. Pada saat yang sama, langkah ini adalah jalan tersembunyi untuk secara bertahap menghapus sistem kepemilikan pribadi.
Hasil akhir dari perpajakan yang tinggi adalah sama dengan kepemilikan publik dan egalitarianisme yang dipaksakan oleh rezim komunis, dengan satu-satunya perbedaan adalah apakah nasionalisasi dilakukan sebelum atau setelah produksi.
Dalam ekonomi terencana komunis, bahan-bahan produksi dikendalikan langsung oleh negara. Di Barat, produksi dikendalikan secara pribadi, tetapi pendapatan diubah menjadi aset negara melalui pajak dan skema redistribusi.
Apa pun itu, tindakan tersebut setara dengan perampokan dan perampasan kekayaan orang lain. Di negara Barat, daripada melalui pembunuhan dan kekerasan, kesetaraan ini dicapai secara hukum melalui demokrasi dan perundang-undangan.
Beberapa bantuan pemerintah masuk akal, seperti jaminan sosial untuk korban bencana atau kecelakaan. Tetapi aspek positif dari kesejahteraan sosial menjadikannya sebagai alat penipuan yang nyaman, dan menjadi alasan yang diperlukan untuk menaikkan pajak. Dalam hal ini, kesejahteraan sosial yang murah hati telah mencapai konsekuensi destruktif yang sama dengan ekonomi komunis bagi rakyat, masyarakat, dan nilai moral.
Secara alami, ekonomi komunis menonjolkan sisi gelap sifat manusia. Ini adalah akar penyebab mengapa roh komunisme mendesakkan nilai ekonomi komunis di seluruh dunia, baik dalam masyarakat bebas atau yang secara langsung dikendalikan oleh rezim komunis.
Perpajakan yang Tinggi
Kesejahteraan sosial di negara maju mengkonsumsi sebagian besar pendapatan fiskal, yang berasal dari pajak yang ditransfer dari kekayaan pribadi. Tidak ada cara lain untuk mempertahankan kemurahan hati pemerintah.
Di Amerika Serikat, lebih dari setengah pendapatan pajak dihabiskan untuk Jaminan Sosial dan perawatan medis. Lebih dari 80 persen uang ini berasal dari pajak penghasilan pribadi dan pajak Jaminan Sosial; 11 Persen berasal dari pajak perusahaan. [2] Bahkan banyak negara Barat yang bertindak lebih jauh daripada Amerika Serikat, mengingat sistem kesejahteraan mereka yang lebih komprehensif.
Menurut data tahun 2016 mengenai tiga puluh lima ekonomi pasar yang diterbitkan oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan, dua puluh tujuh negara memiliki tingkat pajak penghasilan lebih dari 30 persen. Ada dua negara di Eropa dengan pajak penghasilan tertinggi, yaitu 54 persen dan 49,4 persen. Dampaknya, makan atau berbelanja di beberapa tempat di banyak negara Eropa dilengkapi dengan pajak pertambahan nilai setinggi 20 persen. [3] Pajak perusahaan dan pajak lainnya semakin menambah tarif keseluruhan.
Data lain menunjukkan bahwa pada tahun 1900, hanya tujuh dari lima belas negara untuk tahun 1900 yang mengenakan pajak penghasilan, di mana Italia memimpin pada tingkat 10 persen. Australia, Jepang, dan Selandia Baru memiliki tarif pajak penghasilan sekitar 5 persen. Tetapi pada tahun 1950, tarif pajak maksimum rata-rata di dua puluh negara lebih dari 60 persen; kini, perlahan-lahan turun menjadi sekitar 40 persen. [4]
Pajak yang tinggi tidak hanya membebani orang kaya; orang miskin juga dibebani dengan berbagai cara. Sementara orang kaya sering memiliki berbagai langkah hukum untuk melindungi dirinya dari pajak, tunjangan kesejahteraan yang diberikan kepada orang miskin ditiadakan bila pendapatan orang miskin tersebut meningkat melampaui batas tertentu. Singkatnya, rakyat dihukum karena bekerja lebih keras.
Kesejahteraan yang Tinggi
Pada tahun 1942, ahli ekonomi Inggris William Beveridge menganjurkan negara kesejahteraan, sebuah rencana “mencakup semua orang dan kebutuhan.” Dalam masyarakat modern, sistem kesejahteraan tinggi telah diperluas untuk mencakup pengangguran, perawatan medis, pensiun, cedera akibat pekerjaan, perumahan, pendidikan, penitipan anak, dan sejenisnya, jauh melampaui konsep tradisional amal bagi mereka yang membutuhkan bantuan segera.
Sebuah laporan dari Heritage Foundation menunjukkan bahwa pada tahun 2013, lebih dari seratus juta orang di Amerika Serikat, atau sekitar sepertiga populasi, menerima tunjangan kesejahteraan (tidak termasuk Jaminan Sosial dan Perawatan Kesehatan) bernilai rata-rata 9.000 dolar Amerika Serikat per orang. [5] Menurut statistik yang dikumpulkan oleh Biro Sensus Amerika Serikat, sekitar 12,7 persen populasi hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2016, namun kondisi kehidupan mereka mungkin mengejutkan banyak orang.
Menurut survei pemerintah, 96 persen orangtua di rumah tangga miskin mengatakan bahwa anak-anaknya tidak pernah kelaparan. Hampir 50 persen rumah tangga miskin tinggal di rumah, dan 40 persen rumah tangga miskin tinggal di townhouse. Hanya 9 persen rumah tangga miskin yang tinggal di rumah bergerak. Delapan puluh persen rumah tangga miskin memiliki pendingin udara dan dua perlima memiliki TV LCD layar lebar. Tiga perempat rumah tangga miskin memiliki mobil. [6] Kategorisasi yang disengaja dari sejumlah besar orang masuk ke dalam demografi “miskin” memberikan banyak alasan untuk perluasan kesejahteraan.
Manfaat yang diberikan oleh pemerintah Amerika Serikat di bawah rata-rata dibandingkan dengan anggota Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan. Kebanyakan orang yang tinggal di negara Nordik (Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia, Swedia, Kepulauan Faoe, Greenland, Svalbard dan Aland) dan negara Eropa Barat lainnya menikmati kesejahteraan yang jauh lebih besar daripada orang Amerika Serikat. Di Denmark, misalnya, bahkan warga terkaya pun menikmati jaring pengaman sosial tempat lahir yang mencakup perawatan medis, pendidikan universitas, dan manfaat dermawan lainnya yang bersifat gratis.
Sebelum keruntuhan ekonomi Yunani, rakyat Yunani menikmati gaji tahunan empat belas bulan, pensiun pada usia 61 tahun, dan uang pensiun yang setara dengan lebih dari 90 persen dari gajinya. Rakyat Swedia berhak atas 550 hari cuti sakit terus-menerus dan manfaat lainnya.
Perluasan kesejahteraan dari peran tradisionalnya untuk amal darurat menjadi manfaat terus-menerus bagi seluruh populasi, pada kenyataannya, merupakan bagian dari skema roh komunisme untuk memaksakan ekonomi komunis.
Manfaat Sosial: Menyebarkan Korupsi dan Mengintensifkan Kontradiksi Antara Kaya dan Miskin
Dari sudut pandang ekonomi, inti kesejahteraan adalah mengambil uang dari beberapa orang dan mentransfer nilainya kepada orang lain. Namun, adalah pemerintah yang bertanggung jawab untuk mendistribusikan kesejahteraan, sehingga tidak menekankan kebijaksanaan bahwa seseorang harus bekerja untuk mendapatkan kesejahteraan. Hilangnya prinsip moral ini sangat jelas terjadi di Eropa Utara.
Sarjana Swedia Nima Sanandaji menunjukkan hal ini menggunakan data World Value Survey. Pada awal 1980-an, 82 persen orang Swedia dan 80 persen orang Norwegia setuju dengan pernyataan bahwa “adalah salah bila menerima manfaat dari pemerintah yang tidak pantas anda terima.” Pada saat survei dilakukan di Norwegia pada tahun 2005 dan di Swedia pada tahun 2008, hanya 56 persen orang Norwegia dan 61 persen orang Swedia setuju dengan pernyataan ini. [7]
Di bawah sistem kesejahteraan yang murah hati, rakyat yang bekerja keras menerima lebih sedikit pengembalian manfaat, dan rakyat yang kurang rajin diberi imbalan. Seiring waktu, hal ini secara halus menyimpangkan tradisi moral, karena rakyat yang tumbuh dengan kesejahteraan pemerintah yang tinggi kehilangan ketekunan, kemandirian, tanggung jawab, dan ketekunan leluhurnya. Rakyat menganggap sistem kesejahteraan terjadi begitu saja dan bahkan menganggap kesejahteraan sebagai hak asasi manusia. Rakyat telah terbiasa mengandalkan bantuan pemerintah dan bahkan menyandera pemerintah supaya membantu mereka terus-menerus.
Nilai-nilai sosial telah berubah hingga hampir tidak dapat diubah. Seperti mendidihkan katak secara perlahan, penggunaan kesejahteraan yang tinggi oleh komunisme telah mengikis kebijaksanaan moral.
Kesejahteraan pemerintah yang tinggi juga memeras peran amal tradisional, merampas kesempatan donor untuk melakukan kebaikan maupun merampas kesempatan penerima manfaat untuk merasa bersyukur.
Dalam masyarakat tradisional, amal dilakukan atas kehendak sendiri, baik secara langsung membantu yang kurang beruntung atau dengan cara menyumbang ke organisasi amal seperti gereja. Ada donor dan penerima yang pasti, dan yang boleh menerima bantuan adalah yang memiliki hak istimewa, bukan sekedar hak. Penerima merasa bersyukur atas kebaikan para donor dan akan termotivasi untuk menggunakan amal tersebut untuk melengkapi upayanya sendiri untuk meningkatkan nasibnya. Mereka yang menerima amal yang kemudian mengubah hidupnya kemungkinan akan membalas budi dengan cara membantu orang lain saat menghadapi tantangan yang sama seperti yang pernah dihadapinya.
Pemikir Perancis Alexis de Tocqueville mencatat bahwa amal menggabungkan kebajikan kedermawanan dan rasa terima kasih, yang saling berinteraksi untuk meningkatkan masyarakat dan memberikan pengaruh moral yang positif. Sementara itu, hubungan antara pemberi dan penerima berfungsi untuk meredakan konflik dan pertentangan antara si kaya dan si miskin, sebagai perilaku amal dari individu yang menghubungkan anggota kelas ekonomi yang berbeda. [8]
Sistem kesejahteraan modern yang membengkak mengasingkan donor dan penerima dengan cara birokratisasi proses amal. “Para donor” saat ini adalah para pembayar pajak yang dipaksa untuk menyerahkan kekayaannya, daripada membagikannya secara sukarela. Sementara itu, penerima kesejahteraan tidak memiliki hubungan dengan dermawannya dan tidak merasa bersyukur atas pengorbanan si dermawan.
Alexis de Tocqueville percaya bahwa kesejahteraan sosial memperburuk konflik antara si kaya dan si miskin. Setelah sebagian kekayaannya disita secara paksa, orang kaya akan membenci kelas penerima kesejahteraan. Alexis de Tocqueville mengatakan bahwa orang miskin juga akan terus merasa tidak puas karena menganggap memang sudah selayaknya ia menerima bantuan ekonomi: “Satu kelas memandang dunia dengan ketakutan dan kebencian sementara kelas yang lain menganggap kemalangannya dengan putus asa dan iri hati.” [9]
Kesejahteraan yang membengkak juga menjadi titik kecemburuan dan konflik politik yang digunakan komunisme untuk menghancurkan kerukunan moral dan sosial masyarakat. Hal ini telah diamati dalam krisis ekonomi Yunani: Alih-alih konflik antara kaya dan miskin, perjuangan adalah antara kelas menengah dan kelas atas. Penggelapan pajak yang dilakukan oleh kelas atas telah menjadi “olahraga nasional,” menurut pejabat Yunani yang dikutip oleh The Economist. [10] Pada saat yang sama, agar tidak mengecewakan pendukungnya, pemerintah Yunani mengandalkan pinjaman untuk mengimbangi berkurangnya pendapatan pajak dan demi mempertahankan tingkat kesejahteraan yang sama dengan negara Eropa lainnya.
Sebagai buntut krisis ekonomi, pemerintah Yunani berusaha untuk mengurangi kesejahteraan sosial, yang mengakibatkannya menghadapi perlawanan gigih populasi umum. Rakyat Yunani mengarahkan pandangannya pada orang kaya dan menuntut agar orang kaya dikenakan pajak yang lebih tinggi, menciptakan sakit kepala bagi pemerintah yang belum diselesaikan.
Sistem kesejahteraan mengikis etika kerja tradisional dan membuat rakyat merasa berhak atas apa yang tidak mereka peroleh. Karena rakyat yang rajin bekerja dihukum, maka seluruh ekonomi menderita.
Pada tahun 2010, sebuah studi praktis oleh Martin Halla, Mario Lackner, dan Friedrich G. Schneider menghasilkan data yang menunjukkan bahwa kesejahteraan sosial tidak membedakan kerja keras dalam jangka panjang. Dan hasil seperti itu tidak akan ditampilkan sampai jangka waktu yang lama nanti. Ketiga ahli ekonomi tersebut menyimpulkan bahwa dinamika negara kesejahteraan tidak membahayakan kesehatan basis ekonomi suatu negara. [11]
Budaya Kemiskinan
Pada tahun 2012, The New York Times memuat artikel mendalam berjudul “Profiting From a Child’s Illiteracy,” yang berarti “Mengambil Manfaat Dari Seorang Anak yang Buta Huruf,” yang menggambarkan dampak kebijakan kesejahteraan pada keluarga berpenghasilan rendah yang tinggal di wilayah Pegunungan Appalachian di Amerika Serikat bagian timur.
Artikel tersebut menggambarkan bagaimana keluarga miskin pasrah mengirim anak-anaknya ke sekolah agar memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan.
“Para ibu dan ayah takut jika anak-anak belajar membaca, mereka nantinya cenderung tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan cek bulanan karena memiliki cacat intelektual,” kata artikel itu.
“Banyak orang tinggal di rumah bergerak di lereng bukit di sini adalah miskin dan putus asa, dan mendapat cek bulanan 698 dolar Amerika Serikat per anak dari program Penghasilan Keamanan Tambahan, di mana program tersebut akan sangat berhasil— dan cek itu berlanjut sampai anak berusia 18 tahun.” [12]
Program bantuan ini dimulai sekitar 40 tahun yang lalu dengan tujuan membantu keluarga membesarkan anak-anak yang mengalami gangguan fisik atau mental. Pada saat The New York Times melaporkan masalah ini, lebih dari 55 persen anak-anak yang memenuhi syarat dikategorikan sebagai orang yang menderita gangguan mental, tetapi tidak menderita gangguan mental yang jelas. Di seluruh Amerika Serikat, sekarang ada total sekitar 1,2 juta anak-anak yang “menderita gangguan mental” yang dibiayai 9 miliar dolar Amerika Serikat setiap tahunnya oleh pembayar pajak. [13]
Di sini, kesejahteraan dan kekurangan dari sifat manusia saling melengkapi dalam lingkaran setan. Terlepas dari niat baik dari mereka yang mendukung dan merumuskan kebijakan kesejahteraan, secara tidak langsung mereka membantu roh komunisme meraih tujuannya untuk menjatuhkan dan menghancurkan umat manusia.
Lebih dari seabad yang lalu, Alexis de Tocqueville melakukan pengamatan bahwa program kesejahteraan tidak membeda-bedakan individu, hanya membedakan ambang kemiskinan. Hal ini membuat sulit untuk mengalokasikan bantuan secara efisien, karena tidak mungkin untuk mengetahui apakah individu yang memenuhi syarat benar-benar menderita keadaan di luar kendalinya atau apakah kemalangannya diakibatkan oleh dirinya sendiri. [14]
Penyalahgunaan kesejahteraan tidak hanya mengikat keuangan publik; namun juga mempengaruhi masa depan anak-anak yang tumbuh di bawah sistem tersebut. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 menemukan bahwa dua pertiga rakyat yang menerima kesejahteraan saat masih anak-anak akan terus menerimanya sampai dewasa, dan mungkin akan menetap pada kesejahteraan seperti itu selama sisa hidupnya. [15]
Sebagai masalah strategi pemilihan, istilah “cacat” terus disempurnakan untuk mencakup bagian populasi yang terus berkembang yang memenuhi syarat untuk kesejahteraan. Kriteria yang menentukan siapa yang berhak atas kesejahteraan menciptakan suasana penguatan negatif yang mendorong penyalahgunaan manfaat ini. Kemunduran yang dihasilkan dalam moralitas sosial dan kelesuan ekonomi membantu roh komunisme mencapai tujuannya.
Kesejahteraan adalah tindakan darurat untuk membantu mereka yang benar-benar membutuhkan, efektif dalam situasi seperti yang melibatkan kecelakaan kerja, epidemi, bencana alam, dan sebagainya. Kesejahteraan seharusnya tidak menjadi bentuk standar nafkah hidup, karena tidak mampu menyelesaikan dilema kemiskinan.
Pada tahun 2014, dalam 50 tahun sejak Presiden Lyndon B. Johnson meluncurkan perangnya melawan kemiskinan, pembayar pajak Amerika Serikat menghabiskan 2,2 triliun dolar Amerika Serikat untuk membayar kesejahteraan. [16] Namun, seperti yang ditunjukkan statistik Biro Sensus Amerika Serikat, tingkat kemiskinan tetap stabil selama 40 tahun terakhir. [17]
Menurut ahli ekonomi Amerika Serikat William Arthur Niskanen, sistem kesejahteraan melahirkan budaya kemiskinan, yang pada gilirannya menciptakan lingkaran setan ketergantungan pada bantuan pemerintah, anak-anak di luar nikah, kejahatan kekerasan, pengangguran, dan aborsi.
Analisisnya mengenai data di seluruh Amerika Serikat untuk tahun 1992 menghasilkan perkiraan dampak yang dapat diharapkan dari meningkatnya manfaat Bantuan untuk Keluarga dengan Anak-anak Tanggungan sebesar 1 persen dari pendapatan rata-rata per kapita: Penerima Bantuan untuk Keluarga dengan Anak-anak Tanggungan akan meningkat sekitar 3 persen; jumlah orang yang miskin akan meningkat sekitar 0,8 persen; kelahiran dari ibu tunggal akan meningkat sekitar 2,1 persen; dan jumlah orang dewasa yang menganggur akan meningkat sekitar 0,5 persen. Aborsi dan kejahatan dengan kekerasan akan menjadi lebih umum juga. [18] Temuan William Arthur Niskanen menunjukkan bahwa sistem kesejahteraan yang kuat menumbuhkan ketergantungan pada sistem tersebut dan menghambat tanggung jawab pribadi.
Keluarga yang terpecah belah adalah unsur utama dalam budaya kemiskinan. Dalam sebuah studi mengenai kemiskinan historis dan kontemporer di kalangan kulit hitam, ahli ekonomi Walter E. Williams menemukan bahwa 85 persen anak-anak kulit hitam yang miskin hidup dengan ibu lajang remaja.
Sistem kesejahteraan mempermudah fenomena ini, karena mendorong ibu tunggal untuk hidup tanpa bertanggung jawab atas perbuatannya. Ibu tunggal layak mendapatkan subsidi, subsidi perumahan, kupon makanan, dan sejenisnya dari kesejahteraan pemerintah. Kesejahteraan telah berperan dalam mendorong terjadinya orangtua tunggal, yang menyebabkan lebih banyak kemiskinan. [19]
Terlepas dari kenyataan bahwa kesejahteraan telah berkembang dalam beberapa dekade terakhir, kesenjangan antara kaya dan miskin juga terus meningkat: Upah rata-rata, disesuaikan dengan inflasi, meningkat sangat lambat, sementara kekayaan mengalir ke rakyat yang paling kaya. Kelas buruh miskin telah muncul. Berbekal masalah sosial ini, sayap kiri mendorong pemerintahan yang lebih besar, perpajakan yang lebih tinggi, dan lebih banyak kesejahteraan untuk memerangi kemiskinan dengan semakin memperburuk kemiskinan.
Kaum Kiri Menggunakan Kebijakan Kesejahteraan untuk Mendapatkan Suara
Politisi sayap kiri sering mempromosikan kesejahteraan dan pajak yang lebih tinggi. Dengan menggunakan berbagai slogan pemilu untuk meyakinkan pemilih akan niat mulia mereka, mereka menggambarkan dirinya memiliki landasan moral yang tinggi, meskipun para politisi ini bukanlah orang-orang yang akan memberikan kesejahteraan. Metode mereka hanya untuk merebut kekayaan kelas atas dan menengah dan mendistribusikannya di kalangan orang miskin. Karena sistem menyembunyikan hubungan antara donor dan penerima, para politisi mengklaim telah berperan penting dalam proses tersebut. Mereka menerima rasa terima kasih penerima dalam bentuk suara.
b. Intervensionisme Ekonomi yang Agresif di Negara Barat
Intervensi Negara
Saat ini, pemerintah di dunia bebas sudah melakukan intervensi besar-besaran dalam sistem ekonomi nasionalnya. Salah satu penyebabnya adalah politik kesejahteraan, yang dikembangkan di bawah pengaruh sosialis, yang memperluas peran negara dalam distribusi kekayaan.
Dorongan lain untuk tren ini adalah Depresi Hebat tahun 1930-an. Menyusul Depresi Hebat, masyarakat Barat sangat dipengaruhi oleh teori ekonomi Keynesian, yang menganjurkan intervensi negara secara aktif dan regulasi ekonomi dengan menggunakan keuangan.
Dalam masyarakat normal, peran pemerintah adalah terbatas. Hanya dalam situasi yang luar biasa negara dapat ikut campur dalam ekonomi, seperti saat terjadi bencana alam atau krisis lainnya. Tetapi kini, teori Keynesian telah menguasai dunia. Pemerintah semua negara berlomba untuk mengambil kendali lebih besar atas ekonominya masing-masing.
Ketika pemerintah berperan aktif dalam perekonomian, setiap tindakan memiliki efek riak besar di pasar. Kebijakan dan undang-undang baru dapat membuat atau menghancurkan seluruh industri, membuat banyak bisnis dan investor bergantung pada keputusan pemerintah. Negara, yang secara tradisional hanya mengesahkan dan menegakkan hukum, kini telah menjadi peserta utama di arena ekonomi. Seperti seorang wasit yang bergabung dengan pertandingan sepak bola, negara menjadi bertanggung jawab untuk mengendalikan dan mengatur modal yang dulunya adalah ekonomi milik pribadi, menggantikan “tangan tak terlihat” dengan “tangan kasat mata”.
Kendali keuangan secara aktif yang dikombinasikan dengan kebijakan kesejahteraan tinggi telah menyebabkan banyak pemerintah menanggung hutang besar. Menurut data Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), lebih dari setengah negara anggotanya memiliki utang pemerintah mendekati atau lebih dari 100 persen dari Produk Domestik Bruto. Hutang beberapa negara melebihi 200 persen dari output ekonominya. [20] Hal ini menghadirkan kerentanan besar bagi masa depan sosial dan ekonomi banyak negara.
Ahli ekonomi pemenang Hadiah Nobel Ronald Coase menulis banyak makalah penelitian mengenai dampak intervensi pemerintah. Dalam karyanya, Ronald Coase menemukan bahwa kebijakan intervensionis hampir selalu menghasilkan hasil negatif. Ia percaya bahwa krisis intervensi telah mencapai titik “pengembalian marjinal yang semakin berkurang.” [21]
Meskipun demikian, pemerintah semua negara hanya menjadi lebih aktif dalam manipulasi ekonominya, menjadikan ekonomi semakin di bawah kendali negara.
Konsekuensi dan Realitas Intervensionisme
Setidaknya ada dua konsekuensi utama dari intervensi negara yang luas. Pertama, kekuatan negara berkembang dalam hal peran dan skalanya. Pejabat pemerintah mengembangkan keangkuhan yang semakin meningkat atas kemampuannya untuk mengganggu perekonomian dan membuat negara berperan sebagai penyelamat. Setelah menangani krisis, pemerintah tidak akan mempertahankan kekuasaan dan fungsinya yang diperluas.
Kedua, intervensi menciptakan lebih banyak ketergantungan pada pemerintah. Ketika rakyat menghadapi tantangan, atau ketika pasar bebas tidak dapat memberikan manfaat yang mereka inginkan, mereka akan melobi agar lebih banyak intervensi negara untuk memenuhi tuntutan mereka.
Ketika kekuatan negara meningkat, perusahaan swasta melemah, dan pasar bebas memiliki lebih sedikit ruang untuk berfungsi. Rakyat yang telah mendapat manfaat dari politisi dan tumbuh tergantung pada politisi akan semakin menuntut agar pemerintah mengambil tanggung jawab untuk mengalokasikan kekayaan dan membuat undang-undang untuk menegakkan kesejahteraan.
Di Barat, ada arus politik yang kuat mendorong masyarakat ke arah Kiri, yang mencakup pengikut sayap kiri asli, termasuk sosialis dan komunis, serta mereka yang tidak secara tradisional dikaitkan dengan sayap kiri, tetapi yang telah dipilih oleh mereka. Pemusatan kekuatan yang berbeda ini mendorong pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang lebih besar untuk campur tangan dalam ekonomi dan mengganggu fungsi perusahaan swasta. Erosi aktivitas ekonomi normal ini tampaknya disebabkan oleh berbagai gerakan sosial, tetapi pada kenyataannya, adalah hantu komunisme yang mempengaruhinya.
Dapat dilihat bahwa pemerintah Barat menggunakan otoritas publiknya di bawah panji kesetaraan dan alasan politik lainnya untuk meningkatkan intervensi dan bahkan memberlakukan undang-undang untuk menjadikan hal ini sebagai urusan permanen. Tidak ada keraguan bahwa perilaku ini merampas ekonomi pasar dari penengah utama mereka — kehendak bebas rakyat. Negara pada dasarnya memperluas otoritasnya atas pasar bebas untuk mengubahnya menjadi ekonomi komando. Tujuan jangka panjangnya adalah bahwa semua aspek ekonomi dan mata pencaharian populer akan berada di bawah kendali publik. Sarana ekonomi akan digunakan untuk menggabungkan kekuatan politik, memperbudak masyarakat dan warganya.
Menggunakan kebijakan yang terlihat jinak di permukaan, tetapi semakin memiringkan struktur ekonomi menuju sentralisme, roh komunisme secara bertahap mengarahkan umat manusia ke dalam komunisme penuh.
c. Ekonomi Sosialis Menuju Totalitarianisme Komunis
Pajak yang tinggi, kesejahteraan yang tinggi, dan intervensi negara yang meluas adalah manifestasi sosialisme dalam sistem kapitalis Barat. Dengan demikian, sosialisme memiliki sifat utama yang sama dari ekonomi terencana, karena keduanya menggunakan otoritas negara untuk memanipulasi ekonomi. Artikel yang mendasari kepercayaan di sini adalah kemahakuasaan pemerintah, yang diizinkan untuk berperan sebagai Tuhan.
Seperti yang terjadi, satu-satunya perbedaan antara intervensi negara yang kuat oleh negara di Barat dan ekonomi terencana oleh negara komunis adalah bahwa di negara-negara bebas, hukum dan beberapa aspek dasar dari sistem kapitalis melindungi hak asasi manusia dari kendali total pemerintah.
Friedrich Hayek, ahli ekonomi dan filsuf Austria terkemuka, memperingatkan terhadap perencanaan dan redistribusi kekayaan yang dikendali oleh negara, mengatakan bahwa hal itu pasti akan merusak pasar dan mengarah pada peningkatan totalitarianisme, terlepas dari apakah sistem itu demokratis atau tidak.
Friedrich Hayek percaya bahwa walaupun sosialisme yang dipraktikkan di Eropa dan Amerika Utara berbeda dari kepemilikan publik dan ekonomi terencana, namun tetap akan mencapai hasil yang sama. Rakyat akan kehilangan kebebasan dan mata pencahariannya, dengan cara yang lebih lambat dan lebih tidak langsung. [22]
Seperti yang telah dibahas sebelumnya dalam buku ini, Karl Marx, Engels, dan Lenin semuanya melihat sosialisme sebagai langkah wajib di jalan menuju komunisme. Ibarat pergerakan kereta menuju tujuannya tidak akan terpengaruh oleh pemberhentiannya di platform stasiun sepanjang jalan.
Demikian juga, roh komunisme adalah kekuatan pendorong di belakang sebuah negara yang bergerak menuju sosialisme. Begitu umat manusia meninggalkan tradisi, baik di bidang ekonomi atau di bidang lain, dan menerima ideologi komunis, laju pembangunan menjadi tidak relevan. Cepat atau lambat tujuan tersebut akan tercapai.
Tujuan akhirnya bukanlah surga di bumi, tetapi kehancuran umat manusia. Bahkan, iblis tidak peduli apakah “surga” itu ada atau tidak, karena surga hanyalah umpan untuk memikat manusia menuju kehancurannya.