Oleh David Kilgour
Perlakuan buruk terhadap warga Uighur dan Muslim lainnya di Xinjiang, Tiongkok, terbaik dipahami dengan cara fokus pada satu korban.
Asa (nama samaran) adalah seorang wanita dari Xinjiang yang pindah ke Mesir untuk bekerja. Pada tahun 2015, ia membawa bayi kembar tiga ke Xinjiang untuk mengunjungi kedua orangtuanya, yang mengawali mimpi buruk selama tiga tahun yang memaksanya berpisah dengan ketiga bayinya, ia ditahan di “pusat pelatihan kejuruan,” tempat ia menyaksikan kematian demi kematian teman-teman satu sel, dan kematian salah satu bayinya.
Pada tahun 2018, Kedutaan Besar Mesir membantu Asa keluar dari penjara. Asa dan dua anaknya kini adalah pengungsi di Amerika Serikat, tetapi pengalaman Asa terjadi pada banyak warga Uyghur.
Menutupi awal wabah virus corona di Wuhan selama beberapa minggu pada bulan Desember 2019 memungkinkan virus corona menginfeksi ribuan orang di Wuhan dan kini menyebar ke 28 negara.
Awalnya kader Partai Komunis Tiongkok memilih merahasiakan wabah virus corona itu sebelum akhirnya mengakui krisis yang berkembang. Dr. Li Wenliang, 34 tahun, yang dengan heroik memperingati dokter-dokter lain mengenai virus baru tersebut, dipaksa untuk menandatangani pernyataan yang mengecam peringatannya sebagai tidak berdasar dan ilegal. Kematian dr. Li Wenliang akibat terinfeksi virus corona pada tanggal 6 Februari memicu banjir duka dan kemarahan di seluruh Tiongkok.
Ada kekhawatiran bahwa virus corona akan menyebar ke Xinjiang, di mana diperkirakan 1-3 juta warga Uighur ditahan di ratusan kamp. Adrian Zenz, seorang pemimpin peneliti di tempat penahanan massal di Xinjiang, menulis di Twitter: “Virus Corona dapat menambah suatu dimensi yang benar-benar baru pada krisis Xinjiang.”
Radio Free Asia melaporkan bahwa sanitasi yang buruk dan tempat tinggal yang sempit di kamp dapat mempermudah terjadinya epidemi, yang mengarah pada “bencana besar,” menurut seorang ahli.
Adrian Zenz memperkirakan bahwa kini setidaknya ada satu juta warga Uyghur dipenjara di seluruh Xinjiang dan terpapar “pendidikan ulang” yang tanpa berkesudahan. Tujuan pencucian otak adalah untuk “membunuh ingatan siapa mereka, menghapus identitas, bahasa, dan sejarah mereka,” kata Adrian Zenz dalam ceramah di Pusat Studi Tiongkok Fairbank Universitas Harvard.
Pada tahun 2017, pemimpin Tiongkok Xi Jinping mulai mendirikan gulag “pendidikan ulang” untuk masyarakat Muslim yang mirip dengan kamp kerja paksa yang didirikan untuk praktisi Falun Gong pada pertengahan tahun 1999. Muslim dan praktisi Falun Gong di Tiongkok ditangkap oleh polisi tanpa sidang atau banding — suatu praktik yang ditemukan oleh Stalin di Uni Soviet dan diadopsi di Kekaisaran Ketiga oleh Hitler.
Panen organ dari tahanan Uighur yang terjadi setelah panen organ dari praktisi Falun Gong (yang dimulai pada tahun 2001).
Dr. Enver Tohti, seorang warga Uyghur, mengatakan hal tersebut pada tahun 1995, saat itu ia adalah seorang ahli bedah umum di rumah sakit Urumqi, ia dibawa ke sebuah ruang eksekusioleh pihak berwenang rumah sakit untuk mengeluarkan hati dan kedua ginjal dari seorang pria yang masih hidup saat operasi dimulai.
Dalam bukunya di tahun 2014 berjudul “The Slaughter,” Ethan Gutmann memperkirakan bahwa organ-organ dari 65.000 praktisi Falun Gong dan 2000-4000 warga Uyghur, Tibet, serta umat Kristen dipanen secara paksa di Tiongkok antara tahun 2000 hingga tahun 2008.
Dr. Enver Tohti memperlihatkan kepada masyarakat sebuah foto Jalur Hijau Transportasi Organ Manusia di Bandara Urumqi, yang mempercepat transportasi organ untuk penerima organ dari seluruh dunia. Foto tersebut — menunjukkan tanda jalur prioritas yang ditandai
“Penumpang Khusus, Jalur Ekspor Organ Manusia” — menjadi viral di media sosial media.
Maya Mitalipova dari Whitehead Institute for Biomedical Research di MIT mengatakan: “Seluruh populasi Uighur, Kazakh, dan Muslim lainnya di [Xinjiang] menjalani pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh dan…sampel darah diambil…[dari] tahun 2016 hingga saat ini. Prosedur ini hanya dilakukan pada populasi Muslim.”
Pusat Transplantasi Organ Saudi mengindikasikan bahwa warganegaranya membeli organ di pasar gelap dan menjalani transplantasi ilegal di Tiongkok. Hati dan kedua ginjal yang dipanen dari warga Uighur yang ditahan dijual seharga USD 160,00 hingga USD 165.000.
Dikelilingi oleh kawat berduri, kamera pengintai, dan penjaga bersenjata, pekerja kamp memaksa warga Uyghur, Kazakh, dan minoritas lainnya untuk bekerja dengan upah rendah atau tidak dibayar sama sekali.
Pemerintah dan bisnis yang bertanggung jawab di seluruh dunia harus bergabung dengan Amerika Serikat dan Australia memboikot siapa pun yang berbisnis di Xinjiang. Tenaga kerja paksa di kamp-kamp penahanan menodai rantai pasokan sejumlah perusahaan terkenal dari negara-negara demokratis yang beroperasi di sana.
Peraturan Global Magnitsky memudahkan pemerintah yang memiliki peraturan tersebut untuk menjatuhkan sanksi finansial dan visa yang ditargetkan pada pejabat negara otoriter yang menyalahgunakan hak asasi manusia.
Masyarakat internasional harus meminta Beijing untuk mengizinkan Palang Merah Internasional dan Organisasi Kesehatan Dunia mengakses ke kamp-kamp Xinjiangmemantau apa yang sedang terjadi, jika ada, untuk membendung penyebaran Virus Corona
DPR Amerika Serikat berhasil meloloskan
Undang-Undang Kebijakan Hak Asasi Manusia Uighur tahun 2019 di bulan Desember. Jika RUU ini menjadi undang-undang, maka hal tersebut akan menandai upaya internasional paling bermakna untuk menekan Beijing yang telah menahan warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya secara massal.
David Kilgour, seorang pengacara, bertugas di House of Commons Kanada selama hampir 27 tahun. Dalam Kabinet Jean Chretien, ia duduk di Ministries not Cabinet members atau seperti menteri muda, ia sebagai Secretary of State (untuk Afrika dan Amerika Latin) dan Secretary of State (untuk Asia-Pasifik). Ia adalah penulis beberapa buku dan bersama David Matas menulis buku “Bloody Harvest: The Killing of Falun Gong for Their Organs.” atau “Panen Berdarah: Pembunuhan Praktisi Falun Gong untuk Dipanen Organnya.”